Dulu, ketika kuliah, aku mengirimkan dua artikel berturut-turut ke Surat Kabar Harian Kompas. tetapi artikelku tidak layak tayang...hiks....Bijaknya pihaknya Kompas, mereka mengembalikan lagi artikel itu plus surat masukan melalui email. Berikut surat tanggapan beserta tulisanku tertanggal Rabu, 16 Agustus, 2006: Sdr Ahmed Tsar Disertai salam dan hormat, Kami memberitahukan bahwa pada tanggal 10 Agustus 2006 Redaksi Kompas telah menerima artikel Anda berjudul "Pancasila Returns (Kiriman ke 2)". Terima kasih atas partisipasi dan kepercayaan yang Anda berikan kepada Kompas. Setelah membaca dan mempelajari substansi yang diuraikan di dalamnya, akhirnya kami menilai artikel tersebut tidak dapat dimuat di harian Kompas. Topik/tema yang dikemukakan cukup bagus, tetapi cara pengungkapan dan redaksionalnya kurang mendukung, oleh karenanya tidak dapat dimuat di harian Kompas. Harapan kami, Anda masih bersedia menulis lagi untuk melayani masyarakat melalui Kompas, dengan topik atau tema tulisan yang aktual dan relevan dengan persoalan dalam masyarakat, disajikan secara lebih menarik. Hormat kami, Sekretariat Desk Opini
*******
Refleksi Hari Kemerdekaan Republik Indonesia PANCASILA RETURNS
Seminggu setelah sebagian penduduk dunia menonton film perdana Superman Returns,. sejumlah tokoh bangsa memperingati Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Muncul ajakan dari sejumlah tokoh bangsa tersebut agar bangsa Indonesia kembali (returns) ke Undang-Undang (UUD) 1945 asli dan Pancasila.. Tujuannya supaya bangsa ini mempunyai pegangan dan pedoman arah yang akan dituju (Kompas, 6/07/2006). Sayang, sebagian bangsa ini mungkin lebih baik merespon film “kembalinya Superman” daripada menghayati kembali UUD 1945 dan Pancasila. Padahal Superman hanya tokoh rekaan yang dciptakan untuk menghibur. Berbeda dengan UUD 1945 bersama Pancasila, keduanya diciptakan bukan untuk menghibur melainkan ditujukan untuk pedoman dan dasar negara Indonesia. Tulisan ini mencoba mengkaji apakah UUD 45 dan Pancasila patut dipertahankan di era imagologi ini, sekaligus mencoba menginterpretasikan serta meformulasikan ulang kedua pedoman bangsa Indonesia ini sebagai bagian dari refleksi hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 61. Simbol Masyarakat Globalisasi Dalam kajian Semiotik Charles Sanders Pierce, Superman adalah simbol globalisasi. Putra Jor-El ini mencerminkan suatu bentuk tanda yang hanya dapat dikenali maknanya karena konsensus budaya. Rujukan untuk mengenali Superman itu simbol terangkum dalam budaya globalisasi. Hal ini dapat dimengerti karena globalisasi merepresentasikan tren menuju universalisasi budaya Barat. Harap dimengerti, Barat adalah gambaran dari negara-negara yang berada di lingkaran dunia pertama. Akan tetapi, tokoh yang berasal dari planet Krypton ini memerlukan perjalanan panjang untuk menjadi simbol globalisasi, sebagaimana perjalanan publikasinya dari komik strip ke film bioskop. Diawali ketika Jerry Siegel dan Joe Schuster yang ingin menciptakan sebuah karakter imajiner yang dapat menarik cewek karena kekuatan, kecerdasan dan kegantengan wajahnya. Dalam hal ini, rumusan mereka berdua tentang penciptaannya mencerminkan beberapa sifat yang dimengerti kebanyakan orang tanpa ada perbedaan latar belakang. Beberapa sifat tokoh fenomenal bernama Superman yang dimengerti oleh banyak orang disebut sebagai Indeks. Sedangkan Superman sendiri dalam teori Semiotika disebut sebagai Ikon.Yakni tokoh yang merepresentasikan Indeks. Keterkaitan antara simbol masyarakat globalisasi dengan tokoh imajiner Superman terletak pada bagaimana masyarakat dunia menerima kehadirannya. Sebagaimana manusia kebanyakan yang ada di bumi, tokoh ini juga dapat bersedih dan kalah dari musuh-musuhnya, walaupun ia kuat, cerdas dan ganteng. Inilah mata uang yang dijual sang superhero di era imagologi, Satu sisinya menawarkan kekuatan super sedangkan sisi lainnya tampak sisi manusiawi. Simbol Masyarakat Indonesia Apakah Pancasila bersama UUD 1945 saat ini sudah pantas disebut simbol masyarakat Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dicari dahulu contoh simbol lain yang jadi referensi banyak orang, komunitas, penganut sebuah agama atau pun sebuah negara. Referensi untuk bersikap serta bertindak sesuai dengan nilai dan norma yang tercakup dalam simbol tersebut. Setelah menemukan contoh suatu simbol, kemudian dilihat parameter apa yang ada di dalam simbol tersebut sehingga membuat banyak orang tertarik untuk digunakan sebagai referensi bersikap serta bertindak. Banyak simbol yang merepresentasikan eksitensi kehadiran banyak orang, komunitas, agama atau pun suatu negara. Contohnya adalah tokoh Superman. Memperbandingkan sosok imajiner dengan UUD 1945 bersama Pancasila bukan untuk mengecilkan peran dua lambang negara Indonesia. Akan tetapi mengkomparasikan keduanya hanya bertujuan untuk membedah kesuksesan sosok imajiner memerankan simbol globalisasi. Mengapa tidak mengambil contoh simbol yang lain? Umumnya, kesuksesan suatu ikon merepresentasikan simbol apapun mempunyai parameter yang sama. yakni, ukuran ideologi dan ukuran humanisasi. Untuk pertama kali, kelahiran suatu ikon ditujukan sebagai alat memandang atau menyikapi segala sesuatu yang bersifat mengancam. Sosok Superman diciptakan agar dua penciptanya percaya diri terhadap teman-teman wanitanya. Dengan kalimat lain, Sosok Superman, pada awalnya, adalah alat perjuangan pencitraan diri. Asumsi ini juga berlaku bagi semua ikon yang dilahirkan untuk menjadi simbol. Tak terkecuali dengan ikon UUD 1945 bersama Pancasila, kemunculan dua ikon ini pada awalnya ditujukan sebagai alat perjuangan serta persatuan. Keberhasilan suatu ikon sebagai alat perjuangan serta persatuan pada periode awal mencerminkan lapis pertama definisi ideologi, yaitu ilmu pengetahuan tentang idea-idea yang bersifat positif, ilmiah serta berusaha lepas dari pandangan metafisik dan keyakinan. Inilah definsi ideologi dari Antoine Destutt de Tracy (1754-1836) yang mengasumsikan suatu ikon (bentuk operasinal dari idea) yang ditujukan sebagai ideologi (sebagai alat perjuangan serta persatuan) harus terbebas dari metafisik dan keyakinan. Terbebas dari metafisik dan keyakinan bukan berarti membebaskan pembentukan ikon dari sumber yang terkait dengan idea-idea agama, tetapi definisi ideologi lapis pertama ini menekankan pada rasionalisasi. Humanisasi Politik Tak diragukan lagi, perjalanan sejarah perjuangan bangsa Indonesia telah mengantarkan UUD 1945 bersama Pancasila sebagai alat perjuangan serta persatuan, sebagaimana sosok Superman berhasil menjadi ikon superhero dunia komik. Akan tetapi seiring perubahan era, dari era ideologi ke era imagologi, mempertahankan UUD 1945 bersama Pancasila sebagai ideologi lapis pertama merupakan sesuatu yang absurd. Apalagi terjebak dalam mendefinisikan Pancasila sebagai ideologi lapis kedua (ideologi sebagai kesadaran palsu), lapis ketiga (ideologi sebagai bentuk ketidaksadaran yang mendalam) dan lapis keempat (ideologi sebagai wacana yang dihasilkan dari hubungan kekuasaan). Memperlakukan UUD 1945 bersama Pancasila sebagai tiga lapis terakhir definisi ideologi, sebagaimana yang pernah terjadi dalam rezim Orde Baru, akan mengalami kegagalan. Arti “kembali” dalam judul film Superman Returns bermakna sisi manusiawi Superman (yang menghilang dalam masa golden age, silver age dan bronze age kejayaan Superman) “dikembalikan”. Alasannya karena di era imagologi ini diperlukan sifat-sifat dasar manusia bukan lagi beberapa sifat manipulasi yang serba hebat. Inilah kekuatan dua senjata imagologi, media massa dan citra, yang dapat “menelanjangi” segala manipulasi. Ada dua cara agar UUD 1945 bersama Pancasila menjadi simbol masyarakat Indonesia. yaitu, menggali kembali nilai-nilai humanis yang terdapat dalam kedua ikon tersebut dan mengaplikasikan nilai-nilai humanis yang didapat dalam sikap dan perilaku keseharian. Kedua cara tersebut terkesan apologia untuk dilaksanakan masyarakat Indonesia. Untuk itulah, dibutuhkan beberapa tokoh panutan yang mengawali bersikap dan berperilaku humanis sesuai UUD 1945 dan Pancasila. Beberapa tokoh panutan tersebut tidak lain terdapat dalam sistem perpolitikan Indonesia. Selain karena UUD 1945 dan Pancasila adalah ideologi politik Indonesia, tokoh politik (politikus) seharusnya adalah seseorang yang berwawasan dan berperilaku etika humanis. Disebut demikian karena politik (berasal dari kata polythica, poly: banyak, ethica: nilai-nilai moral) adalah sistem yang tersusun dari segala struktur nilai moral untuk menjalankan kekuasaan. Maka pantas bila politikus mengawali bersikap dan berperilaku humanis sesuai UUD 1945 dan Pancasila. Mempertahankan UUD 1945 dan Pancasila di era imagologi ini berarti melakukan humanisasi sistem perpolitikan di Indonesia. Aktor yang pertama kali melakukan humanisasi adalah para politikus karena mereka, mau tak mau, menjadi tokoh panutan yang diperlihatkan oleh media massa ke masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI