Mohon tunggu...
Ahmad Zainuri Tzy
Ahmad Zainuri Tzy Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya mahasiswa fakultas syariah uin raden mas said

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pembiayaan Rumah dengan Skema (KPR Syariah)

2 Oktober 2024   09:46 Diperbarui: 2 Oktober 2024   09:51 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Salah satu isu yang sedang banyak dibicarakan di masyarakat Indonesia adalah pembiayaan rumah dengan skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Syariah. Masyarakat muslim yang ingin membeli rumah tanpa melibatkan bunga (riba) banyak yang tertarik pada skema ini. Namun, masalah muncul ketika beberapa pengembang menggunakan istilah "syariah" dalam KPR, tetapi sebenarnya tidak sepenuhnya sesuai dengan prinsip syariah, misalnya dengan adanya denda keterlambatan pembayaran atau penalti yang dianggap serupa dengan bunga.
Dalam KPR Syariah, beberapa kaidah hukum yang harus diperhatikan adalah:
*Al-'Adl (Keadilan): KPR Syariah harus didasarkan pada prinsip keadilan. Pembeli rumah dan pengembang harus mendapatkan hak yang adil. Tidak boleh ada pihak yang dirugikan, misalnya dengan menetapkan denda keterlambatan yang berlebihan.
*Al-Mashlahah (Kemaslahatan): Prinsip ini menyatakan bahwa transaksi harus membawa manfaat bagi semua pihak. KPR Syariah harus membawa manfaat bagi masyarakat yang ingin memiliki rumah dengan cara yang halal, tanpa melanggar prinsip syariah.
*La Dharar wa La Dhirar: Tidak ada kerugian atau bahaya dalam transaksi. Dalam KPR Syariah, ini berarti tidak boleh ada unsur yang merugikan salah satu pihak, seperti denda yang tinggi atau persyaratan yang tidak jelas yang dapat menyebabkan pembeli dirugikan.
*Al-Bay' wa Syira': Prinsip transaksi jual beli, dalam hal ini pembelian rumah, harus dilakukan dengan jelas tanpa adanya ketidakpastian (gharar), seperti harga yang tidak transparan atau kondisi perjanjian yang tidak jelas.
Norma-norma hukum dalam KPR Syariah meliputi:

*Akad Murabahah: Dalam akad ini, bank atau pengembang menjual rumah kepada pembeli dengan harga yang disepakati, yang mencakup keuntungan tetap. Pembeli mengetahui secara jelas berapa total harga rumah yang harus dibayar dan cicilan yang tetap selama masa kredit. Tidak ada bunga yang dikenakan seperti dalam KPR konvensional.
*Larangan Riba: Tidak boleh ada bunga dalam transaksi KPR Syariah. Seluruh pembayaran harus didasarkan pada akad jual beli yang jelas, bukan pinjaman dengan bunga.
*Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT): Dalam beberapa kasus KPR Syariah, akad yang digunakan adalah IMBT, di mana pembeli menyewa rumah dari bank atau pengembang dan di akhir masa sewa, kepemilikan rumah beralih kepada pembeli setelah melunasi semua cicilan sewa.
Beberapa aturan hukum yang terkait dengan KPR Syariah di Indonesia adalah:

*Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah: Peraturan ini mengatur operasional perbankan syariah, termasuk produk-produk pembiayaan seperti KPR Syariah. Prinsip-prinsip dasar perbankan syariah harus diikuti, termasuk larangan riba, gharar (ketidakpastian), dan maysir (perjudian).
*Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah: Fatwa ini menjelaskan bahwa transaksi murabahah (jual beli dengan margin keuntungan) diperbolehkan dalam syariah, asalkan barang atau properti sudah dimiliki oleh penjual sebelum dijual ke pembeli.
*Fatwa DSN-MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT): Fatwa ini mengatur transaksi IMBT di mana pemilik (bank atau pengembang) menyewakan properti kepada pembeli dan setelah cicilan selesai, properti menjadi milik pembeli.
*Pandangan Positivisme Hukum:

Menurut positivisme hukum, hukum adalah peraturan yang dibuat oleh otoritas resmi dan harus ditaati terlepas dari moral atau nilai-nilai lainnya. Dalam kasus KPR Syariah, peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Perbankan Syariah dan peraturan dari OJK serta Fatwa DSN-MUI menjadi acuan hukum yang sah. Jika ada pengembang atau bank yang menyimpang dari peraturan ini, seperti menerapkan bunga atau denda keterlambatan yang tidak syariah, mereka dianggap melanggar hukum yang berlaku. Hukum formal mengutamakan kejelasan aturan yang telah disahkan oleh otoritas resmi.
*Pandangan Sociological Jurisprudence:

Pendekatan sosiologis terhadap hukum melihat bahwa hukum harus disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi masyarakat. Dalam kasus KPR Syariah, pendekatan ini akan menilai apakah praktik KPR Syariah saat ini benar-benar memenuhi harapan masyarakat muslim yang ingin memiliki rumah tanpa melanggar prinsip-prinsip syariah. Sociological jurisprudence juga akan melihat bagaimana penerapan KPR Syariah di masyarakat dapat berkembang seiring dengan kebutuhan masyarakat akan akses perumahan yang halal. Jika ada praktik yang merugikan atau tidak sesuai dengan semangat syariah meskipun sah menurut hukum formal, pendekatan ini akan mendorong perubahan dalam kebijakan hukum agar lebih relevan dengan kondisi sosial.

Dengan contoh yang lebih rinci ini, kita bisa melihat bagaimana kasus KPR Syariah yang terlihat "syariah" di permukaan, bisa saja menyimpan elemen yang bertentangan dengan kaidah dan norma syariah jika tidak dilakukan dengan tepat. Analisis hukum positif memberikan penekanan pada kepatuhan terhadap aturan tertulis, sementara analisis sosiologis lebih memperhatikan dampak sosial dan bagaimana hukum tersebut diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun