Mengupas Makna Toleransi Antarumat Beragama di Bulan Ramadhan

Setiap tahunnya, umat muslim selalu merayakan bulan Ramadan dengan berpuasa selama sebulan penuh. Dalam ajaran umat muslim, berpuasa berarti menahan diri dari makan, minum, serta segala hal yang dapat membatalkan puasa. Puasa dilakukan sejak terbit matahari (bakda subuh), hingga matahari terbenam (bakda magrib). Di bulan ini, umat muslim diajarkan untuk beribadah segiat mungkin agar mendapatkan pahala.

Di bulan Ramadan, toleransi antarumat beragama sangat penting, salah satunya untuk menghargai umat muslim. Bentuk toleransinya berupa tidak makan atau minum di tempat umum. Namun, seringkali momentum ini disalahartikan oleh sebagian kelompok berdalih “menghargai yang berpuasa”. Seperti pelarangan membuka warung di siang hari, dan pembubaran tempat-tempat hiburan malam.

Fanatisme, kondisi di mana seseorang menunjukkan antusiame berlebihan dan sukar menerima perbedaan. Tindakan merazia rumah makan karena buka di siang hari termasuk ke dalam sikap fanatisme. 

Selain toleransi kepada umat yang berpuasa, umat yang tidak berkewajiban menjalankan puasa pun perlu ditoleransi. Fanatisme tersebut dapat membatasi aktivitas pekerjaan jual beli, dan berusaha. Bahkan termasuk diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia.

Toleransi perlu diperhatikan semua pihak sebagai bentuk saling menghormati. Bagi yang tidak berpuasa, diharapkan bisa menghargai yang sedang menjalankan ibadah puasa. Pun sebaliknya, bagi yang berpuasa diharapkan bisa menghormati yang tidak berpuasa dengan tidak membatasi aktivitas sosial maupun keagamannya.

Dengan percepatan teknologi, di mana media sosial menjadi ruang utama aktivitas digital, diharapkan toleransi tetap diterapkan di sana. Meskipun begitu, memposting makanan maupun hal lain yang dapat menggoda umat muslim untuk batal puasa tidaklah haram. Hal tersebut termasuk ke dalam hak pribadi sebagai pengguna media sosial. Karena sesungguhnya, di saat itulah keimanan umat muslim diuji.