Indonesia sebagai negara yang disebut Nusantara karena wilayahnya memiliki ribuan pulau yang dikelilingi lautan yang luas, dalam kaitannya dengan pembangunan seyogyanya dilakukan dengan memperhatikan pemerataan yang menjangkau pulau-pulau kecil. Jika meliha sejarah, selama berabad lamanya suku-suku di Indonesia memiliki budaya merantau untuk meningkatkan kesejahteraan di berbagai bidang, dan perpindahan yang terjadi tak lain menuju daerah pulau besar, sehingga pembangunan pun terkonsentrasi di pulau besar (mainland) seperti Jawa dan Sumatra dengan fasilitas yang cukup lengkap. Namun semakin berpusatnya penduduk di pulau besar mengakibatkan makin tergantungnya mereka pada kota besar, dan pulau-pulau kecil pun terlupakan, pemangku kebijakan memiliki orientasi dan dasar ilmu yang cukup dalam perencanaan pulau besar. Namun ketika potensi wilayah pulau kecil terlihat, banyak pemangku kebijakan terburu-buru menduplikasi pembangunan ala “pulau besar” dengan daratan luas, ke pulau kecil tersebut, dan tidak semua seperti harapan penduduk kepulauan.
Pembangunan yang tidak sesuai harapan ini karena kondisi eksisting pulau kecil yang jauh berbeda dengan pulau besar, tidak berlebihan bila perencanaan di pulau kecil ini harus melibatkan masyarakat setempat secara penuh, tidak seperti perencanaan pulau besar di mana jaringan infrastruktur sudah lengkap dan pembangunan cukup melanjutkan apa yang sudah diwariskan dahulu, sehingga perencana dapat dengan cepat membuat rencana sesuai disiplin ilmunya. Di pulau-pulau kecil pembangunan fisik bisa dikatakan mulai dari nol, namun secara ekonomi masyarakat bahkan sudah cukup memiliki sistem sendiri, ini dapat menjadi tolok ukur pembangunan yang lain.
Kuncinya yaitu terdapat kemandirian pada wilayah kepulauan yang tidak terdapat pada kota besar.
Perlu usaha berat bagi perintis terdahulu dalam menentukan kehidupan baru di pulau kecil, bukan di pulau besar, untungnya negeri kita punya budaya maritim sekaligus agraris, sebuah modal kemandirian, misal di Sulawesi yang terkenal dengan suku Bugis dan perahu pinisinya, mereka juga punya kegiatan bercocok tanam, suku Bajo yang juga biasa hidup di laut, mereka menyebar tinggal di pulau-pulau kecil, kemudian hidup dengan mengandalkan hasil alam baik pertanian di daratan juga perikanan di laut, kemajuan diperoleh dengan berbekal kekuatan maritim untuk memperdagangkan hasil bumi olahan ini ke wilayah pulau besar, kemudian membeli kebutuhan sekunder di pulau besar untuk persediaan yang cukup, kadang dengan sistem barter. Kemandirian wilayah seperti ini tak dapat dijumpai di kota besar yang kebanyakan tidak bisa memenuhi kebutuhan primer dansekundernya sendiri. Maka pembangunan yang semestinya dilakukan pada wilayah kepulauan harus berkiblat pada kemandirian wilayah yang sudah ada, benar-benar lokal.
Budaya bertahan hidup di pulau besar dan pulau kecil ini membentuk ideologi yang kentara, sosialis dan liberalis, seperti di Cina, penduduk kepulauan yang lebih mandiri, tidak begitu terikat dengan pemerintah setempat memiliki ideologi liberal, dan penduduk yang berada di daratan memiliki ideologi sosialis, lebih tergantung pada pemerintah dan gotong royong masyarakat. Perbedaan mencolok terlihat pada pola permukiman, dimana wilayah daratan memiliki pemukiman terpusat, hemat lahan, dan minim jarak, sehingga mudah berpindah tempat, dalam memenuhi kebutuhan hidup, sedangkan pada wilayah kepulauan permukiman berjauhan sering dipisahkan oleh lahan pertanian. Keunikan di Indonesia, penduduk wilayah kepulauan punya ideologi yang seimbang walau dikatakan mandiri, mereka tidak segan membantu yang membutuhkan. Ideologi liberal yang berlaku di kepulauan bermanfaat untuk mengeksplorasi hasil alam seluas-luasnya tanpa ada batasan dari pemerintah, dengan begitu perekonomian dapat meningkat pesat, seperti ketika marak budidaya rumput laut di kepulauan, didukung area laut yang luas, usaha ini cepattumbuh dan bahkan dapat menarik tenaga kerja yang selama ini merantau di negeri orang, untuk kembali bekerja di pulau tersebut.
Investasi yang berkembang di wilayah kepulauan mengutamakan pada budidaya komoditas unggulan, sedangkan di wilayah pulau besar lebih kepada industri, hal ini disebabkan faktor jarak yang begitu jauh dan minimnya sumber energi, sehingga wilayah kepulauan hanya menjadi pemasok bahan baku industri di pulau besar. Di wilayah kepulauan masih banyak daerah yang tidak dialiri listrik, penduduk secara mandiri menggunakan listrik dengan mesin diesel, adapula yang memiliki sel solar. Minimnya energi juga membuat mereka menggunakan transportasi massal, berupa mobil pickup, untuk pulau yang lebih kecil dengan jalan sempit, sepeda motor roda tiga bergerobak pun disulap menjadi alat angkut berkapasitas 8 orang dewasa, seperti di pulau Sapeken. Kebutuhan energi ini menjadikan wilayah ini bergantung pada pasokan bahan bakar dari wilayah pulau besar. Pembangunan pembangkit listrik bertenaga surya dan mikro hidro menjadi cara ramah lingkungan dalam memenuhi kebutuhan listrik.
Alam telah memberi pelajaran yang baik bagi penduduk di pulau kecil, mereka tahu bahwa rusaknya alam langsung dapat mereka rasakan dampaknya bagi kehidupan, misalnya dalam memenuhi kebutuhan air bersih, penduduk mengandalkan tersedianya air tanah, baik yang terdapat di sumur pribadi, maupun yangdikelola bersama melalui program HIPPAM, ketersediaan air sangat dipengaruhi luasnya hutan yang masih lestari, pada bagian dengan hutan yang luas tersedia air tanah yang lebih banyak. Selain itu untuk melindungi pantai dari bahaya abrasi dan intrusi air laut, penduduk mulai menanam mangrove. Kondisi alam yang bersih dan indah ini menjadi obyek wisata sehari-hari bagi penduduk kepulauan, hampir seluruh garis pantai dan alam bawah laut berpotensi menjadi wisata bahari favorit seperti Wakatobi, tergantung pada kesiapan pengelolaannya. Kondisi yang sangat jauh berbeda dengan pulau besar, dimana ketergantungan dengan alam diatasi dengan teknologi untuk memenuhi kebutuhan penduduk kota yang padat serta industri yang ada di dalamnya.
Uraian ini menjelaskan bahwa dalam dimensi pembangunan berkelanjutan, wilayah kepulauan kini hampir memenuhi ketiga aspek mulai dari sosial, ekonomi, dan lingkungan secara mandiri, ini layak menjadi perhitungan para stakeholder dalam merumuskan kebijakan pembangunan yang tepat. Prioritas pembangunan dapat diarahkan pada kebutuhan energi, transportasi, pendidikan, dan kesehatan. Tidak semata-mata hanya pada pemenuhan fasilitas, tapi dapat pula berupa program pembiayaan misalnya beasiswa untuk memperoleh pendidikan tinggi di kota besar yang maju. Mengadopsi pembangunan berkelanjutan dengan partisipasi masyarakat lokal dapat menjadi metode yang baik untuk mempertahankan kemandirian wilayah kepulauan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H