Mohon tunggu...
YUDIAR ARRASYID
YUDIAR ARRASYID Mohon Tunggu... Guru - Guru Kehidupan, Social Helper.

Tertarik pada bidang pendidikan, psikologi dan Parenting

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kado Indah di Hari Duka

1 Februari 2023   11:01 Diperbarui: 1 Februari 2023   11:03 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Awan tiba-tiba kelam, dan cuaca menjadi tidak bersahabat, Sabtu, 28 Juni 2007, menjadi hari yang aku tunggu-tunggu setelah ujian akhir semester berakhir. Dengan hati yang penuh suka aku menatap langit yang akan menaungi langkahku hari ini. Pakaian pramuka yang aku kenakan menutupi tubuh mungilku. Menoleh kearah wanita separuh baya di kasur pembaringan, ibuku yang masih menahan sakit setelah kecelakaan itu.

“Emak...hari ini kami sudah menerima raport, mudah-mudahan aku kembali mengukir prestasi yang lebih memuaskan lagi semester ini.” Ia tak merespon uacapanku. Aku lekas pergi kesekolah tepat pukul 05.30 sembari mengambilkan sepatu hitam yang terletak di pojok ruang tamu. Terlihat adik kecilku Dendra keasyikan memegang kue goreng pisang dan menggulingkannya ke lantai. Ia seakan gembira dengan tingkah yang ia lakukan, berbeda dengan kami yang lagi kalut dan sedih memikirkan apa yang sedang keluarga kami alami sekarang. “ ya wajar saja...ia kan masih kecil, masih 2 tahun.” kataku dalam hati, dhadaaaaa adek,,,,sambil mencubit kedua pipinya aku meninggalkan rumah menuju sekolah, hari terakhir untuk mengambil raport.

Pagi sekali aku sampai di sekolah, suasana kelas yang masih hening dengan pintu terkunci. Hanya terdengar sayup-sayup burung gereja yang sedang bernyanyi di halaman tempat upacara, embun pagi yang masih menetes menambah kesejukan mata ini memandang, awanpun cerah menanungi langit biru yang indah, semua keceriaan tampak mengiringi langkahku pagi itu, tapi tidak dengan suasana hatiku.

Aku, bingung, kalut, bimbang tak terarah. Pikiranku hanya tertuju pada kedua orang tuaku yang lagi baring tersengal di rumah. Ibuku dengan ketidakberdayaan tubuhnya untuk bergerak, tulangnya rusuk remuk, lehernya bagaikan singkong yang diparut, sungguh malang dan mengerikan, pernah malam itu ku melihat air matanya jauh bercucuran melilit pipinya, aku tak tahu kenapa, mungkin karena ketidakmampuannya menggendong dan menyusui adikku yang telah berlalu selama seminggu. 

Lain lagi dengan ayahku, yang hanya bisa berbaring diruang tamu. Sejak kecelakaan itu aku tak pernah melihat ia menyapa kami lagi, seolah-olah ia berbicara tapi kami tidak mengerti apa yang dia ucapkan, lidahnya mengerut. Aneh, tak ada luka yang serius yang ia alami, tapi siapa sangka kalau bisa dan sakit kepala yang ia rasakan terus menghujam bak dipalu, “sakit naakkk...adoiiii eee “ itulah kata yang sering aku dengar selama 6 hari berlalu. Pernah hari ke 3 setelah kecelakaan itu ia bertanya, kamu siapa? Apa yang terjadi dengan saya. Druft.....hatiku tersentak, kaget, jangan katakan ia amnesia, ya Allah cobaan apalagi ini ya Allah,,,pikirku dalam hati. Itulah suasana hati yang ku alami sembari duduk diatas batu taman depan kelas menunggu kedatangan teman-teman yang lain. Teman-teman bergurau ikut meramaikan suasana kelas yang gaduh, teriakan, dan tawa dari teman-teman membuatku sedikit terenyum.

Treeeeeeeeeeeeeetttttttttttt,,,,,,,bunyi bel menggetarkan telingaku, saatnya berkumpul dilapangan seperti biasa, acara semesteran pengumuman siswa-siswa yang mendapat juara seakan menjadi tradisi yang sakral yang tidak boleh dilewatkan. Para orang tua dan guru sudah berdiri didepan ruangan perpustakaan dan aula kantor untuk menyambut pengumuuman itu, semuanya terlihat bergairah dan gerah karena teriknya matahari yang menyilaukan pandangan mereka. Tapi tidak dengan diriku, datang kesekolah tanpa didampingi oleh orang tuaku, orang tua kesayangan yang akan segera melihat buah perjuangan anaknya selama satu semester ini. 

Tiba saatnya detik-detik pengumuman itu, dentuman suara micropone menggelegarkan suasana hening ketika itu, satu per satu dipanggil dan berdiri ditengah teriknya sinar matahari yang menyengat kulit. Pemanggilan itu dimulai dari kelas 7 A, saat itu aku dikelas 7 C wali kelasnya ibu Rosita, kami merasa gelisah karena tak sanggup menahan teriknya panas matahari ketika itu, keringat dingin mulai membasahi tubuhku, aku berdiam sejenak mananti saat-saat terpanggilnya namaku, hatiku semakin geregetan dan bergetar, jantungku tak mau berhenti untuk terus berdetak kencang. Juara ketiga Sabriyadi, Juara kedua, Siti Nur Islamiyah, dan juara pertama adalah, Ahmad yudiar. 

Hatiku mulai tenang jantungku tak lagi berdetak hebat, tapi kok aku merasakan hal yang beda, aku menyambut pengmuman itu dengan muka yang meraut seakan pilu memikirkan sebuah masalah, ya pikiranku hanya tertuju pada keluarga dirumah, pikiranku pilu tak tenang dan tak karuan, suaraa tepuk tangan dari kumpulan orang tua dan guru tak mampu membuatku sedikit tersenyum. 

Aku hanya bisa merunduk menatap rumput dekat sepatu yang aku pijak, ingin hati ini menangis bahagia, tapi tak bisa, terasa tangisanku hanya tangisan pilu, tangisan kekecewaan karena tak ada orang tua yang melihat keberhasilanku hari ini. 

Terlihat tepat di depanku  sosok guru perempuan yang anggun berkerudung coklat sambil perlahan mengusap air mata yang mengalir dipipi kirinya, sembari menatap keberhasilan kami semua, perlahan ia menghampiriku, tepat 5 cm didepanku, ia berkata sambil mengusapkan tangannya dikepalaku ” Selamat nak, pertahankan terus ya” aku  kaget dan tak meresponkan apa-apa, tapi aku merasa sedikit lega dan bahagia, karena ketika teman-teman lain berdiri berdampingan bersama orang tua mereka dengan penuh senyuman dan kebahagiaan aku hanya di sendirian sambil memegang piagam dan hadiah yang baru saja diberikan bagi siswa yang mendapatkan juara.

Selepas dari acara yang meriah dan mengaharu biru terebut saya segera pulang menuju rumah menggunakan mobil angkot warna merah yang biasa aku naiki bersama-teman-teman satu kampung lainnya, satu persatu teman-teman dalam mobil mengucapkan selamat padaku, sesekali mereka melihat nilai raportku dan menimang-nimang piagam dan bingkisan hadiah yang aku terima.

Setelah berapa lama diperjalanan, akhirnya aku sampai tepat didepan gang menuju rumahku, karena rumahku berada dibelakang rumah nenekku, aku sempat keheranan “ Tak seperti biasanya kendaraan banyak disini, ada apa ya” tanya ku dalam hati..” nih mang (mengulurkan tangan) bayar uang angkot. Hatiku mulai ngak nyaman, terlihat seorang tetanggaku melambaikan tangannya seolah menyuruhku untuk cepat datang kerumah, jantngku kembali bergetar tak karuan, segera aku berlari, teringat mak dan bapak yang tadi nya aku tinggali karena harus menerima raport. Mak..........................ayah.....................(teriak) berlari sambil mengapit piagam, bingkisan, dan raport. 

Seketika nampak pintu rumahku terbka dan orang-orang berduyun-duyun masuk rumah, memaka jilbab dan peci hitam. Aku menghentikan langkahku, braaaaaaaaaaaaaaaakkkkkkkkkkk,,,,aku lempar raport, piagam, dan bingkisan itu (terjatuh ketanah). Tetanggaku memanggilku, “nak, bapak kamu udah meninggal nak” Ayah..........(teriak kembali), air mata bercucuran mengiringi langkah ku menuju tangga rumah menyingkirkan orang-orang yang mengahalangi jalanku. 

Ibuku hanya bisa terbaring dsamping mayat ayahku yang terbujur kaku diatas kasur pembaringan, terlihat adikku digendong oleh bibiku. Kasian dia tidak mengerti apa-apa dan hanya bisa melihat suasana yang begitu ribut dan sesak. 

Terlihat dipojok dekat televisi kakakku devi menangis meronta-ronta tak mampu menahan air matanya, menangis sekuat-kuatnya maratapi kepergian seorang ayah yang ia bangga-banggakan selama ini, memamng kakaku dekat dengan ayahku. Aku hanya tertunduk lesu, duduk terpangku tepat dsamping kepala ayahku. Apa yang terjadi mak........terlihat sekekliling orang-orang memebacakan yasin berbaur dengan tangisan air mata. Aku seakan tak menduga dan percaya semua ini terjadi, karena sebelum aku ke sekolah ayahku terlihat sehat, dan dibalik pipinya terukir senyuman tulus walaupun ia tak menyapaku. Kesedihan yang ku alami ketika menerima raport tak ada sosok orang tua yang mendampingiku ditambah dengan kepergian ayahku yang terlalu pagi melengkapi certa pahit yang ku alami ketika itu. Kado terindah yang ingin ku berikan ternyata hanya lah sebuah angan kosong, hanya ada sedikit kebahagiaan bercampur duka, dan terbalut air mata. Kado indah dihari duka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun