Mohon tunggu...
Ahmad W. al faiz
Ahmad W. al faiz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis.

a little bird which surrounds this vast universe, does not necessarily change itself, becoming a lizard. Do you know why. Yes you do.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cinta Bodoh

29 Oktober 2023   11:51 Diperbarui: 29 Oktober 2023   12:07 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

MENJADI BODOH.

- buat, dia yang melihatku dalam kata.

         "Setiap cinta terjatuh, aku jatuh

Setiap, kali setiap kali kala waktu dan Dewi Kali, - aku menjadi dungu".

Kebahagian dan deua deus dari dopami - dengan rambut ular dan mata terkutuk. Saat melihat parasmu menjadi batu, dalam batin. (Apakah, juga re do?)

"Ah, ... !" lagi, dan lagi, sukma menjelma lara, ... pada nisbi khayalan tentang khayangan di surgawi."

Sewindu, dia telah tiada meninggalkan diriku. Dalam, rindu untuk tetap tegak dan tegar berdiri. 'Tak, ingin terjatuh."

Umpan, mengail keruh di air dalam ikan:

Medusa: berambut bajang memangil-manggil angin dalam keinginanan hasrat lelaki, yang lurus luruh hatinya.

Dua mata mayaku, menjadi sedu dan sendu sedoma lautan, lelaku laki yang terkutuk, Oleh Istri dari Zeus, layaknya Medusa.

Oleh, sabda Zeus, "berkata dalam tahta, nara" kalimat mantra -

Sementara, aku yang tak ingin jatuh!

Dan, terjatuh.

Pada bayangan lagi-dan lagi fase hormonal setelah kebahagian itu, dan terjatuh, menjadi siklus yang selanjutanya: menjadi luka.

: Saat, anakmu lahir menamai nyeri pada pilu batu ruang pengantin, di pintu nestapa bagi duka dan lara. - seperti sembilu, membalut, palang salib dari selembar kain, mengikat di bahu - membayangkan airmata tumpah ke benjana kelam yang gelap, oleh wajah kasih yang tak abadi.

Sedang, cinta-Nya abadi, 

Sedang dia adalah Ar-rahman

Sedang dia adalah, pengasih bagimu, sedang dia adalah pengampun. "Ya, Ghafur!"

Ya, rrahmani. 

Sejuk lembut angin di HannaHera: 

Setilik, kisah Arjuna, dan Pandawa lima, Dewi Sinta dan Sri Rama, di panggung Mahabarata.

Gie, berkata, masihkah, akan engkau menyuruhku untuk tidur lebih cepat dan minun susu.

Kapan, lagi, kita akan biasa:

Seperti, hari-hari berkabut di Padelarang, bukit cinta kasih tuhan dalam keindahan semesta.

Dan, dari setiap,

- rahim yang mengandung tanya, pada akhirnya, dan kemudian melahirkan jawaban, - dan dari setiap waktu dan warna biru itu, mereka gugur membela diri dan kaumnya sendiri, bagi masa depan.

Bandar Lampung, 29 Oktober 2023.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun