“… Saat ini kita (Indonesia) memang kekurangan listrik. Tidak di Sumatera, tidak di Kalimantan, tidak di Sulawesi dan juga di Papua. Masalah besar. Saat saya ke bawah, saya bertanya kepada investor. problemnya apa sebetulnya di bidang pembangkit tenaga listrik ini. Di bidang power plant ini. Semuanya mengatakan ada dua. Yang pertama, masalah perizinan, yang kedua masalah pembebasan lahan…”
(kutipan pidato Presiden Joko Widodo pada KTT APEC 2014 di Beijing)
Pembebasan Lahan yang dulu dianggap “remeh” di PLN
Di kalangan pegawai PLN yang kebanyakan adalah lulusan Teknik, pembebasan lahan infrastruktur ketenagalistrikan adalah hal yang dulu dianggap “remeh”, kalah penting dibandingkan hal yang bersifat teknis lainnya seperti Proses Konstruksi. Namun jika kita bisa mengibaratkan lahan sebagai suatu wadang/mangkok untuk makanan, tanpa Wadah, hal yang berasa manis/lezat seperti es campur tidak akan bisa dinikmati tanpa adanya wadah/mangkok, demikian juga proses konstruksi tidak akan bisa berjalan tanpa adanya lahan. Sehingga tidak tepat jika dikatakan bahwa pengadaan lahan kalah penting jika dibandingkan proses konstruksi.
Pengalaman PLN dalam membangun Pembangkit Listrik FTP I (Fast Track Program I) dan FTP II memberikan pelajaran bahwa kendala utama dalam membangun Infrastruktur Ketenaglistrikan adalah Perizinan dan Pembebasan Lahan. Proyek Asahan III Pengurusan Izinnnya memakan waktu belasan tahun dan sekarang pun belum selesai.. . Banyak masalah sosial dan hukum dalam proses pembebasan lahan.
UU No 2 tahun 2012
Karena Pembebasan Lahan untuk kepentingan umum sering mengalami kendala maka Pemerintah bersama DPR membuat sebuah Undang-undang untuk mengatasi kendala Pembebasan Lahan untuk kepentingan umum yang kemudian disebut UU No 2 tahun 2012. Undang-undang ini diinisiasi oleh DPR sehingga bisa dibilang Undang-undang ini pro Rakyat yang terkena Pembebasan lahan. Bila dahulu ganti rugi pemebebasan lahan menggunakan NJOP, sekarang UU No 2 tahun 2012 mengamanahkan bahwa ganti rugi pembebasan lahan menggunakan harga pasar yang terlebih dahulu dinilai oleh Penilai Publik (Appraisal). Biasanya hrag pasa dari penilai publik lebih tingi daripada ganti rugi berdasarkan NJOP.
Walaupun ganti rugi bisa dibilang menguntungkan masyarakat, Undang-undang ini juga menguntungkan pemerintah/PLN sebagai pihak yang membebaskan lahan karena Undang Undang ini memuat kepastian dalam proses pembebasan lahan.
Diklat Pembebasan Lahan/Pengadaan Tanah di PLN
Sebagai salah satu instruktur tidak tetap Diklat Pengadaan tanah, saya sering sharing dengan teman-teman mengenai permasalahan pengadaan tanah di PLN. Dari beberapa wilayah/Regional PLN yang telah saya datangi permasalahn Pengadaan Tanah umumnya bisa dikelompokkan menjadi beberapa tipe. Tipe pertama adalah tipe permasalahan sosial. Permasalahan sosial yang muncul bisa saja berupa penolakan warga terhadap rencana lokasi pengadaan tanah. Penolakan dari warga bisa disebabkan oleh “provokasi” oleh LSM atau tokoh masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari kasus PLTU Batang. Tipe kedua adalah penolakan warga terhadapa nilai ganti rugi yang ditawarkan. Hal ini bisa disebabkan oleh “provokasi” beberapa oknum warga yang tidak puas terhadap nilai hasil appraisal. Tipe ketiga adalah permasalahan regulasi. Tipe ketiga ini bisa disebabkan oleh belum harmonisnya regulasi yang ada. Sering ada “pertentangan” atau ketidaksinkronan antar regulasi sekotor yang ada.
Pembebasan lahan PLN yang berjalan lambat disebabkan oleh terbatasnya pegawai di Bidang Pertanahan. Untuk mengatasi hal ini Manajemen PLN membentuk tim-tim pembebasan lahan yang anggotanya berasal dari berbagai bidang misalnya Bidang keuangan, Teknik,dll. Hal ini perlu dilakukan karena jika tanah belum bebas, orang Teknik mau kerja apa ? karena tanah belum bebas maka konstruksi belum bisa dimulai. Karena banyaknya pegawai yang buka di bidang pertanahan masuk ke tim pembebasan lahan maka Diklat pengadaan Tanah perlu dilakukan. Beberapa Udiklat PLN di seluruh Indonesia menjadi pelaksana Diklat tersebut dengan Udiklat Bogor menjadi koordinatornya.