Mohon tunggu...
Ahmad W. al faiz
Ahmad W. al faiz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis.

a little bird which surrounds this vast universe, does not necessarily change itself, becoming a lizard. Do you know why. Yes you do.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Nol Pangkat Nol - Io

21 Juli 2024   03:08 Diperbarui: 21 Juli 2024   04:37 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

0 (Nol Pangkat nol). I0

Esai.

Judul:  


"Ilusi Geometri dan Realitas: Eksplorasi Filosofis Fenomena 'Missing Square'" - Simbolisme Ruang Argumentasi Ambivalensi Dalam Objek Ruang Lingkup Teks.  

 Oleh : A.W. al-faiz

Abstraksi

Dalam dunia geometri yang tampaknya pasti dan terukur, terdapat sebuah paradoks visual yang menantang pemahaman kita tentang realitas dan persepsi: fenomena "missing square". Puzzle ini, yang menampilkan susunan bentuk geometris yang tampaknya kehilangan atau menambah area ketika disusun ulang, membuka pintu diskusi filosofis yang mendalam tentang hakikat realitas, batas-batas pengetahuan manusia, dan peran persepsi dalam membentuk pemahaman kita tentang dunia.

Plato, dalam alegori guanya, menggambarkan manusia sebagai tahanan yang hanya melihat bayangan realitas di dinding gua, bukan realitas itu sendiri (Plato, Republic). Fenomena "missing square" seolah-olah menjadi manifestasi modern dari alegori ini. Apa yang kita lihat---perubahan area yang tampak nyata---hanyalah "bayangan" dari realitas geometris yang sebenarnya tidak berubah. Ini mengingatkan kita pada peringatan Plato bahwa indera kita mungkin menipu, dan bahwa kebenaran sejati mungkin berada di luar jangkauan persepsi langsung.

Due-dimensi Kantaniant.

Immanuel Kant, dalam "Critique of Pure Reason", berpendapat bahwa pikiran kita aktif membentuk pengalaman, bukan hanya pasif menerima informasi dari dunia luar (Kant, 1781). Ilusi "missing square" memperkuat pandangan Kantian ini, menunjukkan bagaimana pikiran kita secara aktif menginterpretasikan dan bahkan "mengkonstruksi" realitas berdasarkan input visual yang kita terima. Fenomena ini menantang konsep empirisme naif dan mendukung gagasan bahwa pengetahuan kita tentang dunia adalah hasil dari interaksi kompleks antara data sensoris dan struktur kognitif bawaan kita.

Bahasa Logika & Ludwig Wittgenstein : Konsepsi Filosofis Linguistik.

Ludwig Wittgenstein, dalam "Tractatus Logico-Philosophicus", membahas batas-batas bahasa dan logika dalam merepresentasikan realitas (Wittgenstein, 1921). Kesulitan dalam menjelaskan secara verbal mengapa ilusi "missing square" terjadi mengilustrasikan poin Wittgenstein bahwa ada aspek-aspek realitas yang "tidak dapat dikatakan" tetapi hanya dapat "ditunjukkan". Ini mengingatkan kita akan keterbatasan bahasa dan logika formal dalam menangkap sepenuhnya kompleksitas pengalaman visual dan perseptual.

Maurice Merleau-Ponty, filsuf fenomenologi, menekankan peran tubuh dan persepsi dalam pengalaman kita tentang dunia (Merleau-Ponty, 1945). Fenomena "missing square" dapat dilihat sebagai contoh konkret dari bagaimana persepsi kita tidak hanya pasif menerima data sensoris, tetapi secara aktif terlibat dalam membentuk pengalaman kita tentang ruang dan bentuk. Ini mendukung pandangan Merleau-Ponty bahwa persepsi adalah proses yang dihidupi (lived experience), bukan hanya proses mekanis pengolahan informasi.

Beberapa Pendapat Lainnya.

Thomas Kuhn, dalam karyanya tentang struktur revolusi ilmiah, membahas bagaimana perubahan paradigma dapat mengubah cara ilmuwan melihat dan menafsirkan data yang sama (Kuhn, 1962). Ilusi "missing square" dapat dilihat sebagai metafora visual untuk konsep pergeseran paradigma Kuhn. Tergantung pada bagaimana kita "membingkai" atau menyusun elemen-elemen visual, kita dapat melihat realitas yang tampaknya berbeda. Ini mengingatkan kita bahwa bahkan dalam ilmu yang tampaknya objektif seperti matematika dan geometri, cara kita memandang dan menginterpretasikan data dapat sangat dipengaruhi oleh kerangka konseptual kita.

Jacques Derrida, tokoh utama dalam filsafat dekonstruksi, mungkin akan melihat fenomena "missing square" sebagai contoh dari apa yang ia sebut sebagai "diffrance" - konsep yang menggabungkan ide tentang perbedaan dan penundaan makna (Derrida, 1967). Ilusi ini menunjukkan bagaimana makna (dalam hal ini, pemahaman kita tentang area dan bentuk) tidak pernah sepenuhnya hadir atau absen, tetapi selalu dalam proses pergeseran dan reinterpretasi.

Jean Baudrillard, dalam teorinya tentang simulacra dan simulasi, berpendapat bahwa dalam era modern, representasi telah menggantikan realitas (Baudrillard, 1981). Fenomena "missing square" bisa dilihat sebagai mikrokosmos dari argumen Baudrillard - sebuah simulasi geometris yang menantang konsep kita tentang realitas "objektif" dan menunjukkan bagaimana representasi dapat menciptakan realitasnya sendiri.

Dalam konteks etika dan epistemologi, ilusi ini juga mengangkat pertanyaan tentang sifat kebenaran dan tanggung jawab kita dalam menafsirkan dan menyajikan informasi. Seperti yang dikatakan Bertrand Russell, "Seluruh masalah dengan dunia adalah bahwa orang bodoh dan fanatik selalu yakin akan dirinya, sementara orang bijak penuh dengan keraguan." (Russell, 1951). Fenomena "missing square" mengingatkan kita akan pentingnya kerendahan hati epistemik dan kewaspadaan terhadap keterbatasan persepsi dan penalaran kita sendiri.

Selain Konsep Di Jendela Sains Modern -- Sebagai Konstruksi Pemikiran Filsafat.

Kesimpulannya, fenomena "missing square" bukan hanya trik visual sederhana, tetapi jendela ke pertanyaan filosofis yang mendalam. Ia menantang kita untuk mempertimbangkan kembali hubungan antara persepsi dan realitas, batas-batas pengetahuan manusia, peran aktif pikiran dalam membentuk pengalaman kita, dan kompleksitas representasi dan interpretasi. Dalam dunia yang semakin didominasi oleh citra visual dan manipulasi digital, pemahaman tentang cara kerja ilusi semacam ini menjadi semakin penting. Ini mengingatkan kita, seperti yang dikatakan oleh filsuf kontemporer Slavoj iek, bahwa "kita harus belajar untuk mengidentifikasi ilusi bukan dalam realitas, tetapi dalam cara kita memandang realitas" (iek, 2006).

Melalui lensa fenomena "missing square", kita diundang untuk merefleksikan tidak hanya sifat realitas dan persepsi, tetapi juga peran kita sebagai pengamat aktif dan penafsir dunia di sekitar kita. Ini adalah pengingat yang kuat bahwa bahkan dalam bidang yang tampaknya paling pasti seperti matematika dan geometri, masih ada ruang untuk keajaiban, teka-teki, dan perenungan filosofis yang mendalam.

B. Lampung 21/07/2024.

A.W. al-faiz.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun