1. Tindakan Berbanding Lurus Dengan Pemahaman
Kebangkitan manusia ditentukan oleh pemikirannya mengenai kehidupan, alam semesta, dan manusia, serta hubungannya dengan Zat yang ada sebelum kehidupan dunia dan yang ada sesudahnya. Pemikiran inilah yang membentuk persepsi manusia. Agar manusia mampu bangkit dari kondisi rendah, perubahan pemikiran harus terjadi.
Manusia bertindak sesuai dengan mafahim yang ada dalam dirinya. Jika seseorang memiliki mafhum tentang cinta, tindakannya akan berbeda dengan orang yang memiliki mafhum tentang kebencian. Untuk itu, perubahan perilaku harus diawali dengan perubahan mafhum. Hanya dengan pemikiran yang benar tentang kehidupan, manusia dapat membentuk mafahim yang benar, yang kemudian mengarahkan perilakunya.
"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka." (Ar-Ra'd [13]:11.)
2. Pemikiran Cemerlang (al-Fikru al-Mustanir) sebagai landasan berfikir
Pemikiran yang menyeluruh mengenai alam semesta, manusia, dan kehidupan menjadi landasan berpikir (al-qa'idah al-fikriyah) yang melahirkan seluruh pemikiran cabang tentang kehidupan. Islam menyediakan pemikiran yang komprehensif, yang tidak hanya menyelesaikan masalah pokok manusia tetapi juga menghubungkan kehidupan dunia dengan kehidupan sebelum dan sesudahnya.
Kebangkitan manusia tidak dapat dicapai tanpa pemikiran yang cemerlang. Pemikiran ini tidak hanya memberikan solusi rasional tetapi juga sesuai dengan fitrah manusia dan memberikan ketenangan jiwa. Pemikiran Islam yang cemerlang menjadi dasar bagi kebangkitan individu dan masyarakat.
"Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang bahtera yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengannya Dia menghidupkan bumi setelah mati (kering), dan Dia menebarkan di dalamnya semua jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang mengerti." (Al-Baqarah [2]:164)
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal." (Ali 'Imran [3]:190)
"Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berilmu." (Ar-Rum [30]:22.)
3. Bukti Eksistensi Allah SWT
Islam memberikan solusi mendasar terhadap problematika utama manusia dengan menjelaskan bahwa Allah adalah Pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan. Segala sesuatu yang terbatas menunjukkan adanya Pencipta yang tidak terbatas. Hal ini dapat dibuktikan dengan mengamati alam semesta dan kehidupan itu sendiri. Al-Quran mendorong manusia untuk merenungi ciptaan-Nya sebagai bukti keberadaan Allah SWT. Dengan mengamati alam semesta dan segala sesuatu yang ada di dalamnya, manusia dapat memahami bahwa segala sesuatu membutuhkan pencipta.
Islam mengajarkan bahwa iman harus dibangun melalui proses berpikir dan pemahaman rasional, bukan sekadar mengikuti tradisi (taqlid). Pemikiran ini memungkinkan seseorang mencapai keyakinan yang mantap dan tidak tergoyahkan. Walaupun manusia dapat mencapai keyakinan tentang keberadaan Allah melalui akal, mereka tidak akan mampu memahami hakikat Zat Allah. Akal manusia terbatas dan hanya dapat memahami apa yang berada dalam jangkauannya. Pemikiran ini tidak mengurangi keyakinan, tetapi justru memperkuat iman, karena manusia menyadari keterbatasannya. (Al-Baqarah [2]:164)
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal." (Ali 'Imran [3]:190)
Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang bahtera yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengannya Dia menghidupkan bumi setelah mati (kering), dan Dia menebarkan di dalamnya semua jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang mengerti.
"Tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan?" "Bagaimana langit ditinggikan?" "Bagaimana gunung-gunung ditegakkan? "Bagaimana pula bumi dihamparkan?" (Al-Ghasyiyah [88]:17-20)
"Hendaklah manusia memperhatikan dari apa dia diciptakan." "Dia diciptakan dari air (mani) yang memancar," "yang keluar dari antara tulang sulbi (punggung) dan tulang dada." At-Thariq [86]:5-7.
4. Kenapa Butuh Rasul/Utusan?
Para Rasul diutus untuk menyampaikan hukum-hukum Allah kepada manusia. Sebagai makhluk yang terbatas, manusia tidak dapat menciptakan aturan yang sempurna untuk mengatur hidupnya dan beribadah kepada Penciptanya. Oleh karena itu, hukum-hukum yang datang dari Allah melalui para Rasul menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan. Seperti Al-Quran, bukanlah karangan manusia, termasuk bukan karangan Nabi Muhammad SAW. Tantangan Al-Quran yang meminta manusia untuk membuat yang serupa dengan ayat-ayatnya membuktikan bahwa kitab ini berasal dari Allah. Nabi Muhammad SAW membawa Al-Quran sebagai mukjizat terbesar, dan ini menjadi bukti kenabian beliau.
Bahkan, apakah mereka mengatakan, "Dia (Nabi Muhammad) telah membuat-buat (Al-Qur'an) itu." Katakanlah, "(Kalau demikian,) datangkanlah sepuluh surah semisal dengannya (Al-Qur'an) yang dibuat-buat dan ajaklah siapa saja yang kamu sanggup (mengundangnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar." (Hud [11]:13)
Apakah pantas mereka mengatakan dia (Muhammad) yang telah membuat-buatnya? Katakanlah, "Buatlah sebuah surah yang semisal dengan surah (Al-Qur'an), dan ajaklah siapa saja di antara kamu orang yang mampu (membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar." (Yunus [10]:38.)
5. Kesadaran Akhirat dan Penerimaan Total Terhadap Syariat Islam
Islam mengajarkan bahwa kehidupan di dunia harus dijalani sesuai dengan perintah Allah, karena setiap perbuatan manusia akan dihisab di akhirat. Iman kepada kehidupan setelah mati merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari akidah Islam. Ayat yang menjelaskan hal ini adalah An-Nisa [4]:136.
Iman kepada Allah harus disertai dengan penerimaan penuh terhadap syariat-Nya. Penolakan terhadap sebagian hukum syara', baik itu dalam ibadah, muamalah, atau hudud, merupakan bentuk kekufuran. Syariat Islam mencakup seluruh aspek kehidupan dan harus diterima secara menyeluruh.
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah, Rasul-Nya (Nabi Muhammad), Kitab (Al-Qur'an) yang diturunkan kepada Rasul-Nya, dan kitab yang Dia turunkan sebelumnya. Siapa yang kufur kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan hari Akhir sungguh dia telah tersesat sangat jauh. (An-Nisa [4]:136.)
Jika Kufur Kepada Ayat : "Laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku" maka sama saja kufur terhadap : Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Al-Baqarah [2]:275) atau ayat : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging hewan) yang disembelih bukan atas (nama) Allah (An-Nisa [4]:5)
Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (An-Nisa [4]:65)
Wallahu A'lamu Bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H