Tahun 2010, saya mendengar ada rombongan dari Indonesia melakukan ziarah ke Karbala, Irak. Kabar tersebut mengingatkan saya pada tragedi yang menimpa cucu Rasulullah saw yakni Al-Husain putra Sayyidah Fathimah binti Rasulullah saw dan Sayyidina Ali bin Abu Thalib. Peristiwa tragis ini disebut asyura.
Kemudian saya membaca buku dan artikel tentang asyura. Tragis dan menyedihkan. Cucu Rasulullah saw dan keluarganya digiring, tidak dapat akses air dan makanan, diperlakukan semena-mena, dan dibunuh dengan keji. Peristiwa ini terjadi pada 10 Muharram 61 H. di Karbala, Iraq. Tindakan keji yang menimpa Ahlulbait (keluarga Rasulullah SAW) itu dilakukan atas perintah Yazid bin Muawiyah, penguasa dinasti Umayyah di Suriah. Di Karbala, Al-Husain bersama rombongan yang gugur dikebumikan dan kini menjadi tempat ziarah yang banyak dikunjungi kaum Muslim, khususnya pada bulan Muharram dan Shafar. Â
Sejak membaca dan mempelajari sejarah (nasib) Ahlulbait Rasulullah SAW, saya punya keinginan untuk ziarah. Lama terpendam. Meski belum tercapai, saya senantiasa menitipkan salam dan doa saat ada kawan yang berangkat ziarah. Setidaknya mengabarkan bahwa ada orang Sunda di Indonesia yang ingin menziarahinya.
Dalam pengajian, saya dengar ada riwayat bahwa jika belum mampu ziarah ke Imam maka ziarah pada ulama yang mencintai Imam. Di Bandung ada sosok ulama pecinta Ahlulbait dan sangat tampak kecintaannya hingga mendirikan organisasi Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI). Ya, beliau dikenal dengan sapaan Kang Jalal. Mari hantarkan Alfatihah untuk beliau, para gurunya, serta keluarga dan pengikutnya.
Momentum arbain tahun 2022 dan 2023 bersama kawan IJABI melakukan nikreuh (jalan kaki) dari Muthahhari (Kiaracondong Kota Bandung) ke Mazar (makam) Allahyarham Jalaluddin Rakhmat (Rancaekek, Kabupaten Bandung). Jarak tempuh sekira 26 km. Dua kali melakukannya pada momentum arbain (20 Shafar). Saat nikreuh itu saya berdoa bahwa "semoga berlanjut sampai ke Imam" sambil membaca shalawat. Syukur kepada Allah, tahun 2024 bisa ziarah atas biaya seorang kawan yang juga cinta kepada Ahlulbait. Taqobbalallohu a'malakum bi ahsani qabuul. Allahumma Shalli 'ala Sayyidina Muhammad wa 'ala Aali Sayyidina Muhammad.
Ceritanya dari sini. Dari Jakarta terbang melintasi negeri ke negeri dan kota demi kota. Ziarah arbain diawali dari waliyullah hingga Amirul Mukminin pintu ilmu Rasulullah SAW.
Sekira Jumat pagi memasuki negeri para mullah, Republik Islam Iran. Kunjungan pertama yakni pusara Imam Khumaini berlokasi tidak jauh dari bandara internasional IKA (Imam Khomeini Airport). Haram Imam Khumaini mempunyai area yang luas. Ornamen dinding, pintu, dan langit-langit tampak indah dan gemerlap dengan warna biru, putih, hitam. Semuanya satu kesatuan menampilkan arsitektur yang indah. Bangunan mewah dan tinggi menambah sejuk dan syahdu suasana haram Imam Khumaini.
Memasuki haram ada tata tertib. Memasuki pintu untuk pemeriksaan. Memasuki area makam Imam Khumaini. Sejuk dan luas areanya. Masih dengan ornamen dinding khas Persia yang indah dan sedap dipandang mata. Makamnya dikelilingi dinding besi dan dihiasi lampu warna hijau. Berdekatan dengan makam Imam Khumaini terdapat makam keluarga dan ulama lainnya. Orang yang ziarah mendekat pada dindingnya. Berdoa dan melakukan shalat ziarah.
Saya mendekat pada makamnya. Dalam hati mengucapkan terima kasih atas ilmu yang terkandung pada buku-bukunya yang pernah saya baca. Saya sampaikan kekaguman kepada Imam Khumaini yang mampu mengirim surat kepada tokoh Unisoviet, Mikhail Gorbachev, agar membaca karya filsuf Mulla Shadra, Suhrawardi Al-Maqtul, dan lainnya. Imam Khumaini menyampaikan pemikiran (filsafat) yang didasari spiritualisme lebih kokoh dan berdampak positif di masyarakat daripada pemikiran yang berbasis pada materialisme. Dengan kata lain, Imam Khumaini ingin menunjukkan betapa kokoh pemikiran Islam dibanding pemikiran materialisme yang dianut tokoh-tokoh sosialisme dan komunisme. Juga saya sampaikan betapa hebat Imam Khumaini membangun negeri Iran, hingga lepas dari cengkeraman Amerika dan sekutunya. Dalam hati, penuh harap ada berkah dari Imam Khumaini yang menyelimuti perjalanan arbain menuju Karbala dan Najaf, Irak.
Dari makam Imam Khumaini bergerak menuju makam ibunda Imam Ali Zainal Abidin yang juga istri Al-Husain, yakni Sahar Banu, putri seorang raja Persia. Berlokasi cukup jauh dari Teheran. Berlokasi di pegunungan batu. Kering dan panas. Tangga untuk naik pun jauh dan menanjak. Di area makam, orang-orang berjubel. Bergantian memasuki area dinding besi. Ada yang shalat. Ada yang memegang jeruji besi dan menciumnya. Ada yang mengangkat tangan dengan melafalkan doa-doa. Suasana penuh haru di area makam. Sama dengan di Indonesia, area makam para wali senantiasa ada uang berhamburan, juga pada makam Imam Khumaini dan Sahar Banu. Hal yang sama juga tampak pada makam-makam para Imam Ahlulbait as.
Bergerak lagi ke makam ulama ternama bernama Abdul Azeem Hasani, Imam Zadeh Hamzah, Imam Zadeh Tahir, dan lainnya. Semuanya satu kompleks. Karena hari itu Jumat, tadinya sempat akan ikut menyimak khutbah dan shalat jumat. Satu di antara kawan perjalanan mengingatkan untuk tidak ikut serta karena waktunya lebih dari dua jam. Lagian posisi kami sedang safar sehingga tak ada kewajiban ikut shalat jumat dan shalat harian pun qashar.
Perjalanan berikutnya ke Masjid Jamkaran. Konon, masjid ini dibangun atas perintah Imam Zaman (Al-Mahdi Al-Muntazhar). Arsitektur khas Iran: bangunan tinggi, area lapang terbuka luas, aneka ruangan untuk aktivitas tersedia, dan ornamen cantik dengan warna biru putih dan garis kuning emas. Tiap kali lihat bangunan indah di Iran, saya terpesona dengan keindahan karya seni khas Persia. Di Jamkaran ini kami shalat tahiyatul masjid. Membaca tasbih dan doa.
Karena bertepatan dengan HUT RI, maka di luar masjid Jamkaran bersama rombongan kami menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan penuh syahdu. Â (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H