Mohon tunggu...
Ahmad W. al faiz
Ahmad W. al faiz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis.

a little bird which surrounds this vast universe, does not necessarily change itself, becoming a lizard. Do you know why. Yes you do.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Memilih Pacar di Republik Cinta

15 Januari 2024   05:06 Diperbarui: 15 Januari 2024   05:06 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

MEMILIH PACAR DI REPUBLIK CINTA.

cerpen.
Oleh : A.W. al-faiz

"Dan, aku pikir aku memang lahir di hari ke-tujuh dalam minggu yang berjumlah delapan hari di hari sabtu." Seperti pacul atau cangkul pikiranku menggali ke kedalaman menemukan mata air kejernihan." 

"Apakah "Air sumurkah cinta?"

          Diantara mereka, ada yang berkata,
"Aku cinta agamaku" lalu berpesta pora di dalam tempat ibadah dengan renungan dan segala macam nyala dari do'a dan pinta.

            Diantara mereka, ada yang berkata,
"Aku cinta warna ungu dari empeduku" lalu mereka menari dalam warna musik yang purple dengan bergeming gilang permen-permen heloween.

                 Sebagian cerita aku tahu sebagian aku tak tahu. Sementara jika ada yang bertanya unyuk apa tahu? Jawabku, mungkin kita bisa kumpulkan menjadi pengetahuan suatu hari nanti" tapi, aku tak tahu untuk apa pengetahuan persisnya, jika harus bertentangan dengan berpikir tentang manfaatnya.

                   Diantara mereka, ada yang berkata,
"Aku cinta jalan menuhu bujit itu, di sana senyap dan dingin dan juga kita bisa mencapai klimaks dari nafas di dalam darah menuju ke otak, dan bunuh diri." Lalu, mereka mematahkan kaki mereka sebelum mencapai tujuan. Dari, ketiga perkataan itu, yang kudaoat dari mereka sedang mementaskan diri. Di hadapan seorang putri jelita bernama Rikayat Jelita, anak dari seorang raja Andalusia. Di masa dinasti Andalus. Di pulau Andalas yang kini orang menyebutnya homo sumatranesia. Tapi, terkadang aku suka tahu busuk, tapi, terkadang memilih bersabar ubtuk mendapatkan buah yang manis, mengawetkannya menjadi selai dan permen. Tapi, juga terkadang naif, untuk merenubgi nasib di dalam mihrab tempat do'a kecil di selenggarakan dengan nyala pelita yang redup oleh pijar lilin. Membayangkan tahu busuk, dan juga permen, serta Rikayat Jelita, sang putri raja Andalus.

            Katung-kantung kenanganku yang menyimpan bukit-bukit raksa dari lahar emosi yangeledak di udara.

Cinta mereka menghiasi daya tarik yang mencoba narsistik di hadapan Rikayat Jelita, di atas panggung sandiwara dalam pesta-pesta pora-poranda, yang menjamukan hidangan masa lalu dan serangkaian susunan acara pada lirik yang dinyanyikan sellayaknya sebuah lagu dari tembang kersahan dan duka lara. Dan aku pikir, ada baiknya menguburkan mayat-mayat kegagalan sebagai makann jasad renik, menggali liang kuburku diriku sendiri sejak sekarang sampai tiba saatnya kematian, setelah segalanya terintip dari celah usia tua. Mungkin, mataku akan rabun, dan rambut yang menandakan sjatu perubahan di dalam dimensi inheren dari tubuhku yang kemarin.
Tak ada yang da

pat dipastikan dengan cinta, namun, ada yang daoat di tumbuhkan dengan harapan yang semoga.

Lereng-lereng barisan yang berkelok. Jika semua orang memiliki kecenderungan yang dominan atas semuanya, itu pasti bercabang, namun ada dari mereka yang senantiasa tumbuh dengan satu mimpi yang kuay. Dari sang ilahi, selain ketiga kata-kata mereka di atas. Mereka merdeka, dari sisi ya g berbeda satu dengan yang lainnya, berjarak dari kebebasan untuk memilih menjadi madrik, mandir, atau pandir, dari cinta, dari pilihan menjadi bebas dari sejumlah konsekuensi yang mereka takut kehilangan atas setiap yang mereka bawa dari sejak lahir dan menjadi bayi kemudian bocah yang meneteskan ingus berwarna hijau pekat.

Sementara, di tengah pesta-pesta itu yang disirami tawa canda, dan keseriusan serta omong kosong yang berlebihan. Sejenak aku mengerami telur burungku yang senyap, sebagai lelaki yang tak menetas atas kreasi condong terkecuali jiwa yang cangkul dan pacul atas setiap peristiwa dan waktu serta kebahagian untuk menunda kematian seorang pencangkul liang tanah di pemakaman yang mengubur kebiasaan berpikir orang terdahulu yang menjadi orang tua ayah dan ibuku.

Melahirkan hujan yang membanjiri mimbar cerita. Dengan khutbah pendek dan singkat di lema pelabuhan hikayat, Rikayat Jelita sang putri raja dengan tujuh cangkul di tangan aku menggali kisah yang hanyut terbawa prasangka. Curiga dan skeptik.

B. Lampung, 15 Januari 2024.
A. W. al-faiz.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun