Mohon tunggu...
Ahmad Zaimuddin
Ahmad Zaimuddin Mohon Tunggu... -

UIN Maulana Malik Ibrahim_Malang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menyadari Akan Kasih Orang Tua

2 November 2012   01:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:06 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin entah dari mana awalnya, dosen saya kok tiba-tiba membahas kasih sayang orang tua kepada anaknya. Memang kemarin saya terlambat masuk (walaupun memang itu kebiasaan saya, hehehehe!!!). Pada saat itu beliau menceritakan seorang ayah yang begitu setia menuggu dan menemani sang anak diwaktu kecil, terutama ketika berumur 3 tahun keatas, dimana kecenderungan anak seumur itu biasanya akan mempertanyakan apa yang dia lihat, mulai dari yang paling kecil seperti semut sampai yang paling besar kereta api misalkan, dan beliau mencoba menirukan gaya naka kecil, "yah, itu apa yah?", tanya si anak. "itu namanya semut nak, hati-hati jangan dibuat mainan nanti digigit lo!", jawab si ayah dengan penuh kasih sayang. Dan pertanyaan itu tidak berhenti sampai disitu, pertanyaan itu akan terus dan terus muncul ketika si anak mengetahui sesuatu yang di anggap baru, "dan saya sangat yakin orang tua akan mencoba memberi tau dan memberikan sebuah pengertian dengan tulus dan disertai kasih sayang agar anaknya mengerti", sambung dosen saya.


Namun satu hal yang menjadi sebuah ironi memang dan mungkin hal ini sering kita tidak menyadarinya, dimana jika keadaan ini dibalik, maksudnya misalkan sang anak sudah menjadi orang yang dewasa dan mengetahui segala hal dengan mudah dan disaat bersamaan orang tua yang sudah dimakan usia dimana sudah tidak lagi mampu mencerna semua informasi dengan baik. Ketika dalam keadaan seperti ini orang tua tidak lagi bisa berbuat banyak dan saya yakin yang dimintai tolong siapa lagi kalau bukan sang anak, "namun biasanya perlakuan sang anak tak sebanding lurus dengan perlakuan sang anak ketika kecil, entah anda menyadarinya atau tidak", kata dosen saya. Beliau memcoba menganalogikan, "ketika seorang ayah misalkan bertanya kepada anaknya, nak ini apa?, ini Hand Phone yah!, berapa harganya?, 3 jt misalkan, trus apa bedanya dengan telpon rumah?, ya beda enaknya bisa dibawa!, trus bayarnya gimana ini apa kayak telpon rumah?, ah ayah ini tanya aja, masak sih ayah gak tau!". La ini lah yang membedakan, dimana semua pertanyaan sang anak ketika masih kecil semuanya di jawab, namun sebaliknya ketika sang ayak sudak lansia menanyakan sebuah hal, tak semuanya dijawab dengan baik oleh sang anak.
Sebuah Cerita Si Anak Berbakti
Ada pepatah yang terkenal mengatakan, "kasih orang tua sepanjang masa kasih anak sepanjang galah". Pepatah di atas menggambarkan bahwa kasih ibu kepada sang anak tak berbatas, laksana jalan yang tak berujung. Sementara, kasih anak kepada sang ibu berbatas, sebagaimana penggalah (tongkat).
Dongeng Malin Kundang mungkin menjadi sebuah inspirasi bagi kita, dimana dikisahkan seorang Malin yang awalnya hanya anak biasa yang mencoba mencari peruntungan nasibnya di Pulau seberang dan akhirnya sukses menjadi saudagar yang kaya namun sayang beribu sayang kesuksesannya seolah menggelapkan matanya dengan tidak mengakui ibunya karena malu dengan keadaan ibunya yang miskin.
Entah apa juga yang membuat saat ini seolah menjadi sebuah kebiasaan, dimana kita sering kali melupakan akan jasa orang tua, padahal sejak kecil saya yakin kita sudah diajarkan bagaimana caranya agar menghormati orang dan menyayanginya dalam keadaan bagaimana pun.
Namun saya yakin tak semua orang melakukan seperti yang dilakukan Malin, seperti kisah Kisah yang saya ambil dari Situs www.islamedia.web.id 19/9/2011 yang dikutip oleh www.anwardjaelani.com memuat kisah nyata yang –sebenarnya- telah terjadi beberapa tahun yang lalu.
Pada 27/1/2006, seorang anak di China mendapat penghargaan tinggi dari pemerintahnya karena dinyatakan telah melakukan “Perbuatan Luar Biasa”. Di antara 9 peraih penghargaan itu, dia satu-satunya anak kecil dari 1,4 milyar penduduk China.

Apa prestasi Zhang Da (ZD), anak kecil itu? Sejak 2001, saat berusia 10 tahun, ZD ditinggal pergi ibunya. Sang ibu tak tahan hidup bersama suaminya yang sakit keras dan miskin. Sejak itu ZD hidup dengan seorang ayah yang sakit, yang tak bisa berjalan dan bekerja.
Kondisi tersebut memaksa si bocah mengambil tanggung-jawab. ZD bersekolah dan mencari makan untuk ayah dan dirinya. Juga, memikirkan obat-obat yang tak murah. Sungguh, dia masih terlalu kecil menjalankan tanggung-jawab yang berat itu. Tapi, yang membuat ZD berbeda,  dia tak menyerah.

Ketika sadar bahwa hidup itu harus terus bergerak, diapun bertekad untuk memikul tanggung-jawab yang datang menyapanya lebih awal itu, yaitu meneruskan kehidupan sang ayah dan –tentu saja- dirinya sendiri.
ZD terus bersekolah. Dari rumah ke sekolah –dan sebaliknya-, ZD berjalan kaki melewati hutan kecil. Dalam perjalanan itulah, ZD mulai memakan daun, biji-bijian dan buah-buahan yang dia temui. Kadang juga dia menemukan sejenis jamur atau rumput, dan dia coba memakannya. Dari mencoba-coba makan itu, dia tahu mana saja yang bisa dimakan.

Pulang sekolah, ZD bergabung dengan tukang batu. Dia belah batu-batu besar untuk memeroleh upah. Hasilnya, untuk membeli beras dan obat-obatan sang ayah. Hidup berat seperti itu dijalaninya selama 5 tahun. Badannya tetap sehat, segar, dan kuat.

Sejak berumur 10 tahun, ZD merawat ayahnya. Dia gendong ayahnya ke kamar mandi. Dia seka dan sekali-sekali memandikannya. Dia beli beras dan membuat bubur, juga untuk si ayah. Pendek kata, semua urusan ayahnya, dia kerjakan sepenuh tanggung-jawab dan kasih. Obat mahal dan jauhnya tempat berobat membuat ZD berpikir untuk menemukan cara terbaik mengatasinya. Maka, sejak umur 10 tahun pula, dia mulai belajar tentang obat-obatan melalui buku bekas yang dia beli. ZD mencermati saat perawat menyuntik si ayah. Setelah dirasa mampu, dia beranikan diri menyuntik ayahnya sendiri. Itu, dikerjakannya sampai lima tahun kemudian. Di fragmen ini, ZD semakin tampak luar biasa.

Lalu, sampailah kisah ZD ke ‘atas’. ZD diputuskan pantas menerima penghargaan. Dia dinilai telah melakukan “Perbuatan Luar Biasa”.

Kini, lihatlah! ZD berada dalam suasana ‘resepsi’ penganugerahan penghargaan itu. Ketika itu, mata pejabat, pengusaha, artis, dan orang-orang terkenal yang hadir tertuju kepada ZD.

Sang pembawa acara (MC) bertanya, “ZD, sebut saja kamu mau apa. Misal, sekolah di mana? Berapa uang yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah? Atau, apa yang kamu rindukan untuk terjadi dalam hidupmu?”

“Jika saatnya nanti kuliah, mau kuliah di mana? Sebut saja. Pokoknya, apa yang kamu idam-idamkan, sebut saja. Di sini ada banyak pejabat, pengusaha, dan orang terkenal yang hadir. Kecuali itu, saat ini juga ada ratusan juta orang yang sedang melihat kamu melalui layar televisi. Mereka bisa membantumu!”

ZD terdiam. MC-pun berkata lagi, “Sebut saja, mereka bisa membantumu.”

Zhang Da, bocah yang telah mengajarkan keteguhan dan kesabaran dalam mengahadapi ujian.

Beberapa menit ZD masih diam. Lalu, dengan suara bergetar, ZD menjawab, “Saya mau ibu kembali. Ibu, kembalilah ke rumah. Saya bisa membantu ayah. Saya bisa mencari makan sendiri. Ibu, kembalilah!
Semua yang hadir terkesima dan menitikkan air mata, terharu. Tak ada yang menyangka atas apa yang keluar dari lisannya itu. Mengapa ZD tidak meminta kemudahan pengobatan ayahnya? Mengapa dia tidak meminta deposito yang cukup untuk meringankan hidupnya dan sedikit bekal untuk masa depannya? Mengapa dia tidak meminta rumah kecil yang dekat dengan rumah sakit? Mengapa dia tidak meminta sebuah kartu kemudahan dari pemerintah agar ketika dia membutuhkan, pasti semua akan membantunya? Demikian kira-kira pikiran yang ada di rata-rata orang yang hadir di acara itu.
Dalam paragraf terakhir ini, saya cuma berharap bagi semua juga untuk saya sendiri untuk merenungi sekelumit kisah dari ZD ini, bukan berarti melakukan seperti apa yang dilakukan oleh ZD, namun nilai esensinya adalah kita harus berfikir kreatif bagaimana caranya bisa membuat orang tua kita tersenyum bahagia bangga atas apa yang kita kerjakan.  Karena dengan itu adalah sebagai bentuk bakti kita kepada orang tua dan mungkin juga sebagai bentuk balas budi walaupun kasih orang tua tak pernah terbalaskan.
Semoga Bermanfaat . . .

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun