Mohon tunggu...
Ahmad Syifa
Ahmad Syifa Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas Kendali

Belajar dan berbagi...

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Ivan Lanin, Badan Bahasa dan Kosa Kata yang Memunggungi Pemiliknya

15 Oktober 2021   12:54 Diperbarui: 15 Oktober 2021   17:59 1280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perlu diakui media sosial juga berguna bagi perkembangan pengetahuan pemakainya. Rabu kemarin (13/10/2021), Saut Situmorang memposting status facebook yang memanggil perhatian saya. Saut membagikan dan mengkritik postingan lama (7/10/2018) Ivan Lanin yang berisi daftar mana ejaan yang benar dan mana yang salah menurut Badan Bahasa (disingkat, BB).

Bagi Saut, Ivan sudah berlagak seperti polisi bahasa yang mengatur benar-salahnya ejaan. Popularitas Ivan yang konon melebihi popularitas Badan Bahasa itu sendiri, membuat sentilan Saut membuat saya semakin penasaran. Saya pikir sentilan Saut itu bukan hal sepele. Di balik sentilan itu, ada persoalan besar dan serius dalam dunia kebahasaan di negeri ini.

Dalam hal ini Ivan seperti mengasumsikan pentingnya keteraturan bahasa. Tetapi secara tidak langsung, keteraturan itu diam-diam menjadi semacam kontrol atas bahasa itu sendiri. Ada upaya penyeragaman bahasa yang sangat terburu-buru.

Saya coba diskusikan postingan Saut itu dengan seorang kolega, Dwi Cipta melalui pesan whatsapp. Menurutnya melalui KBBI Ivan (dkk) berpotensi menjadi menyeragamkan bahasa yang tidak memperhatikan pengaruh kultur dan subkultur tertentu yang mendinamisasi bahasa Indonesia itu sendiri.

Bahasa Inggris yang ditempa berabad-abad oleh banyak generasi penulis, sastrawan dan pemikir bahasa yang hebat-hebat saja masih mau membuka diri menyerap kata yang semula tidak baku menjadi baku. Sementara bahasa Indonesia umurnya baru 100 tahun. Penulis-penulis hebatnya pun jarang diajak duduk bersama untuk masalah itu. Lalu beberapa orang merasa perlu dan paling mampu mengatur ini dan itunya.

Lalu saya mulai memeriksa postingan Ivan itu. Ada beberapa komentar yang menarik di bawahnya. Komentar dari Feraldo Sihombing yang menyatakan bahwa ada banyak kesalahan dari daftar pembakuan versi BB tersebut.

Misalnya menurut BB yang benar itu nasihat, bukan nasehat. Bagi Feraldo, yang betul itu nasehat, sebab secara lisan kita menyebutnya sehat, bukan sihat. Menurutnya format transliterasi dari satu bahasa yang sama, yang dalam hal ini bahasa Arab, mestinya seragam.

Lalu kata capek, menurut komentar Fernando, harusnya tetap capek, bukan capai. Sebab capek berasal dari bahasa Betawi, dan orang-orang betawi dalam keseharian menyebutnya capek.

Komentar lain oleh Venda Maran melihat salah satu pembentukan kata baku dengan mengubai akhiran kata "e" menjadi "ai". Misalnya "satai" dan "petai". Venda mempertanyakan apa dasar dari pengubahan itu. Kenapa tidak sekalian saja misalnya ikan lele diganti ikan lelai?

Ronny Agustinus di akunnya sendiri memposting foto salah satu halaman bukunya yang berkaitan dengan itu. Ronny lebih memilih "bromocorah" yang lazim diucap oleh masyarakat ketimbang "bramocorah" yang dianjurkan "who the fuck." Ronny bahkan menyangsikan, apakah  "who the fuck" itu benar-benar mengucapkan bramocorah dalam keseharian mereka.

Alasan Ronny, penulis-penulis hebat seperti Mochtar Lubis, Ahmad Tohari dan Putu Wijaya misalnya menulis bromocorah, bukan bramocorah. Bromocorah sebagai kata dan stereotip memang ada di luar aturan resmi dan tak tertangkap oleh pejabat, tapi masuk dan hidup dalam keseharian masyarakat.

Sehari berikutnya, Ronny melanjutkan kritik dalam postingan berikutnya. Ronny mencontohkan kata "panu" yang oleh KBBI disalahkan. Kata yang tepat adalah "panau". Padahal sudah puluhan tahun buku ajar medis, label obat, iklan kalpanax di sandiwara radio, dan blog-blog kedokteran terkini menulisnya "panu". BB tidak pedulikan itu, ngotot "panau" lah yang masuk ke KBBI.

Lalu dalam komentar postingan Saut, Waluya Dimas membahasakannya dengan lebih sederhana bahwa "bahasa berkembang secara organik dan tergantung pada pemakai." Muhidin M Dahlan II lebih nyentrik lagi.

Muhidin membayangkan bagaimana jika rakyat balas dendam menuntut BB juga tegas menuntut kata "amandemen" yang ada di situs-situs web (dan dokumen-dokumen) lembaga-lembaga pemerintah menjadi "amendemen" yang diputuskan baku oleh BB. Apakah BB akan tetap ngotot juga? Kocak.

Di sela-sela saya mengamati postingan-postingan itu, saya juga mendiskusikan sekilas polemik bahasa ini ke seorang kawan, namanya Intan. Kawan saya ini kemudian bertanya, apakah itu artinya tidak boleh ada yang namanya polisi bahasa? Saya menerka-nerka, mungkin maksudnya polisi bahasa ya tadi itu, yang menentukan ejaan dan kata mana yang benar dan mana yang salah.

Saya menjawab, kritik Saut ini bukan berarti anti kata baku. Seperti kata Dwi Cipta di atas itu, penentuan kata baku itu tidak boleh semau-mau. Pertimbangannya banyak, termasuk para pemiliknya orang Indonesia itu sendiri yang memiliki kultur dan sub kultur yang sangat beragam.

Hal ini kemudian mengingatkan saya pada bagaimana rumitnya penentuan kata mana yang masuk dalam kamus Oxford yang digambarkan dalam film The Professor and The Madman. Kamus Oxford ditulis selama 70 tahun dimulai sejak 1857. Untuk menyusunnya puluhan ribu pemikir brilian dilibatkan dalam mencatat 414.825 kata pada waktu itu, untuk memperoleh definisi setepat mungkin.

Selain itu proyek ini melibatkan masyarakat umum dari berbagai belahan dunia yang menggunakan bahasa Inggris dalam kesehariannya. Masyarakat diminta untuk memberitahukan kata-kata dalam bahasa Inggris yang mereka ketahui, beserta definisi, penggunaan, asal usul dan rentang waktu popularitasnya.

Dari memanggil kembali ingatan menonoton film itulah saya mulai memahami pendapat-pendapat beberapa orang-orang yang saya sebut tadi. Penyusunan oxford begitu ketat, tapi tetap rendah hati dan demokratis. Mempertimbangkan betul bagaimana sebuah kata dipakai oleh masyakat umum yang beragam itu, baik lisan maupun tulisan.

Akhirnya saya merasa perlu menuliskan pertanyaan skeptis Dwi Cipta di sini. Siapa Ivan Lanin merasa mampu menentukan kata-kata baku itu? Sudah hidup di dalam kultur dan sub kultur mana saja, serta sudah menguasai bahasa mana saja sehingga merasa memahami penggunaan setiap kata-kata? Lalu Ivan sudah bicara dengan berapa banyak ahli dari berbagai kultur dan subkultur di Indonesia sehingga yakin betul mana yang mesti baku dan bukan baku?  Skakmat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun