2. Contoh Bias dalam Bahasa:
  - Bias gender: Penggunaan kata yang lebih condong ke salah satu gender.
  - Bias budaya: Kata-kata atau ungkapan yang memiliki konotasi berbeda di berbagai budaya.
  - Bias sosial-ekonomi: Penggunaan bahasa yang mencerminkan atau memperkuat perbedaan kelas sosial.
3. "Something In Your Ice":
  - Bisa jadi ini adalah metafora atau kiasan (majazi) yang menggambarkan sesuatu yang tersembunyi atau tidak langsung terlihat.
  - Mungkin merujuk pada bias yang "tersembunyi" dalam bahasa sehari-hari, seperti es yang tampak bening tapi sebenarnya mengandung sesuatu.
4. "Problem Fonetik Kedua":
  - Bisa mengacu pada masalah sekunder yang muncul dalam fonetik akibat bias semantik.
  - Mungkin menunjukkan bahwa bias tidak hanya memengaruhi makna (semantik) tetapi juga cara pengucapan atau persepsi bunyi (fonetik).
5. Majazi vs. Spelling Gram:
  - Ini mungkin menggambarkan dua aspek berbeda dari bias linguistik:
   a) Majazi: Bias yang muncul dalam penggunaan bahasa kiasan atau metafora.
   b) Spelling Gram: Bias yang muncul dalam ejaan dan tata bahasa, mungkin mencerminkan norma atau aturan bahasa yang bias.
6. Implikasi dalam Linguistik:
  - Pentingnya kesadaran akan bias dalam penelitian dan analisis linguistik.
  - Kebutuhan untuk pendekatan yang lebih inklusif dan beragam dalam studi bahasa.
86: Suatu Asas Kode Etik Tertentu-
Di dalam Lingkungan Lokalitas Wilayah Bahasa.
Pendahuluan.
Bahasa, sebagai instrumen komunikasi yang dinamis, seringkali berkembang melebihi fungsi dasarnya sebagai alat penyampai informasi. Dalam konteks sosial tertentu, bahasa dapat berevolusi menjadi sistem kode yang kompleks, mencerminkan nilai-nilai, norma, dan identitas kelompok penggunanya. Fenomena ini sangat terlihat dalam penggunaan kode "86" di berbagai komunitas lokal, yang menjadi fokus kajian ini.
Latar Belakang.
Penggunaan kode numerik "86" berakar dari tradisi komunikasi radio di Amerika Serikat, di mana angka ini awalnya digunakan untuk mengindikasikan penghapusan atau peniadaan sesuatu. Seiring waktu, penggunaan kode ini menyebar ke berbagai konteks sosial dan profesional, termasuk di Indonesia, mengalami adaptasi dan reinterpretasi sesuai kebutuhan lokal.
Metodologi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografis dan analisis wacana untuk mengeksplorasi penggunaan kode "86" di berbagai komunitas di Indonesia. Data dikumpulkan melalui observasi partisipan, wawancara mendalam, dan analisis dokumen dari berbagai sumber lokal.
Temuan dan Diskusi.
1. Variasi Makna Lokal
Di berbagai daerah di Indonesia, kode "86" telah mengalami pergeseran makna yang signifikan. Misalnya:
- Di kalangan kepolisian: sering diartikan sebagai "situasi aman" atau "misi selesai".
- Di industri perhotelan: digunakan untuk mengindikasikan bahwa suatu item telah habis atau tidak tersedia.
- Dalam komunitas underground: dapat berarti "hati-hati" atau "bahaya".
2. Fungsi Sosial
Penggunaan kode "86" berfungsi tidak hanya sebagai alat komunikasi efisien, tetapi juga sebagai:
- Penanda identitas in-group
- Mekanisme pertahanan terhadap outsider
- Alat untuk mempertahankan kerahasiaan informasi
3. Implikasi Etis
Penggunaan kode semacam ini memunculkan beberapa pertanyaan etis:
- Potensi eksklusi sosial terhadap mereka yang tidak memahami kode
- Dilema transparansi vs kebutuhan akan privasi kelompok
- Tantangan dalam penegakan hukum dan keadilan sosial
4. Dinamika Linguistik
Fenomena ini menunjukkan bagaimana bahasa lokal dapat:
- Beradaptasi dengan pengaruh global
- Menciptakan makna baru dari elemen yang sudah ada
- Memperkuat ikatan sosial melalui penggunaan bahasa eksklusif
Penggunaan kode "86" di berbagai komunitas lokal di Indonesia merefleksikan kompleksitas interaksi antara bahasa, budaya, dan etika sosial. Fenomena ini tidak hanya menunjukkan kreativitas linguistik masyarakat lokal, tetapi juga menggarisbawahi pentingnya memahami konteks sosio-kultural dalam interpretasi bahasa.