"AHIMSA*Â Bapu!"
("In, Memoriam, Ayahanda, Drs, Muhammad Ichwan, MA").
Oleh : A.W. Al-faiz.
Mahatma Gandhi : "Kekerasan Hanya Akan Menstimulus Kekerasan Yang Lebih Besar."
Pemikiran Politik Kemerdekaan India Oleh Sejarah "Perlawanan Tanpa Kekerasan," Mahatma Gandhi :  Sebagai, suatu Sumberdaya Kekayaan Nilai, Bagi Komponen Demokrasi.
        Demikian pernyataan tersebut, kemudian di tuliskan dalam sebuah buku, yang menuliskan jejak perlawanan Mahatma Gandhi, tanpa kekerasan dalam sikap perlawanannya untuk membebaskan India, dari Britania Raya yang menjajah India. Namun, saya sedikit meragukan akan hal itu, sebagai hal yang benar-benar diyakini atau diucapkan sebagai hasil dari konteks dari konsep yang lahir oleh pemikiran politik Mahatma Gandhi, kepada dirinya sendiri. Atau, hal yang setidaknya merupakan interprestasi dari penulis yang merangkum jejak dari perjalanan politik "anti-kekerasan" dalam pembebasan atau kemerdekaan India, dari Britania Raya. Tentu, sebagai sebuah notasi dari kritik secara logika, apa yang saya pikirkan adalah sosok Mahatma Gandhi di tengah dinamika para pemikir dunia.Â
Untuk, melihat sejauh mana, sebenarnya keberadaan dari statement judul di atas oleh, masyarakat India sendiri. Yang saya sendiri lebih bersetuju akan hal yang redaksional, menyoal di atas, "bahwa setiap kekerasan hanya akan, mensimulasi kekerasan yang sama besarnya," dari apa yang diberikan dari stimulus tersebut. Tanpa, harus melebih-lebihkan sosok Gandhi, sebagai habitat dari pemikiran mengenai Demokrasi dalam segmentasi sejarah India lepas dari kungkungan penjajah, dan juga, jejak pemikiran politik Mahatma Gandhi sebagai tokoh pemikir dunia, yang jenius yang tidaklah mungkin tidak menyadari adanya kesenjangan dalam interaksi dari dinamika dan dialektika politik di India, yang memaksa dirinya untuk menyatakan pernyataan yang kalimat yang lugu di atas.
      Sebagai, kelayakan dan ketepatan untuk mengucapkan ini dalam sebuah esai kritik tulisan pun saya rasa saya bukanlah, juga tentu, belumlah sebagai orang yang memenuhi syarat untuk hal ini. Terlebih, integrasi nilai yang memungkinkan, untuk saya tidak memilikinya di dalam diri saya secara sempurna. Terkecuali, saya meletakan diri saya sebagai, seorang yang diibaratkan penonton yang menyaksikan sebuah potongan dari adegan yang di pertunjukkan, di atas panggung sejarah dunia melalui penuturan di dalam jejak dokumentasi sejarah berupa penafsiran atas penafsiran peristiwa sejarah yang telah lebih dulu datang dan berada keberadaannya, bahkan sebelum saya lahir di muka bumi ini.Â
Mungkin juga kelancangan dari diri saya atas sikap yang subjektif ini, namun, kegelisahan yang saya tidak bisa sembunyikan, untuk jujur mengakui ketidak-kesempurnaan, pilihan dalam polarisasi dari struktur yang saya pahami, dari dalam diri saya, oleh kegelisahan atas hal tersebut. Terutama, dalam membaca sejarah sebagai interprestasi terhadap interprestasi dari fakta peristiwa yang sebenarnya, lalu kemudian apa yang saya bisa lakukan adalah melakukan kesalahan yang sama, ayas tindakan gegabah ini.
Dengan menuliskan terminologi kritik bagi otokritik saya sebagai perspektif dalam menilai sejarah sebagai interprestasi dan penafsiran atas peristiwa yang hanya memungkin saya untuk berada dalam bayang-bayang, "penutur ketiga" dalam aksen naratif yang telah terbangun alurnya sebagai dimensi yang objektif dan realistis, dalam melihat sosok tokoh pemikiran dunia dalam konsep-konsep pemikirannya di dalam inklusi ruang lingkup, konstelasi masa dan waktu serta jarak yang berjauhan, bagi nalar realitas, yang bukan mencakup nilai yang mana, bisa saja terus terjadi di setiap waktu, ruang, jarak, dan tempat. Yang, selalu membuat saya khawatir dan waspada akan turbulensi dari pergerakan nilai sejarah dalam politik terutama. Saya, sendiri, lebih mengilhami sosok misterius, dan penuh misteri seperti halnya Mahatma Gandhi, sebagai citra dari suatu konsensi dari konsentrasi pemikiran politik.