Mohon tunggu...
A.S. Nasution
A.S. Nasution Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

USU Faculty of Law

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

LGBT: Pantaskah?

18 Februari 2016   19:43 Diperbarui: 18 Februari 2016   20:42 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adanya isu atas pelegalan LGBT belakangan ini memberikan respon yang beragam dari masyarakat. Kita dikagetkan dengan sesuatu yang sebenarnya bukan hal baru, keberadaan mereka tak bisa dibantah telah tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat apalagi setelah alam demokrasi ini. Baru saja isu itu mencuat, muncul suatu artikel yang memuat hasil dari riset seorang ahli syaraf dari Harvard University yang membuktikan bahwa orang yang berperilaku LGBT memiliki struktur otak yang berbeda dari manusia normal pada umumnya. Bagaimana tanggapan kita sekarang? Kenyataannya sains telah membantahkan persfektif sosiologi sebagian besar dari masyarakat yang menentang keberadaan mereka. Saya sendiri berdebar mengetahuinya, bahkan tak sanggup untuk membayangkan ujung dari isu ini apakah akan gol di DPR nanti.

Rasanya wajar bagi bangsa yang mayoritas penduduknya religius melihat hal ini sebagai sesuatu yang mengerikan, apalagi jika sudah di hadapkan dengan sains. Artinya jika berpatokan dari artikel yang disebutkan diatas secara pasti hal itu bukan suatu kelainan tabiat, tetapi sudah menjadi pembawaan sejak lahir yang ditunjukkan dari struktur otak yang berbeda dari manusia pada umumnya. Dari sini pula persfektif kita digeser dari moral menuju sesuatu pembuktian secara ilmiah, yang memang tak bisa dipungkiri bahwa ada kalanya sains akan bertentangan dengan moral dalam suatu masyarakat.

Maka sudah seharusnya hal ini bukan dipertentangkan dengan moral, diadu-adu menjadi sesuatu yang berlawanan, akan tetapi seyogianya pendapat sains yang berbeda dari moral tersebut pada akhirnya disejajarkan dengan moral yang berkembang dalam masyarakat. Kita tak perlu bersusah payah membantah sains yang ilmiah tersebut, hanya saja dalam implementasinya tak boleh lepas dari kontrol moral yang dianut. Karena apabila kita menutup diri pada sains yang ada justru memberi langkah mundur, sudah tentu langkah mundur ini hanya akan memberi kemudaratan yang lebih besar yaitu keterbelakangan dan ketertinggalan dalam segala hal, yang berujung pada siap badan siap mental untuk jadi bulan-bulanan dari bangsa lain.

Keputusan selanjutnya ada pada DPR, apakah pada akhirnya akan melegalkan hak-hak LGBT dalam bentuk undang-undang yang akan mengikat setiap orang. Biarkan saja DPR atau masyarakat umum memberikan tanggapannya masing-masing. Yang jelas sebagai suatu pertimbangan sepanjang sejarah maupun kebudayaan serta agama-agama kepercayaan kita sejak zaman Hindu Budha sampai saat ini termasuk juga zaman kolonialisme dahulu tak satupun dijumpai suatu aturan ataupun hal-hal tersirat yang memberikan sinyalir legalitas atas perkawinan sesama jenis. Agama apapun itu dan budaya bangsa kita tak pernah mengenal yang dinamakan perkawinan sesama jenis. Semua itu murni budaya dari luar yang derajat etikanya sudah berbeda dengan derajat etika bangsa kita. Bahkan pada masa kolonialisme Belanda dengan hukum baratnya yang kita tahu sudah memiliki pradaban yang jauh lebih tinggi dari peradaban kita menyebutkan dalam pasal 27 KUHPerdata (BW) BAB IV Bagian 1 “Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja.” Jelas bahwa apa yang dikatakan dengan perkawinan hanyalah antara lelaki dengan perempuan, bukan antara lelaki dengan lelaki atau juga perempuan dengan perempuan. Jadi masih sesuaikah
 dengan asas kepatutan dan kepantasan ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun