Mohon tunggu...
Ahmad Wazier
Ahmad Wazier Mohon Tunggu... Dosen -

Manusia awam yang \r\npenuh dengan keterbatasan dan kebodohan. \r\n\r\nSaat ini berstatus sebagai Dosen dan Mahasiswa Program Doktor (S3) di University of Tasmania-Australia.\r\n\r\nMantan pengurus DPD IMM DIY ini menyelesaikan Pendidikan Pasca Sarjana di Universitas Gadjah Mada.\r\nPengalaman organisasi: Sekretaris Pusat Pengembangan Bahasa (dua periode), Wakil sekretaris MTDK PWM DIY dan Sekjen KAMADA, Ketua Umum KORKOM IMM, Waka 1 IMM PSH,. Jabatan terakhir sebagai Kepala Pusat Pengembangan Bahasa (2 Periode).\r\n\r\nAktivis alumnus Pondok Pesantren Ar-Ruhamaa’ ini mempunyai minat bidang kebijakan politik Amerika Serikat, ideologi dan agama.\r\n\r\nAktif di beberapa perkumpulan dan juga latihan menjadi pembicara dalam diskusi, training, seminar atau konferensi. bisa di hub di: Twitter: @WazierW wazier1279@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Faham Feminisme Hancurkan Generasi Manusia

5 Oktober 2012   01:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:14 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Faham Feminisme Hancurkan Generasi Manusia

Oleh

Wajiran, S.S., M.A.,

(Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta)

Adanya perubahan perilaku pada manusia, mengindikasikan adanya ketidakberesan dalam sistem keluarga. Pasalnya, keluarga adalah fondasi dasar bagi terbentuknya kepribadian manusia terutama generasi muda. Jika keluarga mengalami disfungsi sebagaimana yang seharusnya tentu akan menimbulkan efek yang tidak baik. hilangnya rasa malu, sopan santun, dan tatakrama dalam pergaulan mengindikasiskan bahwa mereka kehilangan contoh yang baik dalam kehidupan. Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa kasar, jorok dan mengandung sarkasme. Pakaian yang dikenakan juga semakin tidak teratur, yang perempuan semakin minimalis sedangkan yang laki-laki sudah banyak yang menyerupai perempuan. Generasi muda sekarang banyak yang kehilangan identitas sebagai generasi manusia berperadaban.

Kerusakan moral yang menjangkiti generasi muda saat ini dapat dilihat dari lahirnya berbagai gerakan atau komunitas yang cenderung destruktif. Lahirnya geng-geng di lingkungan kita menunjukan bahwa generasi ini mengalami disorientasi kehidupan. Pada usia muda harusnya mereka memiliki cita-cita dan angan-angan yang tinggi tetapi justru kenyataannya sebaliknya. Orientasi mereka pada kebahagiaan sesaat dan menginginkan semua serba instant. Walhasil, banyak generasi yang terjerumus dalam aktivitas yang kontraporduktif dengan masa depan mereka. Penyalahgunaan obat-obatan terlarang, bergabung di organisasi brandalan (geng motor, geng sekolah, dll) menjadi rumah utama mereka. Kecenderungan negatif ini sangat merugikan masa depan mereka. Tawuran antar sekolah merupakan dampak dari disorientasi ini. Mereka ingin menunjukan jati diri sebagai orang hebat dengan cara pandang yang salah. Karena sudah banyak korban bergelimpangan di kalangan pelajar, akibat tawuran antar sekolah. Jika hal ini dibiarkan tentu akan mengancam masa depan generasi bangsa dan negara ini.

Peran orang tua dalam keluarga

Terjadinya perubahan perilaku pada generasi muda sebenarnya sudah dapat dipastikan karena terjadinya disfungsi keluarga. Orang tua yang harusnya mendidik dan mengawasi perkembangan anak-anak justru meninggalkan mereka dengan menitipkan pada pembantu atau sekolahan. Padahal, secara psikologis masa kanak-kanak adalah masa-masa yang sangat membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya. Mengingat keringnya kasih sayang orang tua terhadap anak-anak, menjadikan anak-anak kehilangan tempat bernaung dan tempat mengadu. Hal inilah yang menjadikan anak-anak lebih memilih bergabungnya pada kelompok-kelompok yang tidak jelas karena mereka membutuhkan tempat bernaung. Tempak mengekspresikan jati diri, sekaligus sebagai upaya aktualisasi diri terhadap lingkungannya.

Pembagian tugas dan tanggungjawab yang tidak jelas antara suami dan istri nampaknya menjadi sumber segala kekacauan dalam kehidupan ini. Pasalnya, saat ini kedua orang tua lebih memilih mengejar karir dan status sosial yang semuanya ditentukan dari kekayaan dan jabatan publik. Para orang tua terlena dengan aktivitas di luar rumah, sehingga menganggap keluarga hanya sebagai tempat singgah sementara. Walhasil anak-anak dikorbankan dengan menitipkan mereka di sekolah full day atau pada para pembantu. Dalam kondisi seperti inilah anak mengalamai kesalahan orientasi, karena tidak ada yang mengharahkan. Pembantu jelas tidak akan pernah dapat menggantikan peran orang tua, apalagi sekolah yang nota bene hanya mencari penghasilan semata. Kondisi ini tentu memiliki andil besar didalam membantuk generasi brutal yang sekarang ini kita lihat.

Bagaimana mungkin sebuah keluarga akan memiliki perhatian penuh terhadap anak turun jika semuanya (ayah-ibu) memiliki aktivitas dan beban kerja yang sama-sama berat. Hal ini tentu akan sagnat mengganggu perhatian orang tua terhadap anak-anak mereka. Seorang ibu yang fokus pada pekerjaan akan menyepelekkan pekerjaan rumah, termasuk di dalamnya membesarkan anak-anak mereka. Bisa jadi malah beban yang melelahkan di kantor akan diluapkan di dalam rumah dengan menjadikan anak dan keluarga sebagai sasaran. Jika hal ini terjadi tentu akan sangat memprihatinkan. Padahal suami yang memiliki tanggungjawab mencari nafkah sudah bekerja sebaik mungkin demi kelangsungan keluarga. Jika ini dibiarkan bukan hanya anak-anak yang menjadi korban, tetapi hubungan suami istripun akan mengalami kendala karena beban hidup yang semakin berat, bukan semakin ringan. Akibatnya lainya, tidak jarang salah satu dari mereka harus mencurahkan perhatian dan mencari perlindungan kepada orang lain (komunitas lain).

Menurut Suharsiwi (2012) virus materialisme saat ini sudah menjangkiti masyarakat islam. Dengan dalih untuk membantu suami, kaum perempuan juga bekerja di luar rumah. Ironisnya kadang keluarga yang sebenarnya sudah berkecukupan pun tetap bertekat mengorbankan anak-anak dan keluarga demi harga diri dan status sosial. Seorang istri yang bekerja di rumah dengan mengurus anak-anak dan keluarga dianggap hina dan tidak berharga. Bagi masyarakat modern manusia dianggap mulia jika bekerja di kantor atau memiliki jabatan publik dan kekayaan yang melimpah. Orientasi inilah yang saat ini sudah merusak keluarga muslim di dunia ini. Akibatnya, banyak kaum perempuan yang berani membangkang pada suami atas nama kesetaraan dan keadilan.

Tuntutan kesetaraan sebenarnya adalah pengaruh dari faham feminisme. Faham feminisme menuntut adanya kesetaraan gender dengan dalih bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki persamaan kemampuan. Adanya perbedaan gender dianggapnya hanya karena kesalahan penilaian budaya saja. Jadi faktor budaya dianggap bersalah telah melahirkan diskriminasi terhadap perempuan. Padahal, secara kodrat antara laki-laki dan perempuan memang berbeda. Meskipun jika dipaksakan masing-masing bisa menggantikan, seperti mengurus anak dan rumah tangga. Tetapi sesungguhnya secara psikologis sifat keibuan dan kesabaran tidak akan pernah bisa ditukar balikan. Inilah kodrat yang telah ditentukan oleh Tuhan bahwa antara laki-laki dan permpuan berbeda. perbedaan itu memiliki fungsi dan makna sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing. Jika ini dipaksakan, tentu akan menimbulkan masalah besar bagi kehidupan manusia.

Petaka yang paling nyata dengan adanya kesetaraan gender adalah semakin lemahnya lembaga hukum perkawinan di negara-negara maju. Dengan dalih atas nama kesetaraan, kehidupan masyarakat sudah tidak lagi mengakui adanya kesakralan lembaga perkawinan. Lembaga perkawinan dianggap hanya akan menguntungkan salah satu fihak (terutama laki-laki). Karena dalam hal ini laki-laki lah yang memiliki hak atas perempuan demikian juga terhadap anak turun mereka. Lembaga perkawinan dianggap menjadikan kaum wanita inverior karena harus terikat dengan ketentuan-ketentuan dalam perkawinan. Walhasil, tidak jarang kaum perempuan menunda perkawinan mereka sampai mereka benar-benar menemukan yang cocok dalam jangka waktu yang cukup lama. Dalam proses mencari pasangan yang cocok itupun terjadi perubahan standar norma yang mereka yakini. Tidak jarang banyak pasangan yang sudah tinggal dalam satu rumah atau apartemen tetapi tidak diikat dengan ikatan perkawinan yang sah, agar jika suatu saat terjadi ketidakcocokan akan berganti tanpa harus direpotkan dengan pengadilan dan lain sebagainya.

Lahirnya paham kesetaraan gender di negara-negera maju telah menimbulkan persoalan sosial yang cukup mengkhawatirkan bagi kelangsungan generasi. Singgle parent menjadi hal yang biasa di negara-negara maju. Dengan dalih tidak mau menjadi inferior, banyak kaum perempuan lebih memilih hidup sebagai singgle parent dengan tetap bisa menikmati kebutuhan seksual mereka dengan berbaganti pasangan sesuka hati mereka. Tidak jarang banyak juga kaum perempuan yang tidak mau melahirkan hanya karena tidak ingin direpotkan dengan mengurus mereka. Anak secara ekonomi dan secara sosial dinggap akan mengganggu aktivitas dan perekonomian mereka. Akibatnya saat ini kampanye diperbolehkannya aborsi sudah secara terangterangan dikampanyekan di negara barat dan eropa. Inilah gejala terburuk yang saat ini sudah bisa kita lihat di negara-negara maju.

Peran Islam di dalam mengatur keluarga

Islam diturunkan untuk memberi keseimbangan dalam kehidupan manusia. Itu sebabnya Islam turun dengan berbagai perangkat hukum dan ketentuan yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan bagi standar manusia. Tidak ada satupun hukum yang ada di dalam Islam memberatkan atau menimbulkan celaka bagi manusia. Manusia itu sendiri yang sering mempersulit, merubah dan memperdebatkan agar mendapat legitimasi untuk mengingkari ajaran Islam. Padahal jika ajaran Islam itu diterapkan tentu akan membawa kebaikan dan kebahagiaan bagi kehidupan manusia itu sendiri. Terbukti Islam mengatur segala gerak-gerik fisik maupun psikologis hidup manusia.

Di dalam berumah tangga, Tuhan mengkodratkan mepersatukan antara laki-laki dan perempuan. Secara kodrat kedua jenis kelami ini berbeda, tetapi dari perbedaan itulah lahir kondisi saling membutuhkan untuk saling melengkapi diantara mereka. Laki-laki dikodratkan memiliki fisik dan psikologis yang berbeda dengan perempuan. Hal ini mengindikasikan bahwa masing-masing memiliki fungsi dan peran yang berbeda pula dalam keluarga. Perempuan yang ditakdirkan melahirkan dan menyusui, jelas bahwa peran mengurus dan membesarkan anak adalah kaum perempuan. Sedangkan kaum laki-laki yang memiliki fisik dan mental yang kuat memiliki peran di luar rumah untuk bekerja dan melindungi, mengayomi istri dan anak-anaknya. Meskipun dalam kondisi yang terpaksa peran ini bisa ditukarkan tetapi tetap saja akan memiliki dampak yang berbeda terhadap keberlangsungan keluarga itu.

Di dalam Islam, kedudukan atau kemuliaan seseorang tidak tergantung besar kecilnya tanggungjawab dalam keluarga. Semua memiliki peran, fungsi dan tanggungjawab yang berbeda-beda dan semuanya dianggap penting dan mulia. Seorang ibu yang hanya di rumah mengurus anak dan keluarga memiliki nilai dan kedudukan sebagai wanita terhormat dan mulia. Demikian juga dengan kaum laki-laki yang bekerja di luar rumah, peras keringat banting tulang demi menghidupi keluarganya. Namun demikian, jika peran dan fungsi itu disalah gunakan dengan melakukan perbuatan dosa dan kebohongan maka sama saja menjerumuskan diri mereka dalam kehinaan. Itu sebabnya di dalam Islam ukuran kemuliaan bukan ditentukan dari berat ringannya pekerjaan tetapi dari ketakwaan dan kesabaran masing-masing mengemban amanah yang sudah ditentukan oleh agama. Dengan demikian, wanita yang kodratnya melahirkan, menyusui dan membesarkan anak-anak di dalam rumah tidak perlu malu dan merasa rendah diri karena tidak berkarir di luar rumah. Mindset inilah yang saat ini perlu diperjuangkan di dalam masyarakat muslim saat ini.

Wanita dan laki-laki yang diikat dalam sebuah perkawinan yang suci dan luhur akan sama-sama memiliki kepuasan hidup jika masing-masing bisa saling mendukung dengan adanya pembagian tugas. Laki-laki mencari nafkah sedangkan kaum perempuan mengurus anak dan keluarga. Hal ini akan sangat penting di dalam menjaga keberlangsungan keluarga, terutama mental anak-anak mereka yang sangat membutuhkan kasih sayang dari orang tuanya. Hal ini tentu hanya bisa dilakukan atas dasar keimanan dan ketakwaan kepada ketentuan Allah sehingga masing-masing menyadari akan fungsi dan tanggungjawab mereka masing-masing. Hanya dengan cara seperti inilah keberlangsungan sebuah generassi manusia yang unggul baik mental, spiritual dan intelektual dapat terjamin, sehingga melahirkan generasi yang unggul bagi manusia di dunia ini. Wallahua'lam bishawab. By http://www.wajiran.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun