Golongan putih atau yang biasa disingkat golput merupakan efek samping atau akibat dari kebimbangan dan ketidaktahuan masyarakat akan siapa yang akan mereka pilih, berikut juga tujuan visi dan misi dari orang yang akan mereka pilih.
Kata golput sudah menjadi hal yang lumrah dan dianggap normal oleh sebagian mayarakat awam dikarenakan alasan dan faktor-faktor tertentu. Ada banyak hal yang menyebabkan terjadinya golput, tapi kali ini hanya ada beberapa diantara sekian banyak hal.
Diantaranya :
1. Banyaknya calon yang maju dalam pemilu.
Banyak dari masyarakat tidak tahu menahu akan sosok orang yang maju untuk mewakili daerah mereka di Pemerintahan. Begitu banyak orang yang berebut maju mencalonkan diri untuk mewakili daerahnya masing-masing bahkan ada juga yang mencalonkan diri untuk mewakili daerah yang lain. Saat ini ada begitu banyak partai yang mengusung “orang-orang terpilih” untuk duduk di kursi Pemerintahan. Banyak visi dan misi yang mereka usung demi “kesejahteraan” masyarakat. Mayarakat juga terkesan kurang peduli tentang visi dan misi yang mereka usung.
2. Hilangnya rasa kepercayaan rakyat
Masyarakat kini sudah bisa merasakan perbedaan antara orde lama, orde baru dan orde reformasi. Pada awalnya masyarakat menaruh kepercayaan yang tinggi terhadap wakilnya di Pemerintahan. Masyarakat percaya bahwa wakilnya dapat mewujudkan apa yang merek cita-citakan. Kesahatan, kesejahteraan, pembangunan dan masih banyak sektor lain yang mereka harapkan lebih baik di era kepemimpinan wakil mereka. Tapi seiring berjalannya waktu masyarakat kini sadar, apa yang mereka harapkan, apa yang mereka inginkan dari wakil mereka tak tampak sama sekali. Kesenjangan sosial, pengangguran, jaminan kesehatan, semuanya luput dari “pandangan” masyarakat.
3. Wani Piro
Mari kita lihat sejenak ke tengah-tengah masyarakat. Sekarang ini banyak diantara masyarakat yang menggunakan motto “Wani Piro”. Rakyat seolah-olah hafal bahwa apabila orang yang mereka pilih nanti menang, maka orang tersebut akan “lupa kulit”. Maka dari itu masyarakat berpendapat, daripada nantinya mereka tidak mendapat apa-apa di waktu kepemimpinan orang tersebut lebih baik mereka memintanya di masa kampanye atau menjelang diadakannya pemilu.
Akibatnya sebagian masyarakat menjadi bingung sekaligus tidak peduli atas apa yang akan terjadi nantinya. Yang lebih fatal lagi mereka bisa saja tak memilih dalam pemilu 2014 nantinya. Lantas timbul pertanyaan, apakah tindakan yang diambil masyarakat itu dianggap benar? Ada banyak sudut pandang yang dibutuhkan untuk menjawab persoalan diatas. Tapi intinya, masyarakat sudah bosan dengan pemimpin yang dengan cepatnya melupakan masyarakat yang telah memilihnya.
Pemimpin baru naik, kehidupan akan tetap sama. Yang semula supir akan tetap menjadi supir, yang semula pemulung akan tetap jadi pemulung, yang kaya akan semakin kaya, dan sebaliknya. Masih banyak lagi contoh-contoh lain yang bisa menggambarkan bahwa keadaan di waktu pemimpin lama dan pemimpin baru hampir tidak ada bedanya. Masyarakat sadar dan paham akan hal itu, asalkan keadaan tidak semakin terpuruk, masyarakat bisa sedikit lega.
Sampai di tahun 2014 ini, di tahun demokrasi, masyarakat masih “bermimpi” mempunyai wakil yang berwibawa dan mampu mewujudkan kesejahteraan yang mereka dambakan. Rakyat menaruh harapan yang besar pada pemimpin baru untuk memperbaiki negara ini terkhusus daerahnya dan juga memajukan perekonomian bangsa. Demokrasi di Indonesia ialah demokrasi pancasila yang selama ini kita kenal dengan motto LUBERJUDIL. Memilih wakil rakyat dengan langsung, bersifat umum, bebas untuk siapa saja, rahasia, jujur dalam pemilihan dan adil dalam hasilnya.
Penutup
Mari kita bersama-sama melakukan yang terbaik dalam pemilu tahun 2014 ini. Semoga akan muncul pemimpin yang akan mampu berbicara banyak di panggung kepemimpinannya nantinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H