Mohon tunggu...
Ahmad W. al faiz
Ahmad W. al faiz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

a little bird which surrounds this vast universe, does not necessarily change itself, becoming a lizard. Do you know why. Yes you do.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hujan Bulan Juni (2). - Miskonsepsi Semiotik: Suatu Makna Metafora Teoritik yang Hilang - Komposisi & Gaya Bahasa.

6 September 2024   22:34 Diperbarui: 6 September 2024   22:45 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (dokpri) 

Bayangkan sebuah kata dalam puisi kontemporer, katakanlah "viral" dalam puisi tentang pandemi. Maknanya tidak lagi sekadar bercabang dua, tetapi menyebar seperti akar serabut, terhubung dengan berbagai konsep - dari biologi virus, hingga fenomena media sosial, keresahan masyarakat, bahkan mungkin sampai ke teori konspirasi. Setiap pembaca, dengan latar belakang pengalaman digitalnya masing-masing, akan menelusuri jaringan makna ini dengan cara yang unik. Metafora "kode sebagai kamus" juga perlu direinterpretasi. Dalam semiotika klasik, kode sering dibayangkan sebagai sistem makna yang relatif tetap. Namun, di era digital di mana bahasa dan referensi budaya berevolusi dengan kecepatan luar biasa, kita perlu memahami kode lebih sebagai "database yang terus diperbarui".

Pikirkan tentang bagaimana makna emoji 🙃 telah berevolusi dalam beberapa tahun terakhir. Atau bagaimana frasa seperti "OK Boomer" bisa muncul dan mengubah lanskap komunikasi dalam hitungan hari. Ketika menganalisis karya sastra kontemporer, kita perlu mempertimbangkan fluiditas kode ini. Sebuah puisi yang ditulis tahun lalu mungkin sudah memerlukan "pembaruan kode" untuk diinterpretasi secara akurat hari ini. Salah satu pergeseran paling signifikan adalah dalam memahami peran pembaca. Metafora klasik "pembaca sebagai penerima" sudah tidak lagi memadai di era di mana batas antara konsumen dan produser konten semakin kabur. Dalam konteks sastra digital, pembaca sering kali adalah co-creator aktif.

Bayangkan sebuah puisi yang di-posting di media sosial. Pembaca tidak hanya menginterpretasi, tetapi juga berkontribusi melalui komentar, membagikan dengan tambahan caption pribadi, atau bahkan membuat meme berdasarkan puisi tersebut. Semua ini menjadi bagian dari "teks" yang lebih luas. Analisis sastra kontemporer perlu mempertimbangkan ekosistem interaktif ini. Metafora baru seperti "tanda sebagai meme" sangat relevan dalam memahami bagaimana makna berevolusi dalam kultur internet. Sebuah frasa atau gambar bisa bermutasi dan berkembang dengan cara yang tidak terduga, menciptakan lapisan-lapisan makna baru. Analisis puisi viral atau literature internet misalnya, perlu mempertimbangkan "kehidupan" teks di luar konteks aslinya.

Konsep intertekstualitas, yang selalu penting dalam analisis sastra, kini bisa dipahami melalui metafora "hyperlink". Sebuah karya sastra kontemporer mungkin tidak hanya merujuk pada teks-teks klasik, tetapi juga pada meme internet, video viral, atau bahkan thread Twitter. Analisis yang komprehensif perlu menelusuri jaringan referensi yang kompleks ini. Implikasi dari reinterpretasi ini terhadap analisis sastra kontemporer sangatlah mendalam. Kita perlu melihat teks bukan sebagai monumen makna yang tetap, tetapi sebagai "stream" yang terus mengalir dan berubah. Analisis perlu mempertimbangkan multimodalitas - bagaimana teks berinteraksi dengan gambar, suara, dan bahkan interaksi pembaca. Dan yang paling penting, kita perlu mengakui peran aktif pembaca dalam proses ko-kreasi makna. Dengan pendekatan ini, analisis sastra kontemporer menjadi proses yang jauh lebih dinamis dan inklusif. Kita tidak lagi sekadar mencari makna "tersembunyi" dalam teks, tetapi aktif berpartisipasi dalam evolusi makna yang terus berlangsung.

Hujan Bulan Juni: Metafora Revolusi Kebudayaan dalam Puisi Sapardi Djoko Damono.

Dalam Menyoal Topik ini, dimana Sapardi Djoko Damono, rasanya layak ditempatkan, sebagai, salah satu penyair terkemuka Indonesia, dikenal dengan puisi-puisinya yang kaya akan metafora dan makna tersirat. Salah satu karyanya yang paling terkenal, "Hujan Bulan Juni," tidak hanya memikat pembaca dengan keindahan bahasanya, tetapi juga menyimpan pesan mendalam yang dapat dikaitkan dengan konsep revolusi kebudayaan.

Puisi "Hujan Bulan Juni" berbunyi:

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

Di dalam, puisi ini, dan pada pandangan pertama, puisi ini tampak sebagai gambaran romantis tentang hujan di musim kemarau. Namun, jika kita menyelami lebih dalam, kita dapat melihat bagaimana puisi ini bisa menjadi metafora untuk revolusi kebudayaan yang halus namun mendalam.

1. **Ketabahan dalam Perubahan**: Baris pertama, "tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni," dapat diartikan sebagai ketabahan dalam menghadapi perubahan. Revolusi kebudayaan seringkali membutuhkan ketekunan dan ketabahan, terutama ketika berhadapan dengan resistensi. 2. **Kerahasiaan dan Subtilitas**: "dirahasiakannya rintik rindunya" menggambarkan bagaimana perubahan budaya sering terjadi secara halus dan tidak kentara. Revolusi kebudayaan tidak selalu datang dengan ledakan besar, tetapi bisa juga melalui perubahan-perubahan kecil yang konsisten. 3. **Kebijaksanaan dalam Bertindak**: "tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni" menunjukkan pentingnya kebijaksanaan dalam proses perubahan budaya. Revolusi yang efektif memerlukan pertimbangan matang dan tindakan yang bijak. 4. **Menghapus Jejak Lama**: "dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu" bisa diinterpretasikan sebagai proses meninggalkan kebiasaan atau pola pikir lama yang tidak lagi relevan dalam revolusi kebudayaan. 5. **Kearifan dalam Menerima**: Bait terakhir, "dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu," menggambarkan bagaimana revolusi kebudayaan juga melibatkan proses penerimaan dan integrasi ide-ide baru ke dalam struktur yang sudah ada.

Revolusi: Refiturasi dalam Struktur Kebudayaan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun