Oleh karena itu, sama sekali tidak ada argumen kuat bahwa mereka lebih mampu mengungguli, apalagi menggurui para sastrawan yang terhormat. Mereka hanya sebatas pembaca yang tidak sekadar menikmati, tetapi juga melakukan kritik sebagai salah satu cara untuk mengapresiasi dan merayakan kehidupan sastra itu sendiri.
Menjadi sastrawan, pemuisi, novelis, prosais, dramawan, penyair, dan lain sebagainya sudah lain urusan. Itu sudah menjadi pekerjaan di bidang seni. Pekerjaan yang membutuhkan pengalaman, pendalaman, dan jatuh bangun yang berbeda. Pekerjaan yang tidak ditentukan dengan jurusan kuliah atau fakultasnya, tetapi kualitas yang disajikannya dalam merangkai karyanya.
Dengan kata lain, menciptakan karya sastra dan menilainya secara kritis adalah dua hal yang berbeda. Tidak perlu dicampur aduk. Menjalani salah satu saja susahnya minta ampun. Meskipun kantin fakultas di sana memang banyak yang menjual kopi dan tidak luput dari sorotan senja, bukan berarti mereka sudi menjadi anak-anaknya juga. Banyak mahasiswa yang tidak doyan kopi. Banyak lagi yang benci disorot senja karena terlalu silaunya. Mereka hanya berusaha mencintai kesusastraan, baik dan buruknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H