Pandangan ini telah memicu kritik keras dari kalangan feminis. Para feminis menegaskan bahwa rasionalitas bukanlah monopoli kaum laki-laki. Perempuan juga memiliki kapasitas intelektual, kemampuan analisis, dan daya nalar yang setara dengan laki-laki. Membatasi rasionalitas hanya pada maskulinitas berarti melanggengkan diskriminasi dan bias gender yang merugikan perempuan.Â
Lebih jauh lagi, feminis menekankan bahwa rasionalitas tidak seharusnya diletakkan sebagai satu-satunya ukuran atau standar kemanusiaan. Pendekatan yang terlalu rasionalistik acap kali mengabaikan dimensi-dimensi lain yang menjadi bagian dari kemanusiaan, seperti emosi, intuisi, dan pengalaman subjektif. Feminisme memperjuangkan kesetaraan dengan tetap menghargai perbedaan-perbedaan yang ada antara laki-laki dan perempuan.
Di sinilah letak pentingnya memahami hubungan antara feminisme, rasionalitas, dan gender. Upaya mengintegrasikan ketiga aspek ini dapat membuka jalan bagi terciptanya masyarakat yang lebih adil dan setara, di mana perempuan tidak lagi dipandang semata-mata berdasarkan stereotip dan konstruksi sosial, melainkan diakui sebagai individu otonom yang memiliki hak dan kapasitas yang setara. Diskursus mengenai feminisme, rasionalitas, dan gender terus berkembang seiring dengan dinamika sosial-budaya yang ada. Perdebatan dan pertukaran gagasan yang kritis dan konstruktif sangat dibutuhkan untuk mewujudkan visi kesetaraan yang sesungguhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H