Mohon tunggu...
Ahmad W. al faiz
Ahmad W. al faiz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

a little bird which surrounds this vast universe, does not necessarily change itself, becoming a lizard. Do you know why. Yes you do.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Argumentum Ad Populum Fallacy: Post-Trend: Pasca Populariant Menjadi Resource Kebenaran

17 Agustus 2023   22:07 Diperbarui: 17 Agustus 2023   22:33 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ARGUMENTUM AD POPULUM FALLACY : POST-TREND : PASCA POPULARIANT MENJADI Resource KEBENARAN.

Opini.

Oleh : Ahmad W. Al-faiz

Dalam teori argumentasi , sebuah argumentum ad populum ( Bahasa Latin untuk "menarik rakyat")  adalah argumen yang salah yang didasarkan pada mengklaim kebenaran atau menegaskan sesuatu yang baik karena mayoritas berpikir begitu. (Wikipedia).

    DALAM, dalam ranah, falacy, logical falllacy filsafat,  sebagai premis "ad populum fallacy" tentu, saja logika kebenaran yang ditarik dan dibangun dari asumsi nilai popularitas, bukanlah sebagai semangat kebenaran objektif yang subtansi, dalam ranah private, melainkan suatu arus dari gejala, sumberdaya nilai yang imperatif mulai keluar dari rel dan koridor "akal sehat" nya secara sehat.

    SESUATU yang dinilai popular ditengah-tengah masyarakat, belumlah, tentu menjadi suatu nilai kebenaran, yang bersamaan bagi setiap orang. Secara, menyeluruh pula. Bahwa, secara umum popularitas menggambarkan kemajemukan segmentasi setiap hal, di dalam; ruang lingkup umum. Dimana keumuman tidak lah dapat secara aktif dikondisikan dalam mekanisme, sistem kontrol terhadap keberadaannya.

Menghujat Nominal Negara: Segmentasi; Di dalam Kritik; Wacana; Terhadap Wacana Integritas Politik, Dan Perihal Politik.

   Saya tidak bisa membayangkan hal demikian lebih jauh, lagi, saat di satu sisi keterpilihan presiden, periode ini, sebelum pemilu 2024, menghasilkan perhitungan suaranya. Dalam, skema bentuk yang bermuara kepada popularitas objek dari preseden percontohan oleh kekuasaan pemerintah negara. Sebagai, suatu yang saya katakan dalam istilah modern "post-trend" dalam mewakili aspirasi nilai analisa saya dan pengamatan, ini, tersebut. Dalam ruang kebijakan dan kritik publik, dalam kriteria asumsi oposisi ditengah sistem demokrasi sejauh ini.

    Pancasila sebagai asas, atau pun juga pernyataan kritik, terbaru oleh kritikus, atau dalam pandangan ideologisnya, pernah memiliki warna dari pergulatannya sendiri, dimana, daya tarik terhadap angka, dalam (Pancasila) Llima sila, Trisila, sebagai asumsi kritik terhadap wacana, yang juga di katakan sebagian kalangan dari akademisi sebagai "bowl without Content" (Prof. Van der Kroef), dalam mewakili, apa yang saya siratkan sebagai realasi dan reaksi nalar berdasarkan kriteria kategoris argumentum ad populum fallacy dalam benak, saya. Terutama, dalam implementasi kaidah ini, menjadi tolak ukur metodelogi dilektikanya, dalam kritik wacana kebijakan, dalam semangat popularitas terhadap kedudukan Pancasila, dalam ideologi negara. Sebagai, definisi, pertentangan-pertentangan logika objektif terhadap nilai nalar kebijakan, dalam realitas praktis, yang di jembatani suatu etika pendekatan kritik kekuasaan dalam konfrontir, yang intelektual, dan akademis, patronik bernada populer, "akal sehat".

    Skema, negara yang berasal dari asal-usul rumusan founding father, bangsa ini. Dan juga guru bangsa. Kemudian secara tempramental, kita tarik perbandingan, dalam komparasi yang tidak presisi, bagi "akal sehat". Dimana, hal ini merupakan nuansa intelegensia yang secara alamiah dalam spiritnya, melahirkan seseorang dalam generasi di zamannya. Yang secara berbeda ketika hal demikian dinilai sebagai suatu nalar dari artifisial intelegensia asumsi, bagi nilai edukasi, dan ranah yang visioner dalam kebudayaan manusia. Negara justru adalah karakter kolektif dari kecerdasan yang artifisial, dan berdimensi majemuk, dan juga ambiguitas dalam pengertian yang absurd. Sebagai nalar negara dalam nominal subjeknya. Mana mungkin dapat mengakomodir atensi dari sesuatu yang secara alamiah merupakan pokok dasar dari persoalan kebijakan seseorang, atau bahkan publik secara meluas. Dalam struktur alamiahnya. Sebagai, contoh apakah kemudian negara harus ikut serta tanpa suatu batasan yang tepat, dalam perkara "malam bulan madu sepasang pengantin dalam keintiman seksualnya?" Lalu, siapa yang berkewenangan terhadap itu?, Atau apakah ada sumberdaya kekuasaan di balik itu semua?" Intulah, saya kira kita kerapembicaralan dikotomi ruang ranah yang ada dalam batasan negara, Dimana, struktur, kebijakan yang mengacu, pada bentuk dimensi dikotomi, kepentingan publik, atau public of interest, di luar ruang privat dan kapasitas personal seorang individu, atau bahkan kelompok tertentu semisalnya, dalam individual objek-subjek dari organisasinya, atau organisme individunya secara personal.

     Belakangan secara, kritis, dalam otoritas otokritik terhadap diri saya sendiri, saya juga mulai, lengah akibat suasana populer, oleh seorang figur publik, sebelum akhirnya terjaga dalam suatu ruang analisa, kembali, dari struktur alur problem yang muncul di tataran layar atau panggung perdebatan dan pergulatan kebijakan politik bagi hak-hak warga negara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun