Mohon tunggu...
Ahmad Faqih N
Ahmad Faqih N Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Seorang pemuda yang sedang berprogres

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Meninjau Kebijakan Impor Beras: Dalih Terpaksa atau Kebutuhan?

21 Maret 2021   21:36 Diperbarui: 21 Maret 2021   22:15 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alerta! Alerta! Alerta! 

Hidup Mahasiswa Indonesia, Hidup Rakyat Indonesia, Hidup Pertanian Indonesia!

Minggu, (14/3/2021). Kementerian Kebijakan Agrikompleks BEM KM IPB berkolaborasi dengan KASTRAD BEM Fakultas Pertanian mengadakan diskusi terbuka dan kajian dalam webinar yang berjudul "Meninjau Kebijakan Impor Beras: Dalih Terpaksa Atau Kebutuhan?". 

Dalam rangka mengusut isu wacana impor yang telah diputuskan oleh pemerintah melalui Rapat Koordinasi Terbatas (RAKORTAS) serta mengundang beberapa narasumber yang juga peka terhadap isu ini yaitu Prof. Dr. Dwi Andreas Santoso, MS (Guru Besar Fakultas Pertanian IPB serta Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia), Ayip Said Abdullah (Ketua Umum dan Koordinator Nasional KRKP), dan Achmad Yakub (Perum Bulog Anggota Komite Audit Dewan Pengawas).

Pada webinar kali ini Prof. Andreas memaparkan sebuah data Gabah Kering Panen (GKP), ada anomali sejak bulan September 2020 hingga Januari 2021, adanya drop HPP yaitu saat ini sebesar Rp. 3800 bahkan ada laporan hingga Rp. 3400. Padahal harga produksi (tahun 2019) perkilogram gabah Rp. 4523. 

"Di saat harga gabah terus mengalami penurunan sejak September, tiba-tiba ada keputusan impor beras dari pemerintah. Keputusan impor tersebut adalah keputusan yang sangat menyakitkan petani Indonesia. Ketika harga terus menurun sejak bulan September, artinya stok beras kita di akhir tahun 2020 amat sangat mencukupi sehingga pedagang tidak lagi memiliki kapasitas menyerap gabah dari petani. Padahal di musim tersebut adalah musim paceklik, beras yang dilepaskan pun sedikit, sudah sedikit harganya jatuh. Sehingga berkesimpulan, kondisi stok di masyarakat di awal tahun 2021 relatif tinggi. Pada 2020, diperkirakan produksinya meningkat karena adanya La Nina, sehingga tidak ada reason apapun bagi pemerintah untuk impor beras. Padahal pada tahun 2020-2021 adanya peningkatan Luas Panen Produksi Padi sebesar 26,9% atau apabila dikonversi menjadi beras kira-kira 2,5 juta ton beras." Jelas beliau dengan tegas.

Prof. Andreas juga membantah terkait dengan data FAO (Food and Agriculture Organization) dan keputusan pemerintah yang telah mewanti-wanti adanya krisis bahan pangan. 

Pada bulan April 2020 FAO mengeluarkan warning atau sebuah peringatan bahwa dunia akan mengalami krisis pangan, karena pada saat itu presiden memerintahkan untuk membuat food estate dengan alasan karena akan ada krisis pangan tahun 2020, dan itu saya bantah karena justru kondisi pangan dunia pada tahun 2020 mencapai puncak tertinggi nya. 

Produksi serealia pada periode 2019-2020 itu mencapai 3 Milyar ton dan itu tertinggi sepanjang sejarah sehingga tidak masuk akal. Kemudian kami klop kan dengan data dari FAO, memang setelah bulan Mei harga pangan dunia mengalami peningkatan hingga bulan Februari 2021 masih mengalami peningkatan, akan tetapi ada dua syarat utama terjadi krisis pangan yaitu, pertama harga pangan naik, kedua produksi pangan dunia turun. 

Harga pangan memang naik, tapi belum setinggi ketika krisis pada tahun 2007-2008. Juga di tahun 2011, harga pangan pernah melonjak tinggi 24 kali lipat dibanding tahun dasarnya (2004-2006) sehingga banyak korban kelaparan saat itu, terjadi food riot, sosial unrest, mass violence and government change (pergantian rezim) di Afrika Utara dan Middle East. Lalu "apakah kita akan krisis pangan di tahun 2020?", itu pun tidak terjadi. "Apakah di tahun 2021?", beliau menjawab "tidak akan sama sekali karena harus dua faktor tersebut (harga pangan naik dan produksi pangan dunia turun) berjalan bersama".

Beliau kembali menegaskan bahwasannya "Data sekarang dengan pemerintah sama, satu-satunya data produksi adalah dari BPS. Keputusan itu belum tepat dan tidak masuk akal saat ini. Keputusan itu harusnya diambil jangan saat ini, karena mencederai petani. Kalaupun mau diambil pada bulan Juli-Agustus, pada bulan tersebut luas tanam musim kedua sudah kita ketahui jumlah produksi tahun 2021 dapat dipastikan, bukan untuk sekarang ini.

Pak Ayib menjelaskan dampak impor bagi petani, menurut beliau pada saat situasi seperti ini kebanyakan petani memang sedang kebingungan karena gabah yang sudah panen tidak ada tengkulak yang mau beli. 

Karena akhir akhir ini sedang musim hujan sehingga kadar air tinggi dan kualitas beras di wilayah yang banyak hujan turun sementara fasilitas pengeringan dsb terbatas. Tengkulak pun tidak mau berspekulasi karena harga beras ditingkat penggilingan sedang turun. Harga premium disini (Indramayu) saja sekitar Rp. 8000 padahal normalnya bisa tembus Rp. 10.000 lebih. 

Dua minggu yang lalu beliau juga menanyakan ke petani, apa implikasi yang mereka rasakan yaitu penurunan harga disebabkan pengaruh psikologis harga pasar. Padahal kebijakan tersebut baru rumor tapi sudah memukul harga di tingkat petani terlebih lagi situasi iklim saat ini basah. Pilihan logis bagi petani adalah menjual sesegera mungkin dengan harga murah sekalipun, karena semakin lama disimpan akan semakin rugi. 

Keputusan ini juga menjadi sangat aneh, ukuran indikasi kebutuhan impor adalah ketersediaan cadangan di bulog sudah seberapa tipis, kenaikan harga tengkulak, pada tingkat produksi ada gangguan atau tidak, dan yang terakhir permintaan naik atau tidak. Melihat realitas di lapangan, keempat indikasi tersebut belum terpenuhi, justru wilayah yang  cenderung kering bisa produksi dua kali lipat karena air nya sedang banyak (seperti Indramayu). Harga beras pun di tingkat penggilingan sedang turun. 

Kami pun tidak menerima cerita ada gangguan karena hama penyakit yang cukup mayor. Pertanyaannya kemudian, "keputusan ini untuk siapa dan menjawab permasalahan apa?" Beliau sepakat perlu adanya cadangan pangan, tapi caranya yang menurut saya kurang tepat, kenapa harus impor?. 

"Saya menjadi curiga, seperti pola pola impor yang lainnya, jangan- jangan memang didrive untuk kepentingan kelompok yang lain seperti bawang putih, gula, beras di tahun 2015, itu juga terjadi manipulasi untuk kelompok tertentu. Bahkan keputusan ini tidak hanya sekedar menyakitkan, ini adalah bentuk pengkhianatan negara atas eksistensi petani. 

Kalau dikatakan Indonesia adalah swasembada/berdaulat pangan itu semua kan bermuara ke petani, ketika pandemi sektor yang meningkat adalah sektor pertanian, ketika pandemi desa dan pertanian menjadi cover bagi masyarakat kota yang di phk untuk kembali ke desa. Bahwa cita-cita pemerintah Pak Jokowi untuk berdaulat pangan, dan esensi daulatnya pangan bagi saya sendiri melihat bahwa terdapat pada daulatnya petani, tidak hanya untuk meningkatkan produksi namun juga meningkatkan kualitas hidup petani" Jelas beliau.

Menurut beliau, juga ada enabling condition yang sudah disiapkan. Coba dicek perubahan undang-undang pangan 18 2012 di UU Cipta Kerja, impor produk pangan itu menjadi setara dengan produksi negara. 

Di UU sebelumnya, pemenuhan kebutuhan pangan negeri, impor menjadi opsi paling terakhir. Namun ketika perubahan UU pangan menjadi cipta kerja, pemenuhan kebutuhan pangan bisa dari produksi dari dalam negeri atau impor. 

Saya semakin menduga kuat, dengan alas kebijakan itu, menjadi sah dan legal untuk melakukan impor walaupun produksi di dalam negeri meningkat. Jadi, secara kalkulatif, syarat/ indikasi keputusan impor ini dibuat untuk kepentingan kelompok lain semakin nampak.

"Lalu bagaimana dengan tanggapan petani terkait isu ini? Apa yang akan dilakukan pemerintah setempat untuk menindaklanjuti hal ini?", secara prinsip mereka sangat menyesalkan, mereka melihat bahwa pemerintah menjadi lemah untuk menjawab pertanyaan serius atau tidak untuk membela petani. 

Petani mengatakan kalau memang kami produksinya turun, dan negara terancam cadangan pangannya, bisa bisa saja melakukan impor. Tapi untuk saat ini, mereka menilai tidak ada gangguan menjelang panen, hari hari ini sebenarnya adalah puncak perjuangan untuk panen, mendapat hasil cukup, namun ketika menjelang panen, harapan itu justru diganggu dengan adanya impor, maka implikasinya tidak hanya terganggu di petani, tapi juga di kehidupan mereka. Peran dinas untuk membagi benih bantuan masih kelihatan, tapi waktu mau panen, peran mereka tidak terlihat.

Pak Yakub juga menjelaskan kalau dari Bulog, hari pertama Menko Perekonomian mengumumkan kebijakan itu, kami di bulog langsung mempertanyakan kebijakan itu. Intinya adalah pemerintah melihat dari sisi yang agak komprehensif, yaitu melihat dari sisi petaninya, konsumen ekonomi makro-mikro. 

Dari situ ada beberapa indikator, yang harus kita pahami adalah, kebijakan ini sebagai hasil dari rakortas, dan kita dari bulog tidak langsung impor, kita tetap mempersiapkan dan bernegosiasi dengan negara produsen seperti Thailand, India, Vietnam, dll. Pertanyaannya setelah diputuskan, "Apakah negara-negara ini mau mengekspor barangnya? Apakah mereka tidak membatasi ekspornya? Atau walaupun mereka ekspor, barang yang diekspor adalah stok lama". 

Pada tahun 2020 sebenarnya bulog berencana tidak hanya menyerap beras, tapi kita menyerap gabah juga. Karena, yang dijual petani adalah gabah, jadi secara direct subject kita membeli dari petani, dan petani juga konsumen beras. Artinya beras yang dikeluarkan bulog adalah fresh hasil langsung giling. Jadi daripada adanya kebijakan impor beras, lebih tepat apabila memenuhi potensi potensi teknologi supaya bisa menyerap gabah petani.

Catatan dan rekomendasi Impor beras harus memenuhi 5 syarat :

  1. Eksekusi rencana impor dilakukan ketika telah melewati musim panen raya pada bulan Mei 2021.
  2. Beras hasil eksekusi impor benar-benar digunakan sebagai iron stock sehingga tidak bocor ke pasaran yang dapat mempengaruhi harga petani.
  3. Proses impor komoditi dilakukan secara transparan (GCG).
  4. Diupayakan Perum BULOG yang ditugaskan mengimpor beras pecah kulit atau bila memungkinkan impor gabah kering giling Komoditi yang diimpor dipastikan penyalurannya dengan baik agar tidak menjadi rusak dan mengakibatkan menambah beban keuangan bagi negara.

Jadi apakah kebijakan ini tepat atu tidak?, "Waktunya tidak pas, karena bulan Maret-April kita sedang panen raya, jadi tidak tepat", jelas beliau lebih lanjut.

Adapun tuntutan-tuntutan berbentuk pernyataan sikap dari berbagai pihak:

Asosiasi Bank Benih dan Teknologi (AB2TI) menyatakan sikap yaitu:

  • Batalkan keputusan impor beras terlebih dahulu. Kalau nanti mau ada rakortas lagi, silahkan nanti di Bulan Juli-Agustus. Karena estimasi kita di bulan itu jauh lebih baik terkait produksi beras karena luas tanam sudah kita ketahui juga sehingga estimasi di tahun 2021 sudah diketahui.
  • Naikkan serapan bulog. Ini akan jauh lebih bagus daripada mewacanakan impor.
  • Segera naikkan HPP. Ketika kami lakukan kajian tentang ini, di tahun 2019 saja HPP nya sebesar Rp. 4523. Maka kita harus naikkan HPP

KRKP dan Gerakan Petani Nusantara (GPN) menyatakan dan mendesak pemerintah untuk :

  • Menghentikan rencana ini karena tidak hanya bertolak belakang dengan kondisi lapang namun lebih jauh melukai dan mengkhianati petani.
  • Memperkuat Bulog, salah satunya menyediakan anggaran yang cukup untuk mampu menyerap gabah atau beras dalam jumlah lebih besar sehingga cadangan sekaligus penyediaan beras untuk Bansos dapat terjaga dan terpenuhi.
  • Memfasilitasi petani untuk dapat meningkatkan kualitas gabah terutama pada musim panen raya dengan curah hujan yang tinggi.
  • Memberikan layangan dan dukungan kepada petani disaat panen raya yang akan menjelang dengan memastikan harga gabah cukup menguntungkan petani.
  • Mencegah dan menghancurkan segala bentuk praktik jahat para mafia pangan yang hanya akan mengambil keuntungan dan menghadirkan kerugian pada petani.

"Pangan merupakan soal hidup dan matinya suatu bangsa, apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka "malapetaka", oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner" - Ir. Soekarno.

Hidup Mahasiswa Indonesia, Hidup Rakyat Indonesia, Hidup Pertanian Indonesia!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun