Mohon tunggu...
ahmad suhudi
ahmad suhudi Mohon Tunggu... -

..hanya lelaki biasa yang kadang berlaku tidak biasa,memikirkan hal yang tidak biasa,dan..hmh,tersenyum dengan cara yang tak biasa,alah :-)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ilusi Keyakinan

29 Agustus 2012   13:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:10 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Minggu lalu saya membeli buku yang  judulnya cukup memikat “The Invisible Gorilla”, dengan subjudul yang tak kalah ekspresif  : dan bagaimana intuisi telah menipu kita dengan berbagai cara.  Buku tersebut  merupakan karya keroyokan dua orang psikolog kognitif, Christopher Chabiris dan Daniel Simons, dimana didalamnya dijelaskan berbagai hal mengenai betapa kita dalam kehidupan sehari-hari telah terlena dan terperdaya oleh ilusi. Ilusi apakah yang dimaksud? Akh..saya tak minat menjelaskannya satu persatu, tapi yang pasti buku ini bolehlah untuk sekedar “membangunkan” kesadaran kita menyangkut cara kita melihat, mempersepsi sesuatu, mengambil kesimpulan lalu hidup dalam sebuah pengaruh yang kadang tak tersadari. Pengaruh yang kedua penulisnya sebut Ilusi.

Buku ini bukanlah buku yang luar biasa hebatnya, tapi ada beberapa poin yang membuatku jatuh cinta sekaligus respek pada kejujuran dan sikap tanpa tedeng aling-aling dari penulisnya membahas berbagai hal lumrah dalam hidup. Hal lumrah yang kadang kita temui tanpa tersadari bagaimana efeknya –juga bahayanya-, baik dalam segi pengambilan keputusan sebagai pengusaha, penentuan diagnosis seorang dokter, tindakan metodif seorang pelatih basket sampai keyakinan yang dianut seorang rakyat jelata. Buku ini mungkin bukanlah bacaan yang melegakan bahkan besar kemungkinan akan membuat resah para konsultan metode pengembangan diri, orang-orang yang percaya tentang “potensi” otak manusia, para pengembang dan praktisi hipnotis, para dokter yang percaya diri dengan ilmunya dan juga bagi para penganut serta simpatisan teori konspirasi.

Meski membahas mengenai masalah dalam ranah ilmu psikologi tapi syukurnya, buku ini lumayan nge-pop cara pembahasannya, dan dalam beberapa hal sangat nendang.  Rasa ter-tendang inilah yang mendorongku untuk kemudian menulis menyangkut salah satu dari enam jenis ilusi (menurut mereka) yang lumrah kita temui, Ilusi menyangkut apa yang bisa kita yakini, -ilusi keyakinan-.

Pernahkah anda bertanya, mengapa kira-kira pejabat kita bila sakit selalu lari mencari pengobatan keluar negeri, semisal singapore? Atau pertanyaan sederhana, mengapa sebagian besar dokter bila bicara dengan pasien begitu berani untuk langsung berkata : jangan khawatir, anda baik-baik saja, keluhan itu cuman karena anda –kecapean-  atau –beban pikiran-,.  Untuk pertanyaan pertama, jawabannya bila kita teliti menurut ilusi keyakinan versi penulis buku diatas, bukanlah karena skill para dokter di Indonesia yang begitu jeleknya sehingga pejabatnyapun (yang seharusnya dan memang harus lebih mencintai produk lokal)  tak percaya, atau karena peralatan medis dan pemeriksaan  penunjang  kesehatan dinegeri yang segitu tak bermutunya.  Alasan dibalik semua itu adalah suatu hal yang disebut Ilusi Keyakinan.  Ilusi yang dianut mulai dari presiden sampai tukang becak bahwa produk luar negeri selalu lebih baik dari dalam negeri, meski fakta yang ada tak menunjukkan hal tersebut. Kita baru boleh percaya bahwa ilmu menyangkut obat-mengobati yang dimiliki dokter kita lebih jelek dibanding dokter luar negeri bila ada hasil eksperimen yang menguji hal tersebut, eksperimen yang teruji secara valid dimana dokter-dokter tersebut duduk dalam satu ruangan mungkin, lalu dites mana yang lebih jago.

Faktanya, sadar tidak sadar kita lebih memilih untuk percaya bahwa dokter luar negeri lebih baik dari dokter sini meski tak ada bukti yang otentik ilmiah untuk itu. Alasan bahwa pelayanan petugas rumah sakit luar negeri lebih ramah dan manuasiawi dibanding dalam negeri juga tak lebih alasan yang dicari-cari.  Saya ragu akan hal itu, sebab mengingat mental orang kita yang sangat jago menjilat dan cari muka, manalah mungkin pejabat itu tidak mendapat perlakuan ramah dari dokter serta perawat rumah sakit. Meski memang sangat mengherankan bahwa kadar keramahan petugas kesehatan kita amat sangat rendah. Pengalaman pribadi mengantar istri check up ke dokter kandungan, mulai di gorontalo, makasar sampai cianjur..tak satupun perawatnya yang ramah, entah mengapa semua memasang model muka sama, datar, dingin,sedikit galak. Hehe.

Mengapa bisa begitu?. Boleh jadi kenangan bawah sadar sebagai bangsa yang terjajah ratusan tahun telah membentuk mental kita untuk senantiasa mengakui superioritas bangsa luar. Persepsi kita ketika melihat orang bule adalah “Cerdas, Modern, dan Keren”.  Tonton saja tivi, maka kalian akan melihat betapa lakunya orang bule yang tak fasih bahasa indonesia tapi jadi bintang film, bintang iklan, presenter.  Kita terpaku oleh oleh ilusi keyakinan bahwa orang bule tersebut “hebat” meski mereka berbuat idiot didepan tv, orang bule yang mungkin dinegeranya sendiri tak laku. Jadi jangan heran bila kemudian banyak orang kita yang begitu memaksakan diri berbicara seperti orang luar negeri hanya agar dianggap pintar. Masih tak percaya? Lihatlah bagaimana kita rela membuang uang untuk mendirikan patung presiden orang hanya karena presiden luar tersebut pernah tinggal disini, rela merusak dan membongkar tanaman langka demi membuat tempat singgah pesawat dari presiden orang luar. Beuhhh.

Trus pertanyaan kedua, mengapa rata-rata dokter indonesia begitu hebat dan yakinnya dalam menarik kesimpulan terhadap pasiennya? Ternyata itu juga tak lebih akibat ilusi keyakinan yang diidap oleh dokter tersebut.  Ilusi keyakinan yang terbentuk oleh “desakan” pasien yang senantiasa membutuhkan keyakinan untuk bisa tenang. Contoh kongkritnya begini, kira-kira anda sebagai pasien lebih suka yang mana antara dokter yang terlihat yakin menyangkut penyakit anda dibanding dokter yang ekspresi mukanya menunjukkan ekspresi bingung campur ragu lalu berkata “saya tak bisa menarik kesimpulan atas penyakit anda”?. Tentu saja yang pertama, sedang dokter yang kedua bisa jadi obat yang dia resepkan anda buang diselokan sambil bersungut-sungut.

Seratus persen anda yakin tak salah atas keputusan anda. Bahwa dokter yang percaya diri jauh lebih baik dari dokter yang tak percaya diri. Betul, jika dilihat dalam tujuan untuk menjaga agar pasien tak lari hingga praktek tak sepi, maka tampil percaya diri adalah syarat mutlak. Tapi dilihat dari segi “keuntungan” pasien, maka anda mesti hati-hati. Mengapa? Sebab dokter yang percaya diri belum tentu karena mereka memang tahu kondisi anda. Bisa jadi mereka memang punya kepribadian yang senantiasa percaya diri yang tak ada hubungannya atas keilmuan mereka, atau boleh jadi mereka telah terlatih untuk senantiasa terlihat yakin dan percaya diri meski mereka kebingungan atas kondisi anda.

Kita ambil contohnya berikut. Jika anda dan seorang presiden kebetulan berobat ke dokter yang sama, lalu kebetulan juga dengan keluhan yang sama persis, logikanya bahwa pemeriksaan, diagnosis lalu terapi yang anda terima pastinya sama bukan?. Tapi berani taruhan, yang terjadi dilapangan pasti jauh berbeda. Boleh jadi sang dokter dengan yakinnya mendiagnosis anda “common cold” tapi terhadap sang presiden maka sang dokter dengan tidak yakinnya berkata : “kita tunggu hasil pemeriksaan lab dan sebagainya untuk menentukan kondisi yang mulia baginda presiden”.  Perlakuan yang sama akan anda dapati bila anda berobat ke dokter umum, atapun spesialis lalu anda mengaku cucu dari dokter spesialias ini,yang kebetulan lagi seminar di luar negeri besok baru pulang. Boleh dicek apa obatnya sama bila anda mengaku sebagai anak yatim piatu datang berobat pake sendal jepit. Kondisi serta tuntutan yang berbeda akan menciptakan keyakinan diri yang berbeda.

Lalu apakah ini salah dokternya sendiri? Tentu tidak. Ini juga tak lepas dari pandangan umum yang kita anut. Pandangan yang dikaburkan oleh ilusi keyakinan bahwa seorang dokter adalah orang yang tahu semua segi menyangkut keilmuannya luar dalam. Kita lupa bahwa dokter juga manusia biasa dimana ada yang cerdas, ada yang bego dan lebih banyak lagi sok cerdas. Bahwa dokter juga bisa saja lupa, meski hukumnya sebenarnya tak boleh khilaf, bisa berkepribadian sangat percaya diri meski tolol tapi juga bisa penggugup dan peragu meski jenius nan ahli.

Dokter yang selalu percaya diri boleh jadi memiliki peluang memberikan anda resep yang salah dibanding dokter peragu yang memikirkan berbagai kemungkinan menyangkut penyakit anda. Namun berdoalah semoga anda tak terdampar ditempat praktek dokter peragu yang memang tidak tahu apa-apa.

Sinis? Boleh jadi. Menghujat teman sejawat? Tentu tidak. Saya menulis  ini lebih karena tersentil bahwa kadang kita terlampau mengganggap tinggi diri kita, begitu percaya diri tentang keilmuan lalu terilusikan secara permanen, bahwa yang terlihat percaya diri dan lugas bicaranya pastinya karena memang hebat ilmunya. Bahwa yang berbicara dengan bahasa (istilah) yang asing, terdengar tinggi dan cerdas, memang secerdas itu adanya.  Lalu menjustifikasi bahwa yang berbicara sepotong-potong, lebih banyak diam berarti mereka tersebut tolol dan bodoh. hmhh.

dan sampailah saya diakhir acara saya, semestinya saya memberikan anda satu nasehat positif..tapi sayangnya,saya tak punya. Bagaimana kalau saya memberikan anda dua nasehat negatif saja?Woddy Allen-, dikutip dari kata penutup buku Invisible Gorilla.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun