Jember, 21 November 2024-- Kebijakan makroprudensial Loan to Value (LTV) telah menjadi instrumen penting dalam mengelola stabilitas sistem keuangan di Indonesia. LTV mengatur besaran maksimal kredit yang dapat diberikan oleh bank terhadap nilai agunan, terutama pada sektor properti. Tujuan utamanya adalah untuk mengendalikan risiko kredit yang berlebihan dan menjaga stabilitas sistem keuangan, mengingat pentingnya sektor properti dalam perekonomian nasional. Namun, implementasi kebijakan ini menimbulkan pertanyaan: sejauh mana kebijakan LTV efektif dalam meningkatkan akses kredit masyarakat, dan apakah potensi risiko yang ditimbulkan harus diwaspadai?
LTV berfungsi membatasi jumlah pinjaman yang diberikan oleh bank berdasarkan nilai agunan, dengan tujuan mengendalikan pertumbuhan kredit yang terlalu cepat. Kebijakan ini dapat meredam terjadinya gelembung aset dengan mengurangi potensi lonjakan harga properti yang tidak sebanding dengan nilai fundamentalnya. Namun, di sisi lain, kebijakan LTV juga berfungsi sebagai stimulus untuk mendorong pertumbuhan kredit, terutama di sektor properti. Penurunan rasio LTV memudahkan masyarakat untuk mengakses kredit properti, sehingga mendorong peningkatan permintaan dan aktivitas ekonomi.Â
Bank Indonesia (BI) telah beberapa kali menyesuaikan kebijakan LTV di Indonesia. Pada tahun 2023, BI melanjutkan pelonggaran Rasio Loan to Value (LTV) untuk Kredit Properti dan Rasio Financing to Value (FTV) untuk Pembiayaan Properti menjadi paling tinggi 100%. Kebijakan ini juga mencakup pelonggaran uang muka (down payment/DP) 0% untuk properti hingga 2024. Langkah ini bertujuan untuk mendorong pertumbuhan sektor properti, yang pada gilirannya akan berkontribusi pada pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Selain itu, BI juga memperpanjang kebijakan DP 0% untuk kendaraan bermotor baru hingga akhir tahun 2024, sebagai upaya untuk merangsang sektor otomotif.Â
Selain itu, sejak kebijakan LTV dan FTV diberlakukan, Bank Indonesia (BI) telah berhasil menyalurkan insentif sebesar Rp259 triliun hingga Oktober 2024. Sebagian besar dari total insentif tersebut telah dialokasikan kepada sektor-sektor prioritas yang dianggap strategis untuk pemulihan ekonomi dan pembangunan nasional, di antaranya hilirisasi mineral dan energi, sektor otomotif, serta Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Penyaluran insentif ini bertujuan untuk mempercepat transformasi ekonomi melalui peningkatan produktivitas sektor-sektor kunci yang mendukung pembangunan berkelanjutan dan menciptakan lapangan kerja.
Bank Indonesia, dalam upayanya untuk mendukung stabilitas sistem keuangan dan mendorong pertumbuhan ekonomi, diperkirakan akan terus memperluas cakupan insentif kepada sektor perumahan. Kebijakan ini diharapkan akan berkontribusi signifikan pada pencapaian target pembangunan 3 juta rumah pada tahun 2025, yang merupakan bagian dari program pemerintah untuk mengatasi backlog perumahan di Indonesia. Dengan memberikan insentif kepada perbankan, BI berupaya mempermudah akses masyarakat terhadap pembiayaan rumah, terutama di tengah kondisi ekonomi yang masih menghadapi tantangan pasca-pandemi. Selain itu, kebijakan ini juga bertujuan untuk memperkuat sektor properti, yang memiliki dampak luas terhadap perekonomian, karena dapat merangsang permintaan di sektor terkait lainnya seperti konstruksi, bahan bangunan, dan jasa keuangan.
Dukungan ini diharapkan dapat mempercepat pemulihan ekonomi Indonesia secara keseluruhan, dengan memperkuat sektor-sektor yang memiliki multiplier effect yang besar, seperti perumahan, yang tidak hanya menyerap tenaga kerja tetapi juga meningkatkan konsumsi domestik. Namun, implementasi kebijakan tersebut perlu dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari potensi risiko dari penggelembungan harga properti yang tidak terkendali, yang dapat berujung pada ketidakstabilan ekonomi jangka panjang.
Namun, meskipun kebijakan ini bertujuan untuk mendorong pertumbuhan kredit, pelonggaran LTV secara berlebihan dapat menimbulkan risiko yang besar. Salah satu risiko utama adalah meningkatnya potensi kredit macet. Dengan penurunan rasio LTV, masyarakat lebih mudah mendapatkan akses kredit, namun hal ini dapat menyebabkan permintaan properti melebihi pasokan, yang pada gilirannya mendorong harga properti melambung tinggi. Ketika terjadi pelambatan ekonomi atau kenaikan suku bunga, kemampuan masyarakat untuk membayar cicilan menjadi tertekan, dan risiko kredit macet pun meningkat.Â
Lebih lanjut, pelonggaran kebijakan LTV dapat mendorong bank untuk memberikan kredit kepada nasabah dengan profil risiko yang lebih tinggi demi mengejar pertumbuhan kredit. Hal ini dapat menciptakan kerentanan sistem keuangan yang lebih besar, karena bank lebih cenderung memberikan pinjaman kepada debitur yang kurang memenuhi syarat. Jika sektor properti terus berkembang di luar batas nilai fundamentalnya, risiko terbentuknya gelembung aset semakin besar. Gelembung aset ini akan sangat rentan terhadap guncangan ekonomi; perubahan kecil seperti kenaikan suku bunga atau penurunan pendapatan dapat memicu pecahnya gelembung, yang menyebabkan harga properti jatuh drastis dan merugikan pemilik properti, bank, serta perekonomian secara keseluruhan. Selain itu, fenomena gelembung aset dapat mengganggu efisiensi alokasi sumber daya dalam perekonomian, karena investasi lebih terkonsentrasi pada sektor properti, sementara sektor-sektor lain yang lebih produktif dan memiliki potensi lebih besar tidak mendapatkan perhatian yang cukup.
Dalam kesimpulannya, kebijakan LTV memang memiliki peran penting dalam merangsang pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan akses masyarakat terhadap kredit properti. Namun, kebijakan ini juga mengandung potensi risiko yang perlu diawasi dengan ketat. Pengawasan yang efektif terhadap kualitas aset perbankan dan profil risiko nasabah sangat penting untuk menjaga keseimbangan antara stimulasi pertumbuhan dan menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H