Mohon tunggu...
Ahmad W. al faiz
Ahmad W. al faiz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis.

a little bird which surrounds this vast universe, does not necessarily change itself, becoming a lizard. Do you know why. Yes you do.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Padamu Jua & Relasi Puitik Seorang Hamba? Atau Sebuah Bias Metafora yang Mengilhami Spiritualitas Ketuhanan?

2 Oktober 2023   08:37 Diperbarui: 2 Oktober 2023   10:01 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu - bukan giliranku
Mati hari - bukan kawanku.

             Dalam puisi, Karya Amir Hamzah, yang berjudul "Padamu Jua", dimana, selain kiasan cinta yang terkesan dramatis oleh ironi, dari suatu keaadaan kesadaran akan halnya morfologi dan ruang lingkup, atau batasan perbincangan topik kata-kata pilihan, yang tergambar dalam struktur di tengah pengertian dari keseluruhan isi puisi sebagai topik perbincangan temanya, di dalam bentuk yang semantik, dan klise, oleh peristiwa, cinta kasih, dari prediksi waktu, di masa lalu. Dari, relasi atau realisasi, atau idealisasi, keindahan, seperti dalam lirik-bait, aku manusia rindu rasa rindu rupa, yang seolah-olah, mengidentifikasi akan adanya kontradiksi dari intuisi nilai  naluriah dan nalar sitematis inderawi yang memikirkannya, sebagai suatu tolak ukur terhadap sosok yang manusiawi itu kepada (mu).

          Juga berdimensi ruang, yang mengibaratkan suatu kriteria anologi yang aksiomatik berdasarkan keyakinan, pada lirik bait, "Engkaulah kandil kemerlip, pelita jendela di tengah kegelapan malam. Komparasi antara pengertian, kemungkinan, akan penggunaan diksi, engkaulah, dan itulah. Yang lebih berprobabilitas, untuk dapat mengesankan suatu arti yang samar diantara, sesuatu yang bermakna redup, ambigu, dan, atau bahkan, menyimbolkan perenungan yang mendalam akan arti pendangkalan, dari interaksi arti, keterhubungan penyair di dalam batas-batas dimensi yang menyelami, suatu ruang yang mengikrarkan, menggerakkan atau memberi suatu upaya pernyataan yang dedikatif, dalam penghambaannya, dalam kalimat yang menempatkan, engkau sebagai objek yang memiliki makna "pelita" di tengah kegelapan malam, dan konteks sang aku si penyair yang menyatakan hal itu, sebagai sesuatu yang terang-benerang, dan di sisi lain, di tengah kegelapan. Dan, atau, serupa dengan suatu makna harfiah dalam kata valetis (yang melayani) makna sesunguhnya sebagai keberadan dalam iduksi makna, akan artinya sebagai akibat dari sebab yang mehubungkan makna dan pengertian dasar, dari  penghambaan seserang yang dedikatif. Yang diberi pelita, atau pijar, yang valetis melayani hakikat dan esensi maknanya.

Bahwa, setiap entitas yang diciptakan selalu tunduk akan makna dedikasi dan penghambbaannya, bagi kebutuhan dalam menerima konsekuensi batasan (melayani) dan batasan konsekuensi alamiah yang untuk tidak dapat menolak fakta dari keadaan bahwa setiap dimesteri, materi misteria, tersebut dalam kalimat, puisi, Padamu Jua, adalah image dari gambaran imajinasi yang kontradi si penyair yang mempertentangkan subtansi di dalam makna  yang terkesan dalam pilihan diksi, di dalam redaksi  struktural alur yang sistemik dari pusi padamu jua. Selaku bagai ungkapan dalam nuansa yang megekaspresikan negasi yang muncul sebagai fokus dari titik kebenaran absolut, sang aku yang tidak nampak secara gamblang. Terhadap emosi batin, yang prediket, baik bagi sang engkau, atau pembaca. Dalam menimbang kosakata padamu jua. Yakni, adalah bukan, padaku, bermakna terbalik. Seakan-akan, "habis kikis, segala, cintaku," dalam intrrupsi jumlah emosi yang berulang, itu, yang memaknai judul puisinya, ke- / Padamu Jua, telah habis dan terkikis dan mengrmbalikan bias persoalaan subjektifitas puitik, ke dalam bentuk naluri secara emosional sang penyair, ke-padamu jua dalam memberi tolak ukur, yang simetria bagi konsekuensi akibat, dari sebab habis kikis segala cintaku, dalam larik tersebut. Dlam penutup syair (lirik dan bait), dari puisi tersebut kemudian, sebelum yang terakhir, yakni, mangsa aku dalam cakarmu, dekonstruksi bagian parsial, dari keadaan yang tak dapat lagi di hadirkan dalam pengelihatan pada komposisi, aku atau engkau di dalam puisinya, yang terkecuali adalah sesuatu, dalam kapasitas yang bukan keduanya. Dan yang ditutupi kata, dengan bait, "matihari bukan kawanku" adalah, melepaskan ikatan garia singgung, ketersinggungan, di dalam relasi yang awalnya oplah, adalah bentuk, suatu yang tak dapat dihindari sebagai realitas dari strukturisasi teks puitik.

Untuk, kembali, pada satu bentuk, bias, yakni, ;

puisi?


A.W. Al-faiz

Halawi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun