Mohon tunggu...
Ahmad W. al faiz
Ahmad W. al faiz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

a little bird which surrounds this vast universe, does not necessarily change itself, becoming a lizard. Do you know why. Yes you do.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Ketahanan Sastra terhadap Informasi, sebagai Fileterisasi Hoaks

14 September 2024   15:26 Diperbarui: 14 September 2024   15:31 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketahanan Sastra Terhadap Informasi, Sebagai Filterasi Hoaks.

Sumber Gambar : Indonesiana

Di era digital yang sarat dengan informasi, kita sering dihadapkan pada tantangan untuk membedakan antara fakta dan fiksi, kebenaran dan kebohongan. Hoaks dan misinformasi menyebar dengan kecepatan yang mengkhawatirkan, mengancam integritas pengetahuan publik dan stabilitas sosial. Dalam konteks ini, sastra muncul sebagai benteng pertahanan yang tak terduga namun efektif dalam menyaring informasi dan membangun ketahanan terhadap hoaks. Sastra, dengan kekayaan narasinya, bukan sekadar hiburan atau pelarian dari realitas. Ia adalah laboratorium kehidupan yang memungkinkan pembacanya untuk mengasah keterampilan kritis yang sangat diperlukan di era post-truth. Melalui halaman-halaman novel, puisi, dan drama, pembaca diajak untuk menyelami kompleksitas pemikiran manusia, mengeksplorasi sudut pandang yang beragam, dan mempertanyakan asumsi-asumsi yang ada. Pertama, sastra mengajarkan kita untuk memahami konteks. Setiap karya sastra lahir dari latar belakang sosial, politik, dan budaya tertentu. Pemahaman ini menumbuhkan kesadaran bahwa setiap informasi juga memiliki konteksnya sendiri. Pembaca yang terlatih dalam sastra akan cenderung mencari latar belakang dan sumber dari sebuah informasi sebelum menerimanya begitu saja. Kedua, sastra mempertajam kemampuan analisis kritis. Dalam menginterpretasikan karya sastra, pembaca dituntut untuk melihat di balik kata-kata, mencari makna tersembunyi, dan memahami simbolisme. Keterampilan ini sangat berharga ketika berhadapan dengan informasi di dunia nyata, di mana kemampuan untuk membaca "di antara baris" dan mengidentifikasi bias atau agenda tersembunyi menjadi krusial.

Ketiga, sastra mengembangkan empati dan pemahaman terhadap perspektif yang berbeda. Melalui karakter-karakter fiksi, pembaca belajar untuk melihat dunia melalui mata orang lain. Hal ini penting dalam konteks filterasi hoaks, karena memungkinkan kita untuk memahami motivasi di balik penyebaran informasi palsu dan lebih bijak dalam menanggapinya. Keempat, sastra melatih kesabaran dan ketekunan dalam mengolah informasi. Tidak seperti konsumsi informasi instan di media sosial, membaca karya sastra memerlukan waktu dan refleksi. Kebiasaan ini membentuk pola pikir yang lebih hati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam menerima atau menyebarkan informasi. Kelima, sastra mengasah kepekaan terhadap manipulasi bahasa. Penulis sastra adalah ahli dalam menggunakan kata-kata untuk menciptakan efek tertentu. Pembaca yang terbiasa dengan gaya bahasa sastra akan lebih mudah mengenali retorika manipulatif yang sering digunakan dalam hoaks dan propaganda. Namun, penting untuk diingat bahwa ketahanan sastra terhadap informasi bukan berarti menolak semua informasi baru atau bersikap skeptis berlebihan. Sebaliknya, ini adalah tentang membangun kecerdasan emosional dan intelektual yang memungkinkan kita untuk menghadapi tsunami informasi dengan pikiran terbuka namun kritis.

Dalam upaya membangun masyarakat yang lebih tahan terhadap hoaks, peran pendidikan sastra menjadi sangat penting. Sekolah dan institusi pendidikan perlu menekankan pentingnya membaca karya sastra tidak hanya sebagai bagian dari kurikulum bahasa, tetapi juga sebagai alat untuk membangun literasi informasi. Lebih jauh lagi, penulis dan seniman sastra kontemporer memiliki tanggung jawab untuk menciptakan karya-karya yang relevan dengan tantangan era digital. Karya-karya yang mengeksplorasi tema seperti dampak media sosial, etika jurnalisme di era internet, atau konsekuensi dari penyebaran hoaks, dapat menjadi jembatan yang menghubungkan dunia sastra dengan realitas kontemporer. Kesimpulannya, ketahanan sastra terhadap informasi bukan sekadar konsep abstrak, melainkan keterampilan hidup yang sangat diperlukan di abad ke-21. Dengan membudayakan apresiasi terhadap sastra, kita tidak hanya memperkaya jiwa, tetapi juga membentengi pikiran dari badai informasi yang kadang menyesatkan. Dalam lanskap informasi yang semakin kompleks, sastra berdiri sebagai mercusuar yang memandu kita menuju pemahaman yang lebih dalam dan kearifan dalam menyikapi dunia di sekitar kita.

Canon Sastra: Sebagai Sumberdaya Ketahanan Informasi.

Dalam era yang dijuluki sebagai "era pasca-kebenaran", di mana informasi mengalir deras tanpa henti dan hoaks tersebar dengan mudahnya, kita perlu mencari sumber daya yang dapat diandalkan untuk membangun ketahanan informasi. Salah satu sumber daya yang sering terlewatkan namun sangat berharga adalah canon sastra. Canon sastra, yang merupakan kumpulan karya-karya sastra yang dianggap penting dan berpengaruh dalam suatu budaya atau tradisi, dapat menjadi fondasi yang kuat dalam membangun kemampuan kritis dan ketahanan terhadap informasi yang menyesatkan.

Definisi dan Signifikansi Canon Sastra

Canon sastra biasanya terdiri dari karya-karya yang telah bertahan dalam ujian waktu dan dianggap memiliki nilai sastra yang tinggi. Karya-karya ini mencakup berbagai genre dan periode, dari epik kuno hingga novel kontemporer. Signifikansi canon sastra terletak pada kemampuannya untuk menyajikan pandangan yang mendalam tentang kondisi manusia, masyarakat, dan ide-ide yang telah membentuk peradaban kita.

Canon Sastra sebagai Alat Pembentuk Pemikiran Kritis

1. Kompleksitas Narasi: Karya-karya dalam canon sastra sering kali memiliki narasi yang kompleks dan berlapis. Membaca karya-karya seperti ini melatih pembaca untuk menganalisis informasi dari berbagai sudut pandang, skill yang sangat penting dalam menghadapi berita dan informasi di era digital.
2. Kontekstualisasi Historis: Canon sastra menyajikan gambaran tentang berbagai periode sejarah dan konteks sosial. Pemahaman ini membantu pembaca untuk lebih baik dalam memahami latar belakang dan konteks dari informasi yang mereka terima.
3. Pengembangan Empati: Melalui karakter-karakter yang beragam dan kompleks, canon sastra mengembangkan kemampuan empati pembaca. Ini penting dalam memahami motivasi di balik penyebaran informasi dan dalam mengevaluasi kredibilitas sumber.
4. Pengenalan Propaganda dan Manipulasi: Banyak karya dalam canon sastra mengeksplorasi tema-tema seperti propaganda, manipulasi massa, dan penyalahgunaan kekuasaan. Pemahaman tentang tema-tema ini membuat pembaca lebih waspada terhadap taktik serupa dalam dunia nyata.

Canon Sastra sebagai Referensi Kultural

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun