Mohon tunggu...
Ahmad W. al faiz
Ahmad W. al faiz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

a little bird which surrounds this vast universe, does not necessarily change itself, becoming a lizard. Do you know why. Yes you do.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Konherensi Logis - Pendekatan, Terhadap Problem Inkonsitensi Indonesia (Sosial Masyarakatnya)

17 Agustus 2024   03:49 Diperbarui: 17 Agustus 2024   03:49 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Koherensi Logis - Pendekatan, Inkonsistensi Indonesia Dalam Heterogenitas Majemuk ?".

"Tulisan ini, sebagai suatu upaya logis dalam mendudukan logika konherensi Indonesia, sebagai suatu yang logis dalam konherensi dan inkonsitensi problem sosial yang dihadapinya, Indonesia tetaplah suatu ide logis, sebagai wacana negara, sosial, dan filosofisnya, dan juga, sebagai sesuatu kedudukan yang logis dalam parameter, baik, akademik, maupun filosofisnya, Indonesia bukan semata-mata, sebagai tolak ukur, yang tidak berladasakan historis, dan tapi juga, kemerdekaan yang dicapai dalam perjuangan dengan upaya yang konheren terhadap logika, - bahwa, indonesia sudah pasti adalah suatu kerangka yang logis,  di dalam sejarahnya."


Koherensi Logis dalam Konteks Indonesia.

Koherensi logis merujuk pada konsistensi dan keterpaduan dalam penalaran, kebijakan, dan tindakan. Dalam konteks Indonesia, ini berarti upaya untuk menciptakan keselarasan antara berbagai elemen masyarakat, kebijakan pemerintah, dan implementasinya di lapangan. Hal yang Kedua, adalah heterogenitas dan kemajemukan Indonesia, dimana Indonesia dikenal dengan keberagamannya yang luar biasa, meliputi, sumberdaya, etnis: Lebih dari 300 kelompok etnis, dan bahasa yang lebih dari 700 bahasa daerah, maupun agama, yang secara resmi, 6 agama resmi dan berbagai kepercayaan lokal, serta, budaya yang beragam adat istiadat dan tradisi, dan juga, terutama, wilayah, geografis: Lebih dari 17.000 pulau dengan kondisi alam yang beragam. Dalam paradoks, inkonsistensinya, Indonesia sebagai struktur kedaulatan, juga kedaulatan nilai di dalamnya sebagai sumberdaya, penerapan hukum yang tidak merata di berbagai daerah, menjadi inkonsitensi problematis, meliputi, persoalan, seputar kebijakan ekonomi yang terkadang bertentangan dengan realitas sosial, di dalamnya dan juga terbentuknya, kesenjangan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa, sebagai potensi yang mengarah pada konflik antara hukum nasional dan hukum adat di beberapa daerah, sebagai konsekuensi yang resitens, dalam masyarakat sosial Indonesia.
Sebagai suatu dimensi yang menawarkan pendekatan untuk Mengatasi inkonsistensi ini, dalam topik dan tema, judul, perangkat peralatan logisnya, tentu menyoal, keberadaan desentralisasi yang efektif dengan tetap menjaga integritas nasional, lalu pada ruang pendidikan multikultural untuk dapat meningkatkan pemahaman antarkelompok, dan sementara, penguatan dialog antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat juga turut bersamaan harus dilakukan, sebagai tujuan pengembangan kebijakan yang mempertimbangkan kekhasan lokal.

Paradoks Kesatuan dalam Keberagaman: Menelaah Koherensi Logis Indonesia.



Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia, telah lama dikenal dengan mottonya yang terkenal: "Bhinneka Tunggal Ika" atau "Berbeda-beda tetapi tetap satu". Namun, di balik slogan yang indah ini, tersembunyi sebuah tantangan besar yang terus menerus dihadapi oleh bangsa ini: 

Bagaimana mencapai koherensi logis di tengah heterogenitas yang begitu majemuk? 

Koherensi logis, dalam konteks bernegara, dapat dipahami sebagai konsistensi dan keterpaduan dalam penalaran, kebijakan, dan implementasi yang mencakup seluruh aspek kehidupan berbangsa. Namun, Indonesia, dengan lebih dari 17.000 pulau, 300 kelompok etnis, dan 700 bahasa daerah, menghadapi tantangan unik dalam mewujudkan koherensi ini. Inkonsistensi yang muncul dalam pengelolaan negara seringkali berakar pada kompleksitas heterogenitas Indonesia. Sebagai contoh, penerapan sistem desentralisasi pasca-Reformasi 1998 bertujuan untuk memberikan otonomi lebih besar kepada daerah. Namun, dalam praktiknya, hal ini justru kadang menciptakan "raja-raja kecil" di tingkat lokal, yang kebijakan dan tindakannya terkadang bertentangan dengan visi nasional.

Dalam ranah hukum, kita menyaksikan bagaimana hukum adat dan hukum nasional seringkali berbenturan. Kasus-kasus seperti sengketa tanah adat di berbagai daerah menunjukkan betapa rumitnya mencari titik temu antara kearifan lokal dan kebutuhan akan keseragaman hukum nasional. Di sisi lain, kebijakan pembangunan ekonomi juga sering menghadapi dilema. Fokus pembangunan di Jawa dan kota-kota besar telah menciptakan kesenjangan yang signifikan dengan daerah terpencil dan pulau-pulau terluar. Inkonsistensi ini tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga sosial dan politik, menciptakan rasa ketidakadilan di berbagai lapisan masyarakat. Namun, di tengah tantangan ini, Indonesia terus berupaya mencari jalan untuk mewujudkan koherensi logisnya. Pendekatan yang mulai dikembangkan mencakup, skema-skema pada lini, dalam rangka penguatan dialog lintas sektoral dan lintas budaya. Forum-forum yang mempertemukan berbagai elemen masyarakat dari berbagai latar belakang mulai sering diadakan, bertujuan untuk membangun pemahaman bersama. Juga adanya komitmen, yang mengarah pada kemungkinan potensial reformasi birokrasi yang berfokus pada efisiensi dan transparansi. Upaya ini bertujuan untuk mengurangi kesenjangan antara kebijakan pusat dan implementasi di daerah. Tidak sampai di sana, saran penunjangan pendidikan multikultural yang diintegrasikan ke dalam kurikulum nasional. Langkah ini diharapkan dapat membangun generasi baru yang lebih memahami dan menghargai keberagaman Indonesia.

Masih dalam atribusi tersebut di atas, sebagai lintasan logisnya, adalah perlunya, pemeritntah dibebankan pada aspek, dalam rangka pengembangan kebijakan ekonomi yang lebih inklusif, dengan mempertimbangkan kekhasan dan potensi masing-masing daerah.

Meskipun demikian, perjalanan menuju koherensi logis ini masih panjang. Indonesia perlu terus melakukan introspeksi dan adaptasi. Tantangan terbesar mungkin bukan hanya dalam menciptakan kebijakan yang koheren, tetapi juga dalam mengubah mindset masyarakat dan aparatur negara untuk bisa berpikir secara holistik, melihat Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh namun beragam. Yang, pada akhirnya, pencapaian koherensi logis di Indonesia mungkin tidak akan pernah menjadi sebuah titik akhir yang statis. Sebaliknya, ia akan menjadi sebuah proses dinamis yang terus berkembang, mencerminkan kompleksitas dan kekayaan bangsa ini. Dalam prosesnya, Indonesia mungkin akan menemukan definisi barunya sendiri tentang apa itu "koherensi" dalam konteks negara majemuk. Sebagai suatu tantangan inkonsistensi yang dihadapi Indonesia bukanlah kelemahan, melainkan cerminan dari kekayaan dan kompleksitas bangsa ini. Dengan pendekatan yang tepat dan komitmen untuk terus belajar dan beradaptasi, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi model bagi dunia tentang bagaimana mencapai kesatuan dalam keberagaman, membuktikan bahwa koherensi logis dan heterogenitas majemuk bukanlah dua hal yang saling meniadakan, melainkan dapat berjalan beriringan dalam harmoni yang dinamis.

Cermin Kasusitik Dalam Siklus Dimensi Sosial

- Dialog Papua Merdeka: Tantangan Koherensi Logis Indonesia.

Implemtasi Logisnya adalah dialog, sebagai contoh pendekatan dalam instrumen logis, yakni, kasus Papua Merdeka, dialog yang menengahi konflik dalam kesenjengan inkonsistensi, kebijakan pemerintah, adalah merupakan contoh nyata dari kompleksitas - yang berkibat oleh, inkonsistensi dari struktur kebijakan nasional pemerintahan, dalam rangka pendekatan penyelesaiannya, yakni dialog dalam konstruksi forum formal dalam pendekatan yang dimaksud, yang dihadapi Indonesia dalam upayanya mencapai koherensi logis di tengah heterogenitas majemuk. Isu ini mencerminkan berbagai aspek tantangan yang telah kita bahas sebelumnya, termasuk inkonsistensi kebijakan, benturan antara hukum nasional dan aspirasi lokal, serta kesenjangan pembangunan.

Papua Merdeka : Suatu Peninjauan Latar Belakang.

Papua, provinsi paling timur Indonesia, memiliki sejarah panjang ketegangan dengan pemerintah pusat. Sejak integrasi ke Indonesia pada 1969, berbagai kelompok di Papua telah menyuarakan keinginan untuk merdeka. Alasan di balik gerakan ini beragam, mulai dari perbedaan budaya, ketimpangan ekonomi, hingga dugaan pelanggaran hak asasi manusia.

Indeks, Dalam Koherensi Logis Papua.

Jika, benar keberadaannya akan halnya, adanya akibat inkonsistensi, yang terjadi sebagai dampak sebab, keberadaan struktur kebijakan, yakni, inkonsistensi kebijakan, dalam kebijakan pemerintah Indonesia maka, menerapkan kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) untuk Papua sejak 2001. Namun, implementasinya sering dianggap tidak konsisten dan belum sepenuhnya menjawab aspirasi masyarakat Papua. Dimana, terindikasi adanya, ketegangan antara pendekatan keamanan dan pendekatan kesejahteraan dalam menangani isu Papua. Benturan Hukum dan aspirasi yang secara hukum, Papua adalah bagian integral dari Indonesia. Namun, aspirasi untuk merdeka tetap ada di sebagian masyarakat Papua. Hal, berikutnya, sebagai tantangan dalam mengakomodasi hukum adat dan kearifan lokal Papua dalam sistem hukum nasional. Adanya, kesenjangan Pembangunan, yang meskipun kaya akan sumber daya alam, Papua masih tertinggal dalam berbagai indikator pembangunan dibandingkan wilayah lain di Indonesia. Dan, adanya persepsi bahwa pembangunan di Papua tidak merata dan tidak selalu sesuai dengan kebutuhan lokal. Dalam dilema, narasi sejarah yang berbeda, dimana, perbedaan narasi sejarah antara pemerintah pusat dan sebagian masyarakat Papua mengenai proses integrasi Papua ke Indonesia.

Upaya Dialog.

Pemerintah Indonesia telah beberapa kali menginisiasi dialog dengan berbagai elemen masyarakat Papua. Namun, proses ini menghadapi berbagai tantangan terutama, dalam Representasi yang menyoal, siapa yang dianggap mewakili aspirasi masyarakat Papua secara legitimate?

Kemudian, dalam agendanya dilaog, menjadi upaya mempertanyakan, Apa yang bisa dan tidak bisa dibicarakan dalam dialog? dan Apakah isu kemerdekaan bisa menjadi bagian dari dialog? Sehingga, terus merupakan, perihal, yang selalu menjadi wacana kontradiksinya; Sehingga, faktor lazim, seperti, kepercayaan, dalam membangun rasa saling percaya antara pemerintah pusat dan masyarakat Papua setelah sejarah panjang ketegangan. Pada bagian implementasi, dialog selalu berupaya bertanya, bagaimana memastikan hasil dialog diterapkan secara konsisten dan efektif ? dalam hal ini, struktur dialog memiliki kelemahan elemen dan komposisi dari dialog yang dilakukan dalam inkonherensi, atas problem struktural mendasar kebijakan Papua, yang jika dilaog masih menjadi suatu pendekatannya, dalam penengahan konflik di Papua, maka, kelemahan segmentasi topik, tersebut, harus menjadi re-efesiensi, yang menuntut adanya kesadaran waktu, dalam pengertian propek dan potensi akhir, yang berupa proses di dalam masa kebijakan, dalam "Jangka panjang" dalam pendekatan logis terhadap konflik dengan mediasi dialog berikutnya, menuju konherensi logis dari pokok persoalan konflik nasional, di Papua. Yang, haruslah, dipahamai sebagai aspek logis, yang berada dalam alur jangka panjang dari hasil upaya penyelesaian konflik tersebut.


Sementara, Implikasi terhadap Koherensi Logis Indonesia.

Dalam Pendekatan konherensi logisnya, implikasi dalam menuju kematangan demokrasi Indonesia, paling tidak, sudah semestinya menjawab, aspek subtansi dari pernyataan sosial-inkonsistensi, yang ada, meskipun, dialog; sebagai jembatan pendekatan logis dari adanya kesenjangan inkonsistensi Indonesia dalam kebijakan pemerintahan. 

Namun, pada impresi, di dalam kesan yang menampilkan Dialog Papua Merdeka tidak lain, implikasi dialog seharusnya untuk menunjukkan beberapa hal penting yang mempengaruhi, yakni, kompleksitas dan kesatuan dalam keragaman, dan, bagaimana Indonesia dapat mempertahankan kesatuan nasional sambil menghormati keragaman dan aspirasi daerah? yang adalah sebuah tantangan bagi desentralisasi, yang menyoroti sejauh mana otonomi daerah dapat diberikan tanpa mengancam integritas nasional ? dan keadilan dan pemerataan, dalam notasi logisnya, "bagaimana menyeimbangkan pembangunan nasional dengan kebutuhan dan karakteristik lokal? lalu, perihal pendekatan multidimensi sebagai antisipasi dalam pentingnya pendekatan yang komprehensif, melibatkan aspek politik, ekonomi, sosial, dan budaya dalam menyelesaikan isu-isu kompleks.

Dialog Papua Merdeka.

Dialog Papua Merdeka, bukan hanya tentang Papua atau kemerdekaan. Ini adalah cerminan dari tantangan yang lebih besar yang dihadapi Indonesia dalam mencapai koherensi logis di tengah keberagamannya. Kasus ini menunjukkan bahwa Indonesia perlu terus mengembangkan pendekatan yang lebih inklusif, fleksibel, dan kontekstual dalam mengelola keragamannya. Pencapaian koherensi logis dalam kasus seperti ini mungkin tidak selalu berarti keseragaman atau konsensus mutlak. Sebaliknya, ini mungkin lebih tentang bagaimana menciptakan kerangka bersama di mana perbedaan dapat dinegosiasikan dan diakomodasi secara damai dan konstruktif. Ini adalah proses yang akan terus berkembang, mencerminkan dinamika dan kompleksitas Indonesia sebagai negara majemuk.

Integritas, Keadilan Sosial, & Kedaulatan NKRI:

Pilar Koherensi Logis Indonesia.

Dalam upaya mencapai koherensi logis di tengah inkonsistensi problematik, dalam heterogenitas majemuk Indonesia, dengan upaya apapun, baik itu adalah dialog, setidaknya mencermati komponen dari tiga konsep kunci muncul sebagai pilar penting: Integritas, Keadilan Sosial, dan Kedaulatan NKRI. Yang apabila, ditelaah bagaimana ketiga konsep ini saling berkaitan dan bagaimana penerapannya berdampak pada isu-isu seperti Dialog Papua Merdeka. Sebagai, suatu upaya menuju konherensi logis penyelesaia inkonsitensi dari setiap persoalan ke- Indonesian-nya, Indonesia, yakni :

1. Integritas
Dalam konteks bernegara, integritas merujuk pada konsistensi antara nilai-nilai yang dianut, kebijakan yang dibuat, dan implementasinya di lapangan. Yang tantangannya adalah; berorientasi pada problem dari kesenjangan antara kebijakan pusat dan implementasi di daerah. Juga terkait, dalam keterhubungan pemberantasan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang menggerogoti kepercayaan publik. Sehingga dalam kepastian komitmennya, apa pun juga upaya nyata, sebagai tindakan penyelesaian dari kebijakan pemerintahan pusat, yang dilakukan, rasanya akan menengahi, konherensi terhadap inkonsistensi problematika sosial masyarakat, di dalam mempertahankan, kedaulatan dan integritas Indonesia.

Dimana, relevansinya dengan Kasus Papua, adalah faktor integritas berada di dalam ketidakkonsistenan dalam implementasi Otonomi Khusus Papua. Juga, perbedaan antara janji pembangunan dan realitas di lapangan. Sementara, solusi potensial, seperti, penguatan sistem pengawasan dan akuntabilitas yang juga merupakan hak bagi rakyat, Papua, maupun, transparansi dalam proses pengambilan keputusan dan alokasi sumber daya. serta, pendidikan dan kampanye anti-korupsi yang masif. Yang membangun, diameterial, dari kepercayaan rakyat Papua, hampir tidak terlaksana secara konheren dalam pengertian yang logis, sebagai titik tolak, ukur kebijakan, yang menikut sertakan, Papua. Dan, apalagi, keadilan sosial,  yang selama ini menjadi ruang diskusi publik, dimana, keadilan sosial adalah prinsip yang menjamin distribusi yang adil atas hak, kesempatan, dan sumber daya di antara semua anggota masyarakat. Belum, merata bagi Papua sebagai suatu konherensi logis administratif wilayah NKRI.

Terakhir, dalam, menyeimbangkan integritas, keadilan sosial, dan kedaulatan NKRI adalah kunci dalam mencapai koherensi logis di Indonesia. Ini bukan tugas yang mudah dan membutuhkan komitmen jangka panjang dari semua pihak. Dalam konteks Dialog Papua Merdeka, pendekatan yang menjunjung tinggi integritas (konsistensi kebijakan), memprioritaskan keadilan sosial (pembangunan yang merata dan inklusif), dan tetap menjaga kedaulatan NKRI (dialog yang konstruktif tanpa mengompromikan keutuhan negara) mungkin dapat membuka jalan baru dalam penyelesaian konflik. Yang, akhirnya, koherensi logis Indonesia mungkin tidak terletak pada keseragaman, tetapi pada kemampuan untuk mengelola keragaman dengan cara yang adil, transparan, dan menghormati kedaulatan negara. Ini adalah proses dinamis yang akan terus berkembang seiring dengan evolusi sosial-politik bangsa Indonesia.

Sekali, lagi, bahwa, tulisan ini, sebagai suatu wujud upaya berpikir, dan juga logis dalam mendudukan logika konherensi Indonesia, sebagai suatu yang logis dalam konherensi dan inkonsitensi problem sosial yang dihadapinya, Indonesia tetaplah suatu ide logis, sebagai wacana negara, sosial, dan filosofisnya, dan juga, sebagai sesuatu kedudukan yang logis dalam parameter, baik, akademik, maupun filosofisnya, Indonesia bukan semata-mata, sebagai tolak ukur, yang tidak berladasakan historis, dan tapi juga, kemerdekaan yang dicapai dalam perjuangan dengan upaya yang konheren terhadap logika, - bahwa, indonesia sudah pasti adalah suatu kerangka yang logis,  di dalam sejarahnya.".

B. Lampung, 17/08/2024. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun