Hujan Bulan Juni Sapardi Djoko Damono : Tetesan Makna dalam Lanskap Kehidupan.
Hujan Bulan Juni Sapardi Djoko Damono (Foto: Tia Agnes/ detikHOT)
Hujan Bulan Juni1
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
"Sign" (tanda) dan "Unsign" (bukan tanda), dalam konteks semiotika, khususnya dalam kaitannya dengan puisi "Hujan Bulan Juni" karya Sapardi Djoko Damono.
Sign vs Unsign dalam Semiotika.
Dalam dunia yang kita huni, segala sesuatu berpotensi menjadi tanda (sign). Namun, tidak semua hal selalu menjadi tanda setiap saat. Inilah yang membuat konsep "unsign" menarik dan penting dalam semiotika. Bayangkan Anda sedang membaca "Hujan Bulan Juni" untuk pertama kalinya. Kata "hujan" segera menjadi tanda yang kuat. Ia bukan sekadar fenomena meteorologi, tapi simbol ketabahan dan kebijaksanaan. Ini adalah "sign" yang jelas - sebuah penanda yang memiliki makna yang kaya. Â Namun, bagaimana dengan spasi antara kata-kata? Atau mungkin warna kertas tempat puisi itu dicetak? Bagi kebanyakan pembaca, elemen-elemen ini mungkin "unsign" - elemen yang hadir tapi tidak memiliki makna khusus dalam konteks pembacaan puisi.
Tetapi semiotika mengajarkan kita bahwa batas antara sign dan unsign ini sangat cair. Seorang kritikus sastra mungkin melihat jeda antar bait sebagai tanda yang bermakna - mungkin representasi dari kesunyian atau kontemplasi. Apa yang tadinya "unsign" kini menjadi "sign". Dalam "Hujan Bulan Juni", frasa "tak ada yang lebih" diulang di setiap bait. Bagi pembaca kasual, pengulangan ini mungkin hanya unsign - sekadar struktur puisi. Namun, dalam analisis yang lebih dalam, pengulangan ini menjadi sign yang kuat - tanda keteguhan dan konsistensi yang memperkuat tema ketabahan. Konteks juga berperan penting dalam dinamika sign-unsign ini. "Bulan Juni" dalam puisi Sapardi adalah sign yang kuat karena konteks geografis Indonesia, di mana Juni biasanya kering. Namun, bagi pembaca di belahan bumi lain, "Juni" mungkin hanya unsign - sekadar penanda waktu tanpa makna khusus.