Jika ada UU No. 10 Tahun 2016 yang mengatur larangan pemberian "materi lainnya" dalam Pilkada, tetapi PKPU No. 13 Tahun 2024 mengizinkan pemberian hadiah, maka:
- Menurut lex superior, UU yang lebih tinggi kedudukannya akan mengesampingkan PKPU.
- Namun, jika PKPU itu merupakan peraturan yang lebih spesifik dalam mengatur bentuk hadiah yang boleh diberikan, sementara UU mengatur soal "materi lainnya" secara lebih umum, maka bisa terjadi perdebatan apakah prinsip lex specialis akan digunakan.
Dalam situasi sebagaimana dimaksud, lex superior akan lebih dominan karena membandingkan UU dengan PKPU yang jelas berbeda tingkatan
3. Potensi Penyalahgunaan dan Politik Uang
Dalam situasi multitafsir ini, potensi penyalahgunaan menjadi lebih besar. Pasal yang membolehkan pemberian hadiah dalam PKPU dapat disalahartikan sebagai legalisasi bentuk politik uang, meskipun UU sebenarnya melarangnya. Hal ini mengundang risiko besar di mana peserta Pilkada memanfaatkan celah hukum untuk memberikan "materi lainnya" yang dikategorikan sebagai hadiah, padahal dalam praktiknya secara tidak langsung dapat memengaruhi pemilih.
4. Solusi dan Penegakan Hukum
Jika ditemukan adanya kontradiksi atau multitafsir dalam regulasi, pihak yang dirugikan bisa mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) untuk menguji ketentuan dalam PKPU tersebut. Selain itu, KPU juga diharapkan untuk merevisi peraturan mereka agar sejalan dengan UU dan tidak menciptakan celah yang bisa disalahgunakan oleh peserta Pilkada dan juga berdampak kepada sistem demokrasi yang dibangun.
5. Implikasi Bagi Peserta Pilkada
Peserta Pilkada harus sangat berhati-hati dalam memberikan hadiah atau materi lainnya. Meskipun PKPU mungkin memberikan ruang, mereka tetap harus tunduk pada UU yang lebih tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H