Mohon tunggu...
Ahmad W. al faiz
Ahmad W. al faiz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

a little bird which surrounds this vast universe, does not necessarily change itself, becoming a lizard. Do you know why. Yes you do.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Apa Khabarmu?

30 Mei 2024   09:25 Diperbarui: 30 Mei 2024   09:47 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Disini, adik, sibuk belajar," mengaji kitab, di asrama," salam buat ayah dan ibu, di sana."

"Bang," aku hingga kini,
masih menunggu, jawaban" Kata, Lestari.

"Kenapa, abang jadi tak berdaya menerimaku sebagai permata, untuk menghiasi wibawa, seorang, pujangga, seperti, abang ?" sebuah pertanyaan yang beserta penuntutan yang keras, dari Lestari.

"apakah, kata-kata pengharapan ini, tak lagi ada maknanya buat abang ?" kembali, berseling gadis polos itu, mengucapkan rajukkannya, kepada lelaki yang dianggapnya sebagai pangeran, bak ibarat, sultan, Hang Tuah yang sangat bijaksana dengan tajamnya pena di tangan seorang kesatria kata dan mantra.

    * * *

           Dan, Hamzah, menghela nafas setelah berulang kali membaca surat tersebut, bagai kehilangan sekantung ide dari pundi bakat kepenyairannya. Dia menganggap ini suatu yang tak mungkin. Dimana, ayahanda Lestari, telah membesarkan hatinya, untuk setia menjadi guru bagi perjalanan hidupnya. Sementara, Lestari sendiri tumbuh sebagai adik, dari jantung persahabatan keluarga, ayah Hamzah, yang memandatkan wasiat untuk menjaga, dan mendidik Hamzah, tak ubahnya anak lelakinya, sendiri. Hamzah, menerima perlakuan yang bertanggung jawab, oleh, ayah Lestari. Meletakan, pikul beban, bagi Lestari, sebagai adik kandungnya sendiri, dalam muhrim persaudaraan hati kecilnya yang ringkas.

           Suatu malam di beranda depan, anak tangga rumah, saat cahaya bulan, Hamzah menulis, melukiskan rasa dalam syairnya ;

"Rindu mengusik dalam
di rembang petang
hingga malam terjelang
Apa kabarmu?"

Sambil, tersenyum, membayangkan halaman rumah, menjadi gundukan tanah kubur. Dan, menguburkan dirinya, di dalam kata-kata terakhir yang ditulis sebagai nisan, dari laki-laki Melayu, yang mati karena rindu, "Apa khabarmu ?" tinta emas, dengan kuntum mawar merah yang telah layu.

29/05/2024. (we).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun