Mohon tunggu...
Zidan Novanto
Zidan Novanto Mohon Tunggu... Auditor - Investor

Tulisan tidak mencerminkan tempat penulis bekerja dan tidak mengatasnamakan institusi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Legalisme Otokratik dalam Demokrasi

19 Agustus 2024   21:18 Diperbarui: 19 Agustus 2024   21:30 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam teori politik, legalisme otokratis adalah sebuah konsep di mana pemerintahan menjalankan otoritasnya secara ketat melalui hukum dan peraturan, tetapi dengan tujuan utama memperkuat kekuasaan otokratik daripada menegakkan keadilan atau hak-hak warga negara. Dalam model ini, hukum tidak lagi menjadi instrumen keadilan, melainkan alat legitimasi kekuasaan. Meskipun pada pandangan luar sistem ini mungkin tampak berlandaskan pada aturan hukum, kenyataannya adalah aturan-aturan tersebut digunakan untuk mengendalikan, mengatur, dan mengekang kebebasan rakyat.

Namun, bagaimana jika model legalisme otokratis ini diterapkan di dalam sebuah negara demokrasi? Apakah mungkin, sebuah sistem yang seharusnya mengedepankan kebebasan dan hak-hak asasi manusia malah disesuaikan dengan cara-cara otokratik? Artikel ini akan mengeksplorasi kemungkinan tersebut dan dampaknya terhadap prinsip-prinsip demokrasi.

Legalitas versus Keadilan: Manipulasi Hukum untuk Memperkuat Kekuasaan

Dalam legalisme otokratis, pemerintah menggunakan hukum untuk memperkuat kekuasaan tanpa mempertimbangkan esensi keadilan. Regulasi dibuat sedemikian rupa agar tampak legal di atas kertas, namun memiliki motif tersembunyi untuk menekan oposisi dan membungkam kritik. Hukum dalam model ini tidak lagi menjadi pelindung rakyat, tetapi alat represi yang dilegalkan.

Misalnya, pemerintah dapat memberlakukan undang-undang yang membatasi kebebasan berekspresi dengan dalih menjaga keamanan nasional atau stabilitas sosial. Pembatasan ini mungkin dilegitimasi dengan proses formal melalui parlemen atau lembaga peradilan, tetapi esensinya adalah menekan pandangan kritis terhadap pemerintah.

Di dalam negara demokrasi, hukum seharusnya berfungsi untuk melindungi hak asasi manusia, menjamin kebebasan berbicara, dan memastikan pemerataan keadilan. Namun, dengan model legalisme otokratis, hukum justru bisa digunakan untuk membatasi kebebasan tersebut dengan cara yang tampak sah di hadapan hukum.

Kontrol Kekuasaan Melalui Birokrasi dan Lembaga Negara

Salah satu ciri khas dari legalisme otokratis adalah penggunaan lembaga negara untuk memperkuat cengkeraman kekuasaan. Di negara demokrasi, lembaga-lembaga seperti pengadilan, kepolisian, dan komisi pemilihan umum seharusnya bekerja independen dan netral. Namun, dalam model otokratis, lembaga-lembaga ini sering kali diarahkan untuk melayani kepentingan elit yang berkuasa.

Misalnya, pengadilan dapat diarahkan untuk memutuskan kasus-kasus tertentu yang menguntungkan pemerintah, atau lembaga pemilihan umum dimanipulasi untuk memastikan hasil yang mendukung pihak berkuasa. Birokrasi, yang seharusnya menjadi penjaga netral dalam sistem pemerintahan, dapat diubah menjadi alat untuk memperkuat kendali politik.

Ketidakpercayaan Publik dan Ambiguitas Demokrasi

Ketika model legalisme otokratis diterapkan di negara demokrasi, salah satu dampak terbesar adalah hilangnya kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan. Masyarakat mulai menyadari bahwa hukum tidak lagi berfungsi untuk melindungi mereka, melainkan untuk mengendalikan dan membatasi hak-hak mereka.

Ketidakpercayaan ini dapat mengakibatkan apatisme politik, di mana masyarakat enggan untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi karena mereka merasa hasilnya sudah ditentukan oleh kekuatan yang lebih besar. Partisipasi politik, yang merupakan fondasi dari demokrasi, mulai menurun, dan pada akhirnya, demokrasi itu sendiri bisa runtuh.

Dalam skenario yang lebih ekstrem, legalisme otokratis bisa menyebabkan munculnya gerakan perlawanan atau protes sosial. Namun, karena hukum telah dimanipulasi untuk memperkuat kekuasaan, tindakan perlawanan ini sering kali dihadapi dengan tindakan represif yang sah secara hukum.

Legalisme otokratis adalah sebuah paradoks dalam konteks negara demokrasi. Di satu sisi, hukum digunakan untuk melegitimasi kekuasaan dan menegakkan aturan yang tampaknya sah. Di sisi lain, esensi keadilan dan kebebasan, yang seharusnya menjadi fondasi dari demokrasi, terabaikan. Dalam model ini, hukum kehilangan nilai moralnya dan hanya menjadi alat politik.

Jika legalisme otokratis diterapkan dalam sebuah demokrasi, itu akan menggerus nilai-nilai inti dari demokrasi itu sendiri. Kebebasan berekspresi, hak asasi manusia, dan partisipasi politik akan terancam, dan lambat laun, demokrasi bisa berubah menjadi otokrasi yang terselubung di balik perisai hukum yang terdistorsi.

Masyarakat dalam model ini akan berada dalam dilema yang sulit: melawan dengan risiko dijerat oleh hukum yang telah dimanipulasi, atau tunduk dan menerima hilangnya hak-hak demokratis mereka. Pada akhirnya, jika model ini terus berlanjut, demokrasi hanya akan menjadi bayangan dari bentuk idealnya, sementara kekuasaan otokratik terus berakar di balik kedok legalitas.

Referensi:

Levitsky, Steven, dan Daniel Ziblatt. How Democracies Die. New York: Crown, 2018.

Linz, Juan J., dan Alfred Stepan. Problems of Democratic Transition and Consolidation: Southern Europe, South America, and Post-Communist Europe. Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1996.

O'Donnell, Guillermo. Delegative Democracy. Notre Dame: Kellogg Institute, 1994.

Schmitt, Carl. The Concept of the Political. Chicago: University of Chicago Press, 1996.

Ginsburg, Tom, dan Tamir Moustafa (Editors). Rule by Law: The Politics of Courts in Authoritarian Regimes. New York: Cambridge University Press, 2008.

Schedler, Andreas. The Politics of Uncertainty: Sustaining and Subverting Electoral Authoritarianism. Oxford: Oxford University Press, 2013.

Bunce, Valerie J., dan Sharon L. Wolchik. Defeating Authoritarian Leaders in Postcommunist Countries. New York: Cambridge University Press, 2011.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun