Selanjutnya apa ?
Selanjutnya adalah, Manajemen Sumber Daya Manusia, Pengembangan dalam rangaka peningkatan, dari dimulai sejak kapasitas aparatur pemerintah menjadi krusial. Seperti, program pelatihan yang fokus pada keterampilan praktis dan pemecahan masalah,Sistem rekrutmen dan promosi berbasis merit, atau, Insentif yang terkait langsung dengan kinerja dan pencapaian tujuan kebijakan.
Apa saja selanjutnya yang diperlukan ?
Selanjutnya, adalah, terciptanya Transparansi dan Keterbukaan. Meskipun pragmatis, nilai etis tetap membutuhkan keterbukaan, dalam kontruksi reguler, Publikasi reguler laporan kinerja dan pencapaian pemerintah, Platform digital untuk akses informasi publik dan layanan pemerintah, dan, Mekanisme whistleblowing yang efektif untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.
Tantangan dan Kritik
Menjawab ide dari topik di atas sebagai gagasan pokoknya, atau ide pokok, di balik dilema ini, rasanya, pendekatan pragmatis ini tidak lepas dari kritik, dimana hal-perihal serupa, Risiko Oversimplifikasi: Fokus pada hasil terukur dapat mengabaikan kompleksitas masalah sosial, atau juga, Jangka Pendek vs Jangka Panjang: Tekanan untuk menghasilkan hasil cepat dapat mengorbankan keberlanjutan jangka panjang, serta kontekstuasi, menyangkut Etika vs Efisiensi: Terkadang, tindakan paling efisien mungkin bukan yang paling etis. Suatu contoh menarik dari, studi kasus, yakni, seputar jembatan interpestasi dari, Reformasi Birokrasi di Singapura.
Dimana, Singapura menawarkan contoh menarik tentang penerapan nilai etis pragmatis dalam pemerintahan. Negara kota ini terkenal dengan pendekatan "pragmatisme tercerahkan"-nya pada poin-poin seperti, di bawah :
- Sistem rekrutmen dan promosi yang sangat kompetitif dan berbasis merit.
- Gaji kompetitif untuk pejabat publik untuk menarik talenta terbaik dan mencegah korupsi.
- Fokus pada efisiensi dan hasil terukur dalam pelayanan publik.
- Adaptasi cepat terhadap perubahan global, seperti dalam kasus transformasi digital.
Meskipun sukses dalam banyak aspek, pendekatan Singapura juga menghadapi kritik terkait kurangnya kebebasan politik dan ekspresi. Sehingga dapat disimpulkan, nilai etis pragmatis struktural dalam pemerintahan menawarkan kerangka kerja yang berorientasi pada hasil dan efisiensi. Pendekatan ini mengakui bahwa legitimasi pemerintah tidak hanya berasal dari kesetiaan pada prinsip-prinsip filosofis, tetapi juga dari kemampuannya untuk memberikan hasil nyata bagi masyarakat. Namun, penting untuk mencatat bahwa pragmatisme ini tidak boleh sepenuhnya terlepas dari nilai-nilai filosofis yang lebih luas. Tantangannya adalah menemukan keseimbangan yang tepat---di mana efisiensi dan efektivitas dapat dicapai tanpa mengorbankan prinsip-prinsip fundamental demokrasi, keadilan, dan hak asasi manusia. Dalam era kompleksitas global yang semakin meningkat, pemerintahan yang berhasil akan menjadi yang mampu mengintegrasikan nilai etis pragmatis ke dalam strukturnya, sambil tetap mempertahankan integritas filosofis sebagai kompas moral. Ini membutuhkan pendekatan yang nuansir, reflektif, dan adaptif terhadap tata kelola pemerintahan.
Referensi.
Buchanan, J. M., & Tullock, G. (1962). The Calculus of Consent: Logical Foundations of Constitutional Democracy. University of Michigan Press.
Fishkin, J. S. (2011). When the People Speak: Deliberative Democracy and Public Consultation. Oxford University Press.
Habermas, J. (1984). The Theory of Communicative Action. Beacon Press.
Li, T. M. (2007). The Will to Improve: Governmentality, Development, and the Practice of Politics. Duke University Press.
Mill, J. S. (1863). Utilitarianism. Parker, Son and Bourn.
Pateman, C. (2012). Participatory Democracy Revisited. Perspectives on Politics, 10(1), 7-19.