Aku terkoyak di hadapanmu, dengan mudahnya seperti perahu kertas yang basah. Seandainya cinta itu berwarna merah muda aku ingin memakai kaos warna merah muda di hadapanmu setiap hari walaupun akan terlihat feminim. Apakah cinta itu nyata? Jawablah pertanyaan ini dengan terus mengingatkanku bahwa aku tidak sendirian, menyusuri kehidupan yang dingin ini. Apakah aku terlihat membosankan dengan rentetan kata-kata ini? Ayolah, hanya dengan kata-kata ini aku bisa menyentuh bagian hatimu paling dalam.
Aku tidak ingin terdengar berlebihan dengan kalimat-kalimat ini. Aku akan berhenti menulis romantisme seperti ini di saat kamu tidak lagi memenuhi benakku seperti sepotong lagu favorit. Di saat aku menggosok gigi sehabis tidur bahkan di saat pikiranku belum sepenuhnya sadar. Di saat aku jenuh dengan pekerjaanku. Di saat mendengarkan cerita membosankan dari salah seorang teman. Di saat terbangun di tengah malam hanya untuk pergi ke toilet. Kamu adalah percikan, sengatan, semua hal yang bersifat mengejutkan di hidupku yang datar.
Aku akan mengenangmu dalam derai hujan, sekilas sinar yang terpantul di permukaan kaca, dan mimpi paling absurd-ku. Semacam obsesi tak tersembuhkan, aku akan menolak untuk melupakanmu. Ada memori dalam benakku yang mengukir namamu, secantik senyummu. Walaupun ada saat-saat dimana aku diserang ketakutan akan kemungkinan sesuatu terjadi dengan otakku dan memori tentangmu hancur, terdengar mengerikan seperti sebuah akhir dunia, aku akan terus berusaha mencintaimu dari awal lagi, mengeja namamu dari awal lagi, mengingat senyummu dari awal lagi. Dengan begitu hidupku tidak akan menjadi sia-sia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H