Mohon tunggu...
Ahmad W. al faiz
Ahmad W. al faiz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

a little bird which surrounds this vast universe, does not necessarily change itself, becoming a lizard. Do you know why. Yes you do.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Slamet Gundono (Bagian 2): Si Mbok Sing Kelangan Sawahe

28 September 2024   20:58 Diperbarui: 28 September 2024   21:02 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wikipedia. "Slamet Gundono". & "Si Mbok Sing Kelangan Sawahe".

"Kula Kelingan "Si Mbok Sing Kelengan Sawah" Suatu Dampak Feodalisme, Dalam Lirik Kronologi Seni Kritis."

Kita akan, membahas, judul ini dalam konteks seni kritis dan dampak sosial:


"Kula Kelingan".


"Kula Kelingan" (Saya Teringat) dalam penggunaan bahasa Jawa menunjukkan konteks budaya spesifik. Yang lebih, menekankan aspek memori personal dan kolektif. Di dalam, menggambarkan proses refleksi dan kesadaran kritis. Lakon, "Si Mbok Sing Kelengan Sawah" (Ibu yang Kehilangan Sawah), di dalam Yen Kiamat Teka, milik Slamet Gundono, terasa lebih menggambarkan korban dari ketidakadilan struktural. Ketika ungkapan itu, menyentuh lirik pada bait, "Si Mbok" mewakili kelompok marginal, terutama perempuan pedesaan. 

Sementara, dalam kalimat, frase, "Kelengan Sawah" menunjukkan hilangnya sumber penghidupan dan identitas. Kita dapat lebih menangkap adanya isyarat, "Suatu Dampak Feodalisme" di dalam mengidentifikasi akar masalah pada sistem feodal yang masih bertahan. Hal, ini, menunjukkan kritik terhadap struktur kekuasaan yang tidak adil. Dalam, menyoroti bagaimana sistem feodal berdampak pada kehidupan rakyat kecil.

Dan, tentunya, saat kita masuk dalam asusmi mengenai presfektif, dalam komentar dan kritik struktural sastra, "Dalam Lirik Kronologi Seni Kritis", maka,"Lirik" menunjukkan bentuk ekspresi artistik, mungkin merujuk pada pertunjukan atau puisi. Dapat di dudukan, sebagai "Kronologi" menyiratkan narasi yang berurutan, mungkin menceritakan proses kehilangan tanah. Hal, ini mengimplementasikan suatu presfektif mengenai "Seni Kritis" menandakan penggunaan seni sebagai medium kritik sosial dan politik.

Bahwa, analisis, yang sesungguhnya, adalah interseksi Seni dan Kritik Sosial, di dalam judul ini, menyalin atau juga, menggambarkan bagaimana seni dapat menjadi alat untuk mengangkat isu-isu sosial yang kritis. Penggunaan bentuk lirik atau pertunjukan menjadi cara untuk menyampaikan kritik terhadap ketidakadilan struktural. Realitas yang kemudian, di representasi Subaltern, pada frase,"Si Mbok" menjadi representasi dari kelompok subaltern, suara-suara yang sering kali terpinggirkan dalam narasi besar pembangunan dan modernisasi. Sebagai kesadaran, terhadap Kritik terhadap Feodalisme Modern, dalam topik judul ini, menggarisbawahi bagaimana praktik-praktik feodal masih bertahan dalam bentuk modern, mempengaruhi kehidupan masyarakat pedesaan.

Masih, berlakunya, artikel sebelumnya dalam menerjemhakan karya, Slamet Gundono di dalam lakon ini, dalam keseluruhan yakni, berjudul, Yen Kiamat Teka, setidaknya, sebuah skup bentuk dalam memori sebagai Bentuk Resistensi, dengan frase, diksi, "Kula Kelingan", judul ini menekankan pentingnya mengingat sebagai bentuk perlawanan terhadap penghapusan sejarah dan pengalaman kolektif. Yang, menarasikan, Kontra-Hegemoni, dalam isyarat, melalui "kronologi" dalam seni kritis, judul ini menyiratkan upaya untuk membangun narasi tandingan terhadap wacana dominan tentang pembangunan dan kemajuan.

Tidak sampai, disana, suatu intonasi bentuk dimensi Gender, di dalam penggunaan figur "Si Mbok" juga menunjukkan dimensi gender dalam dampak ketidakadilan struktural, di mana perempuan sering menjadi pihak yang paling terdampak. Sebagai, bahasa, dalam struktural kebudayaan, Lokalitas dan Universalitas, dan penggunaan bahasa Jawa menunjukkan konteks lokal, namun tema yang diangkat memiliki resonansi universal tentang ketidakadilan dan perjuangan melawan sistem yang opresif.

Kita, dapat memahami, kekuatan Narasi Lokal, dalam judul ini mendemonstrasikan bagaimana narasi lokal dan penggunaan bahasa daerah dapat menjadi alat yang ampuh dalam menyuarakan isu-isu global seperti ketidakadilan struktural dan dampak feodalisme. Sementara, sambil menarik relasi seni sebagai Medium Kritik: Penggunaan seni, khususnya dalam bentuk lirik atau pertunjukan, menegaskan peran penting seni dalam mengangkat kesadaran kritis dan menyuarakan kritik sosial. 

Yang muncul, mepresentasi Kaum Marginal: Dengan menggunakan figur "Si Mbok", judul ini berhasil membawa suara dan pengalaman kelompok yang sering terpinggirkan ke dalam fokus diskusi publik. Dan, atau juga, adalah, suatu senyawa, dalam,  Kritik Sistemik: Judul ini tidak hanya menggambarkan kisah individual, tetapi juga mengkritisi sistem feodal yang masih bertahan dan berdampak pada masyarakat kontemporer. Yang di dalamnya, terdapat, wilayah, interseksionalitas, dalam bersamaan, dengan menggabungkan aspek gender, kelas, dan struktur kekuasaan, judul ini menunjukkan kompleksitas permasalahan sosial yang dihadapi.

Sebagai, memori sebagai Resistensi: Penekanan pada "Kelingan" (mengingat) menunjukkan pentingnya memori kolektif sebagai bentuk perlawanan terhadap penghapusan sejarah. Yang tentu, merunut, upaya kronologi sebagai metode di dalam penggunaan istilah "kronologi" menunjukkan pendekatan sistematis dalam menganalisis dan menyajikan dampak feodalisme melalui seni. Yang mentransformasi kesadaran yakni, di dalam judul ini mengimplikasikan bahwa seni kritis tidak hanya bertujuan untuk menghibur, tetapi juga untuk mentransformasi kesadaran audiens tentang realitas sosial.

Secara keseluruhan, judul ini merangkum sebuah pendekatan yang kuat dalam menggunakan seni sebagai alat untuk kritik sosial, memadukan elemen-elemen lokal dengan isu-isu universal, dan mengajak audiens untuk merefleksikan dan mengkritisi struktur kekuasaan yang ada. Ini menunjukkan bagaimana seni dapat menjadi katalis perubahan sosial dengan membangun kesadaran kritis melalui narasi yang kuat dan relevan.

Referensi yang relevan untuk topik ini meliputi:

1. Bourdieu, Pierre. (1993). The Field of Cultural Production. Columbia University Press.
2. Spivak, Gayatri Chakravorty. (1988). Can the Subaltern Speak? Macmillan.
3. Scott, James C. (1985). Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance. Yale University Press.
4. Freire, Paulo. (1970). Pedagogy of the Oppressed. Continuum.
5. Wessing, Robert. (1997). The Village as Idea: Constructs of Village-ness in Banyuwangi, East Java. Journal of Southeast Asian Studies, 28(2), 329-348.
6. Heryanto, Ariel. (1988). The Development of "Development". Indonesia, 46, 1-24.
7. Sutton, R. Anderson. (1991). Traditions of Gamelan Music in Java: Musical Pluralism and Regional Identity. Cambridge University Press.
8. Sears, Laurie J. (1996). Shadows of Empire: Colonial Discourse and Javanese Tales. Duke University Press.
9. Becker, A. L. (1995). Beyond Translation: Essays toward a Modern Philology. University of Michigan Press.
10. Hatley, Barbara. (2008). Javanese Performances on an Indonesian Stage: Contesting Culture, Embracing Change. NUS Press.

Terakhir, saya ingin menggambarkan wacana ini dalam bentuk karya rekaan puisi dalam realisme :

"Kula Kelingan "Si Mbok Sing Kelengan Sawah"
Suatu Dampak Feodalisme, Dalam Lirik Kronologi Seni Kritis".

Tanah merah bergelombang, menari dengan angin
Si Mbok berdiri terpaku, mata berkaca-kaca
Sawah hijau kini hanya kenangan
Tangan-tangan rakus telah merenggutnya

Kula kelingan, oh kula kelingan
Suara gemercik air di pematang
Bulir padi menguning di bawah mentari
Kini hanya sisa-sisa impian yang terbuang

Feodalisme baru menjelma
Berkedok pembangunan dan kemajuan
Si Mbok hanya bisa menghela nafas
Menyaksikan tanahnya menjadi gedung-gedung menjulang

Dalam bait-bait lagu ini kutulis
Kronologi kehilangan dan keputusasaan
Seni kritis menjadi senjata melawan lupa
Suara-suara kecil yang terbungkam waktu

Ingatlah, oh ingatlah selalu
Si Mbok yang kehilangan sawahnya
Bukan sekadar cerita masa lalu
Tapi peringatan untuk masa depan kita

Kula kelingan, dan akan terus ingat
Perjuangan Si Mbok dan ribuan lainnya
Dalam lirik dan nada kita bersuara
Melawan ketidakadilan yang masih merajalela

Setelah puisi, saya ucapkan, selamat, Membangun mentalitas Kita bersama dalam asumsi Humanis dan peradaban yang seluas bumi tuhan bagi manusia.

Penulis,

Bandar Lampung, 28/09/2024 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun