Mohon tunggu...
Ahmad Subkhi
Ahmad Subkhi Mohon Tunggu... -

Taat terhadap qiyadah tidak harus taqlid

Selanjutnya

Tutup

Politik

Negarawan (ala) PKS; Babak Pertama

29 Mei 2016   10:19 Diperbarui: 29 Mei 2016   11:06 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“DPP PKS Siap Lawan Gugatan Fahri Hamzah.”[1] Kalimat tersebut terlontar dari Zainudin Paru selaku kuasa hukum PKS menghadapi gugatan perbuatan melawan hukum yang dilayangkan Fahri Hamzah kepada beberapa orang petinggi PKS. Ucapan yang lantang, namun tetap santun dan ksatria menurut saya. Bagaimana tidak, konflik yang terjadi antara Fahri Hamzah dengan beberapa pihak di PKS bergulir dari sekedar pergulatan wacana pro kontra di media massa serta media sosial bergeser ke ranah hukum.

Bagi saya ini adalah sebuah tontonan politik yang sangat elegan. Saya menyebut demikian karena memang dalam sejarah demokrasi dan pergulatan politik modern, konflik yang tidak bisa diselesaikan melalui mekanisme politik sejatinya hanya layak di selesaikan di ruang hukum yang menjunjung nilai-nilaikeadilan. Kesadaran ini sesaat menambah kekaguman saya kepada PKS karena dengan kesatria menanggapi upaya hukum Fahri Hamzah secara bermartabat. Selain itu karakter ini seakan membenarkan komitmen mereka terhadap Firman Tuhan dalam Surat Al Maidah: 8:

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Secara pribadi saya ingin menanti dan menikmati proses ini setiap tahapnya. Bukan karena senang melihat PKS berkonflik, namun ingin menguji apakah kesan PKS solid, rapi dan taat hukumtetap terpelihara manakala dilema menderanya. Babak pertama proses hukum dimulai, mediasi tak bersambut, agenda pengadilan punberalih kepada pengujian pokok perkara. Pada titik ini kemudian sebagian pihak terkejut. Hal tersebut disebabkan karena Hakim PN Jakarta Selatan membuat putusan provisi yang mengabulkan permohonan Fahri Hamzah untuk men-status quokan posisinya sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap. Sebagai orang yang sedikit memahami hukum, sungguh saya tidak terkejut. Putusan provisi adalah tindakan yang biasa dibuat oleh Hakim Pengadilan perdata yang bersifat sementara bahkan ekstrimnya dapat diajukan dengan permohonan lisan sekalipun. Saya tidak habis pikir, kenapa kuasa hukum PKS begitu rupa terkejut dan marah sambil mengatakan akan membawa kasus ini ke Komisi Yudisial dan meminta lembaga Negara tersebut mengawasi jalannya kasus ini serta akan mengajukan banding[2].

Sungguh pernyataan dari kuasa hukum PKS ini menggelikan dan maaf “kurang cerdas”. Mengapa partai yang diisi oleh kader yang berpendidikan menengah tinggi menyampaikan hal yang seakan “tidak mengerti” prosedur hukum. Saya kemudian bertanya dan mengira-ira kenapa bisa seorang kuasa hukum bertindak demikian. Padahal ada banyak argumentasi kenapa putusan tersebut bisa muncul dan seharusnya sedari awal terprediksi oleh kuasa hukum terlebih jika mereka biasa beracara di pengadilan. 

Pertama, putusan provisi bukanlah putusan pokok perkara yang dipergugatkan. Lalu mengapa belum-belum mereka mengatakan akan banding. Saya bergumam apakah mereka sedang “ngelindur” sehingga putusan provisi diajukan banding. Lalu apa substansi dan materi yang akan diajukan untuk banding? Saya gagal paham mendengarnya. 

Kedua, kuasa hukum PKS menyatakan akan melaporkan putusan provisi PN Jaksel inike Komsisi Yudisial (KY) dan meminta mereka mengawasi kasus ini. Tidak kah mereka membaca bagaimana seharusnya Komisi Yudisial bertugas sebagaimana termaktub di dalam Undang-Undang tentang Komisi Yudisial pasal 20A[3] yang menyatakan bahwa “dalam melaksanakan tugasnya Komisi Yudisial wajib menjaga kemandirian dan kebebasan Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara”.Sungguh saya tidak mau bersuudzhan, terlebih dengan partai yang saya kagumi. Namun naluri saya berontak dan berpikir apakah PKS justru bermaksud mempengaruhi Komisi Yudisial melalui perpanjangan tangan mereka di DPR?. Terlebih jika tidak salah, Tifatul Sembiring yang dikenal gemar mengomentari kasus ini pun juga tercatat sebagai anggota Komisi III yang salah satu mitra nya adalah Komisi Yudisial.

Ketiga, di dalam pengadilan terungkap bahwa kuasa hukum PKS pada saat sidang beberapa waktu lalu telah dijadwalkan oleh majelis hakim untuk memberikan jawaban atas gugatan Fahri Hamzah. Namun teramat sayang, pada kesempatan yang penting tersebut justru mereka menyatakan tidak siap dan meminta sidang ditunda, sungguh menggelikan. Padahal sejak gugatan diajukan hingga sidang menyangkut pokok perkara digelar, setidaknya ada jeda waktu lebih dari satu setengah bulan. Lalu pertanyaannya kemudian, kenapa pada saat yang telah dijadwalkan tersebut justru mereka tidak siap, apa saja yang dilakukan dan pikirkan?. Sungguh ini adalah hal yang amat mengecewakan. Dalam perspektif saya, sikap kuasa hukum PKS yang beropini “seakan-akan” ada kejanggalan terhadap putusan provisi yang diajukan oleh Fahri Hamzah tidak lebih dari upaya untuk menutupi kelemahan maupun kegagalan mereka dalam memberikan jawaban dihadapan majelis hakim PN Jakarta Selatan. Tindakan kuasa hukum PKS yang memindahkan pokok materi gugatan dari ruang pengadilan dengan bermain opini di media masa justru memperburuk citra PKS karena terkesan amatir dan menepuk air di dulang.

Pada saat tersebut sesungguhnya Saya masih berharap PKS menunjukan sikap yang dewasa dan matang sebagai partai Islam modern, namun sepertinya saya kembali salah. Tifatul Sembiring dengan serangkaian jabatan yang pernah disandangnya sebagai mantan Presiden PKS, mantan Menkominfo dan Anggota Komisi III DPR (bidang Hukum) justru menyatakan bahwa “bagi PKS posisi Fahri Hamzah di PKS telah sah dipecat”.[4] Tidak kah Ia sadar, bahwa Partai politik terlebih bila berkaitan dengan lembaga Negara bukanlah perusahaan keluarga yang bisa dengan leluasa melakukan perubahan dan penggantian direksi berdasarkan keinginan mereka semata. Tifatul mungkin lupa, bahwa Partai Politik adalah organisasi politik milik bangsa Indonesia yang terikat oleh Peraturan perundang-undangan dan logika publik. Tidak kah setiap prosesi pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah, hal yang mereka perebutkan adalah suara Warga Negara Indonesia bukan cuma suara kader mereka semata?. Kalaulah PKS enggan menghormati Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang menjadi dasar persengketaan ini padahal mereka juga terlibat dalam pembuatannya, lalu pada hal apa mereka akan menghormati hukum negara. Kekhawatiran dan kecurigaan saya kembali mengemuka jangan-jangan partai ini memang bermain peran ketika sedang tampil di publik namun bertindak layaknya Negara di dalam Negara. Pada titik ini pun saya masih berharap semoga saya salah.

Tepat pada saat pembukaan masa sidang DPR RI tanggal 17 Mei 2016 lalu, fungsionaris PKS kembali mempertontonkan perilaku politik yang inkonsisten. Interupsi Al Muzammil Yusuf yang juga menjabat sebagai Ketua bidang Polhukam DPP PKS terhadap keberadaan Fahri Hamzah di meja Pimpinan Dewan karena menganggapnya bertindak illegal,[5] justru menunjukkan sikap politik yang sangat kekanak-kanakan. Tidakah ia sadar bahwa Hukum administrasi Negara masih mencatat Fahri Hamzah sebagai pimpinan DPR, sampai ada putusan hukum yang menyatakan sebaliknya?. Kenapa mereka tidak fokus saja pada proses di pengadilan ketimbang bermain opini di media? yang justru makin menunjukan ‘permainan politik amatiran’. Mungkinkah mereka sengaja memainkan opini sebagai justifikasi bilamana kalah di pengadilan, atau bahkan sesungguhnya mereka juga tidak yakin dengan argumentasi hukum pemecatan Fahri Hamzah? Betapa malunya PKS jika sampai hal tersebut benar.

Justru pada titik ini saya memberikan apresiasi kepada Fahri Hamzah. Beberapa waktu lalu, ketika DPP PKS mengumumkan penggantian dirinya dengan Ledia Hanifa sebagai pimpinan DPR, ia justru memujinya. Dalam pernyataan tegasnya, disebutkan bahwa Ledia Hanifa adalah Kader terbaik PKS, Senior yang mumpuni.[6] Tentu saya tidak tahu persis apa maksud dibalik pujian dan suasana hati seorang Fahri Hamzah. Namun hari ini, sikap kenegarawanan seorang Fahri Hamzah maupun Petinggi PKS sedang diuji dan publik lah yang menjadi jurinya. Petinggi PKS mungkin mengira dapat membekukan logika kader dengan serangkaian taklimat dan dogma. Namun akal dan nurani manusia tentu akan mencairkan itu semua. Terlebih bilamana fakta dan data satu persatu terungkap di pengadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun