Â
1. Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung dalam Kasus Korupsi E-KTP Kasus korupsi E-KTP merupakan salah satu kasus korupsi terbesar di Indonesia yang melibatkan proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (E-KTP) pada tahun 2011-2012. Kasus ini melibatkan sejumlah pejabat tinggi negara dan mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 2,3 triliun [5]. Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung No. 1686 K/Pid.Sus/2018, MA menerapkan prinsip positivisme hukum dengan ketat. Beberapa aspek yang menunjukkan penerapan positivisme hukum dalam kasus ini antara lain: 1. Penerapan hukum tertulis secara ketat: MA mendasarkan putusannya pada ketentuan hukum positif yang berlaku, terutama Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hakim tidak mempertimbangkan aspek-aspek di luar hukum tertulis dalam mengambil keputusan.
 2. Fokus pada unsur-unsur tindak pidana: Putusan MA secara rinci menguraikan terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam undang-undang, tanpa mempertimbangkan faktor-faktor eksternal seperti tekanan politik atau dampak sosial dari putusan tersebut.
 3. Penerapan sanksi sesuai ketentuan undang-undang: MA menjatuhkan hukuman sesuai dengan ancaman pidana yang diatur dalam undang-undang, tanpa mempertimbangkan aspek keadilan restoratif atau rehabilitasi terpidana. Analisis: Penerapan positivisme hukum dalam kasus E-KTP menunjukkan upaya untuk mencapai klaritas hukum asal dengan berpedoman pada hukum tertulis dan prosedur formal. Namun, pendekatan ini juga menimbulkan kritik, terutama dari perspektif hukum progresif yang menekankan pentingnya keadilan substantif di atas keadilan prosedural [6].
 IV. Kesimpulan Puritas nilai otentisitas hukum dan positivisme hukum sebagai klaritas hukum asal
Yakni, erupakan dua konsep penting dalam filsafat hukum yang memiliki pengaruh signifikan terhadap praktik hukum modern. Meskipun kedua konsep ini bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum, penerapannya dalam kasus-kasus konkret seringkali menimbulkan perdebatan tentang keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan substantif. Studi kasus putusan MK tentang UU Perkawinan dan kasus korupsi E-KTP menunjukkan bahwa pengadilan di Indonesia cenderung menerapkan prinsip-prinsip positivisme hukum dan puritas nilai otentisitas hukum dalam putusannya. Namun, perkembangan pemikiran hukum progresif dan pendekatan hukum yang lebih holistik menantang dominasi paradigma positivistik ini.Â
A.W. Al-faiz.
10/07/2924.
B. Lampung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H