Mohon tunggu...
Ahmad W. al faiz
Ahmad W. al faiz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis.

a little bird which surrounds this vast universe, does not necessarily change itself, becoming a lizard. Do you know why. Yes you do.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Inget Maning Si Mbok" - Fragmentasi Kenangan: Slamet Gundono & Ke-Indonesia, dalam Wayang Suket

28 September 2024   19:45 Diperbarui: 28 September 2024   19:49 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Slamet Gundono. Wikipedia.

Merupakan, keadaan Dialektika Tradisi dan Modernitas: Wayang Suket menjadi arena pertarungan antara nilai-nilai tradisional dan tuntutan modernitas. Gundono menunjukkan bahwa modernisasi tidak selalu linear dan sering kali menciptakan kontradiksi, terutama ketika bersinggungan dengan struktur feodal yang masih bertahan. 

Dan, dimana hal, ini, adalah, Kritik terhadap Alienasi: Hilangnya sawah bukan hanya masalah ekonomi, tapi juga alienasi manusia dari tanahnya, dari pekerjaannya, dan pada akhirnya dari dirinya sendiri. Gundono mengkritik proses modernisasi yang sering kali mencabut manusia dari akar budayanya. Refleksi Kekuasaan: Pertunjukan ini juga menjadi refleksi tentang dinamika kekuasaan dalam masyarakat Indonesia. Siapa yang memiliki kuasa untuk mengambil sawah 'Si Mbok'? Bagaimana struktur kekuasaan ini dipertahankan dan dilegitimasi?

Sebagai, resistensi memori, dalam Memori sebagai Resistensi: Dengan mengajak penonton untuk "Inget Maning" (Ingat Lagi), Gundono menekankan pentingnya memori sebagai bentuk resistensi. Mengingat adalah tindakan politis, sebuah perlawanan terhadap upaya penghapusan sejarah dan pengalaman kolektif masyarakat yang terpinggirkan. Melalui pertunjukannya, Gundono menolak untuk membiarkan kisah 'Si Mbok' dan ribuan lainnya tenggelam dalam arus deras pembangunan yang sering kali tidak memihak.

Adalah, suatu sikap, Rekonstruksi Identitas: Wayang Suket menjadi medium untuk merekonstruksi identitas ke-Indonesian yang lebih inklusif. Gundono mengajak kita untuk memikirkan kembali apa artinya menjadi Indonesia, dengan mempertimbangkan suara-suara yang selama ini terpinggirkan dalam narasi besar nasional. Kritik terhadap Pembangunan: pada konteks Hilangnya sawah 'Si Mbok' juga dapat dibaca sebagai kritik tajam terhadap model pembangunan yang sering kali mengorbankan kepentingan rakyat kecil demi pertumbuhan ekonomi. 

Gundono mempertanyakan: pembangunan untuk siapa dan dengan biaya apa?Ekologi dan Sustainabilitas: Melalui kisah ini, Gundono juga menyoroti isu-isu ekologis dan sustainabilitas. Hilangnya lahan pertanian bukan hanya masalah sosial-ekonomi, tapi juga ancaman terhadap ketahanan pangan dan keseimbangan ekologis. Serta, Peran Seni dalam Wacana Sosial-Politik: Karya Gundono menunjukkan bagaimana seni tradisional seperti wayang dapat direvitalisasi untuk menjadi medium kritik sosial yang relevan. Ini menantang dikotomi antara 'tradisional' dan 'modern', menunjukkan bahwa tradisi bisa menjadi alat yang ampuh untuk mengkritisi kondisi kontemporer.

"Inget Maning Si Mbok Sing Kilngan Sawah".

Melalui "Inget Maning Si Mbok Sing Kilngan Sawah", Slamet Gundono tidak hanya menghadirkan sebuah pertunjukan, tapi juga sebuah manifesto kultural. Ia mengajak kita untuk merefleksikan kembali makna ke-Indonesian di tengah arus perubahan yang cepat dan sering kali mengabaikan suara-suara pinggiran. Wayang Suket menjadi cermin yang memantulkan kontradiksi dalam proyek pembangunan nasional, sekaligus menjadi ruang untuk membayangkan Indonesia yang lebih inklusif dan berkeadilan.

Karya ini mengingatkan kita bahwa perjuangan melawan feodalisme dan ketidakadilan struktural masih jauh dari selesai. Ia mengundang kita untuk terus 'mengingat', bukan sebagai nostalgia yang lumpuh, tapi sebagai dasar untuk membangun masa depan yang lebih baik. Dalam fragmentasi kenangan tentang Indonesia, Gundono menemukan benang merah yang menghubungkan kita pada identitas kolektif yang terus berevolusi, sebuah identitas yang tidak takut untuk menghadapi masa lalu demi merancang masa depan yang lebih adil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun