Jember 23 November 2024-- Bank Indonesia (BI) telah menunjukkan komitmennya yang konsisten dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional, terutama dalam hal pengendalian inflasi, yang merupakan salah satu indikator kunci kesehatan ekonomi. Di tengah tantangan ekonomi global yang terus berkembang, sinergi yang semakin erat antara BI dan pemerintah menjadi sangat vital. Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengendalian Inflasi 2024 yang baru-baru ini digelar mencerminkan keseriusan kedua institusi ini untuk menghadapi ketidakpastian global, seperti fluktuasi harga komoditas, gejolak pasar internasional, dan tekanan dari krisis ekonomi yang melanda berbagai negara besar.
Upaya strategis yang disepakati dalam Rakornas ini bertujuan untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam kisaran target yang telah ditetapkan, yaitu 3,01% pada 2024. Dengan target yang jelas dan terukur ini, BI dan pemerintah berusaha untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi yang sehat dengan menjaga daya beli masyarakat. Langkah-langkah yang mencakup penguatan kebijakan moneter, koordinasi kebijakan fiskal, serta peningkatan distribusi pangan dan energi, tentu menjadi bagian integral dari strategi ini.
Namun, di balik upaya tersebut, terdapat tantangan yang tidak bisa diabaikan. Misalnya, volatilitas harga pangan dan energi yang cenderung dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti kebijakan negara-negara besar, cuaca ekstrem, serta dinamika global yang terus berubah. Selain itu, tekanan inflasi domestik yang bersumber dari konsumsi dalam negeri juga harus diperhatikan dengan seksama. Oleh karena itu, meskipun BI dan pemerintah telah sepakat pada serangkaian kebijakan, implementasi yang efektif dan cepat akan menjadi kunci utama dalam mencapai target inflasi yang diinginkan.
Langkah Strategis Pengendalian Inflasi Bank IndonesiaÂ
Dalam Rakornas Pengendalian Inflasi 2024, Bank Indonesia (BI) dan pemerintah telah menyusun tujuh langkah strategis yang sangat relevan untuk menghadapi tantangan inflasi pangan yang kerap menjadi sorotan, terutama menjelang periode-periode kritis seperti Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN). Fokus utama dari kebijakan ini adalah memastikan stabilitas harga pangan dan mengurangi gejolak yang dapat mempengaruhi daya beli masyarakat. Menjaga pasokan pangan yang lancar, terutama selama momen-momen konsumsi tinggi seperti HBKN, jelas menjadi prioritas utama dalam rangka menghindari lonjakan harga yang dapat menyebabkan inflasi tak terkendali. Langkah ini sekaligus memperlihatkan betapa pentingnya peran pemerintah dan BI dalam menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan untuk mencegah terjadinya kekurangan stok yang berujung pada harga yang melonjak tajam.
Salah satu kebijakan yang ditekankan adalah penguatan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP), yang tidak hanya fokus pada upaya pengendalian inflasi, tetapi juga pada pemerataan distribusi pangan di seluruh daerah. Program ini harus mampu menjangkau daerah-daerah yang rentan terhadap kelangkaan pasokan atau harga yang lebih tinggi, sehingga dapat memastikan bahwa seluruh lapisan masyarakat, terutama di daerah-daerah terluar dan tertinggal, tidak terpinggirkan dalam upaya pengendalian inflasi.
Selain itu, kebijakan penguatan ketahanan pangan juga menjadi bagian dari langkah strategis yang krusial. Mendorong produktivitas pertanian dan hilirisasi komoditas pangan akan sangat penting untuk mengurangi ketergantungan pada impor serta memperkuat sektor pertanian domestik. Upaya ini tidak hanya akan meningkatkan ketahanan pangan jangka panjang, tetapi juga membuka peluang bagi peningkatan kesejahteraan petani dan pengembangan industri pengolahan pangan di dalam negeri. Namun, tantangan besar yang harus dihadapi adalah bagaimana mengimplementasikan kebijakan ini dengan efisien, mengingat dampak fenomena cuaca ekstrem seperti El Nio yang berpotensi mengganggu produksi pangan dalam negeri. Perubahan cuaca yang tidak terduga sering kali menyebabkan gagal panen dan memperburuk ketidakseimbangan pasokan, yang tentunya dapat memperburuk inflasi pangan.
Yang tak kalah penting adalah peran komunikasi yang intensif dalam menjaga ekspektasi inflasi masyarakat. Ketidakpastian harga pangan sering kali dipicu oleh persepsi yang berkembang di masyarakat, yang jika tidak diatasi dengan baik, bisa memperburuk situasi inflasi. Oleh karena itu, komunikasi yang transparan dan proaktif antara pemerintah, BI, dan masyarakat sangat diperlukan untuk menjaga kepercayaan publik terhadap kebijakan yang diambil. Dengan penjelasan yang jelas dan data yang akurat, masyarakat akan lebih memahami langkah-langkah yang diambil dan lebih mampu menanggapi gejolak harga dengan lebih tenang.
Kerja sama yang erat antara Bank Indonesia (BI) dengan Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP-TPID) sepanjang tahun 2023 telah terbukti efektif dalam menurunkan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) secara signifikan, dari 5,51% pada 2022 menjadi 2,61% pada 2023. Angka ini menunjukkan pencapaian yang luar biasa, mengingat inflasi IHK yang tinggi pada tahun sebelumnya sempat menciptakan kekhawatiran akan dampaknya terhadap daya beli masyarakat, terutama di sektor-sektor yang sangat bergantung pada konsumsi domestik. Penurunan inflasi yang tercatat ini, selain menunjukkan efektivitas kebijakan pengendalian inflasi yang diterapkan, juga mencerminkan keseriusan pemerintah dan BI dalam menjaga kestabilan ekonomi makro.
Penurunan yang signifikan ini dapat dilihat sebagai hasil dari koordinasi yang lebih baik antara kebijakan moneter BI dengan kebijakan fiskal yang diimplementasikan oleh pemerintah, serta keterlibatan aktif TPIP-TPID yang bekerja di tingkat daerah. Melalui pemantauan yang lebih ketat terhadap perkembangan harga barang dan kebutuhan pokok, serta upaya penguatan distribusi pangan, kebijakan-kebijakan ini berhasil mengurangi tekanan inflasi yang bersumber dari sektor-sektor tertentu, seperti pangan dan energi. Pencapaian ini juga mencerminkan bahwa strategi berbasis kolaborasi antara pusat dan daerah dalam mengendalikan inflasi benar-benar memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian domestik.
Selain itu, inflasi inti yang terjaga di level 1,80% juga menunjukkan bahwa ada keseimbangan yang sehat antara permintaan domestik dan stabilitas impor. Inflasi inti yang rendah ini merupakan indikator penting bahwa ekonomi Indonesia tidak hanya mampu menjaga kestabilan harga barang dan jasa yang tidak terkait langsung dengan fluktuasi harga pangan dan energi, tetapi juga mencerminkan adanya kendali yang baik terhadap faktor-faktor domestik seperti permintaan agregat dan biaya produksi. Stabilitas impor yang terjaga, dengan memperhatikan ketahanan terhadap gangguan global seperti pandemi atau konflik internasional, juga merupakan pencapaian besar dalam menjaga pasokan barang yang lancar dan harga yang stabil.