Awal menyukai burung sejak sekolah dasar berlanjut sekolah menengah pertama. Saat itu saya tinggal di Kota Bandung. Burung  perdana dipelihara yaitu kerak, yang popular dengan nama jalak kebo. Burungnya diberi oleh kakak. Saya pelihara sampai gacor. Sekira lima bulan dalam keadaan gacor dijual lagi oleh kaka. Kemudian beli burung puyuh dan puter. Dipelihara sekira satu tahun sampai beranak pinak. Setelah bosan dijual dan beli lagi burung merpati. Dirawat sampai beranak pinak.Â
Saat pelihara burung merpati sempat ikut lomba dan pernah juara. Karena sulit diatur dalam urusan buang kotoran sampai berjatuhan pada jemuran maka kaka perempuan dan ibu meminta agar burung dijual, bahkan ada yang dipotong. Saya pun mengikutinya. Selanjutnya beli burung kutilang (cangkurileung) dan ayam satu pasang, yang kemudian beranak pinak.
Seiring dengan masuk kuliah, burung dan ayam tersebut dijual. Maklum tidak ada yang mau mengurusnya. Lulus kuliah, saya tertarik lagi memelihara burung puter. Beli satu pasang. Beranak pinak. Pasca ayah wafat, kami pindah tempat tinggal. Burung puter sekira sepuluh ekor pun dibawa hijrah ke kawasan Kabupaten Bandung.Â
Saat itu saya mulai kerja di institusi dakwah di kawasan Gegerkalong (Ledeng). Saya kerja dari pagi sampai sore dan pulang ke rumah malam, sehingga burung puter tidak terawat dan tikus menyerangnya. Ada sekira lima ekor burung puter yang mati. Sisanya dilepas bebas. Sejak itu saya tidak lagi memelihara burung. Tepatnya tahun 2006 saya tidak punya burung yang dipelihara.Â
Kemudian pada tahun 2020, merupakan masa sebaran covid berjangkit di Indonesia. Masyarakat lebih banyak di rumah dan pekerjaan dilakukan dengan cara online.
Sambil menikmati suasana di rumah, saya tertarik memelihara ikan hias. Membeli ikan hias di Muara, Tegallega Kota Bandung. Ikan hias yang dipelihara yaitu zebra, koridoras, keong mini, guppy, sepat, dan lainnya. Dipelihara menggunakan aquascape dan tiap hari dirawat. Ini menjadi kegiatan rutin selain mengajar secara online.
Masih suasana covid juga, saya tertarik lagi memelihara burung. Saya dapat gratis burung lovebird dari kaka ipar. Saya juga membeli burung kutilang. Lovebird beranak pinak dan dibagikan anak burungnya kepada orang yang ingin memeliharanya. Burung kutilang dilepas karena sekira tiga bulan tidak gacor. Kemudian berjelajah lagi pada burung lainnya seperti kemade, anis biru, anis bintang, ciu kunyit, sikatan bubik, cikrak kutub, sogon, opior, flamboyan, mugimaki, ciblek, glatik, pleci, trucukan, mantenan, kenari, toed kembang, berencet gunung, dan SRDC (sikatan rimba dada coklat).
Burung SRDC ini, dalam memeliharanya butuh kesabaran luar biasa. Burung ini dikenal susah bunyi. Apalagi untuk burung yang masih muda dan hasil tangkapan di hutan maka butuh proses panjang ketika dipelihara. Ada yang satu tahun dirawat baru kemudian bunyi. Ada yang baru dua bulan pelihara dan tidak bunyi langsung jual burung. Meski ada yang kecewa memelihara burung SRDC, namun kalau sudah gacor maka suaranya variatif dan merdu. Menariknya burung SRDC bisa menirukan suara burung lainnya. Untuk burung yang gacor dan isian maka harga jualnya menjadi fantastis.
SRDC asal Bali paling banyak diminati. Di habitat aslinya termasuk burung yang suka dalam suasana sejuk dan dingin. SRDC jantan dan betina bisa bunyi, tetapi jantan lebih variatif dan kencang.Â
Di Sukabumi, Jawa Barat, sudah ada yang berhasil ternak SRDC. Saya juga tertarik untuk ternak hanya tempat yang tidak memadai.
Mengenai pelihara burung, saya belajar dari youtube. Di rumah ada tiga ekor. Dua ekor SRDC dibeli dari kios burung di Soreang yang masih bahan alias grabagan dan belum makan voer. Satu ekor lagi hasil tukar dengan anis bintang dan mantenan. Ini juga belum bunyi. Ketiganya dipelihara bersamaan dengan lovebird.
Dalam urusan memelihara burung, saya mengikuti petunjuk dari ketua SRDC Mania Bandung Raya. Komunitas ini ada di facebook sehingga mudah diakses. Saya lakukan sarannya mulai dari full krodong, mandi sampai basah pagi dan malam, jemur sejajar dengan kaki, gantang terbuka di rumah, dan full extrafooding. Tidak lupa masteran.
Hasilnya sampai empat bulan ini, burung SRDC hanya ngeriwik dan bunyi sesekali pada waktu subuh dan sore. Tadinya mau dijual lagi, tetapi setelah dipertimbangkan bahwa burung tersebut menjadi tantangan bagi saya. Setidaknya belajar sabar menunggu hadirnya kicauan. Hingga kini, meski belum bisa disebut gacor, burung SRDC di rumah mulai keluar suaranya. Yakni tiap kumandang adzan, saat motor nyala, dan saat hujan turun. Anehnya ketika dipancing suara SRDC dan burung kicau lainnya dari youtube tidak mau keluar suara. Ini misteri dari burung SRDC.Â
Kalau melihat burung SRDC yang dirawat kawan-kawan di Bali ternyata banyak yang berhasil dan sukses sampai gacor. Bahkan, Â harga burung tersebut di lapangan tempat lomba kicauan ada yang capai harga jutaan. Di Bandung untuk harga burung SRDC bahan (yang belum bunyi) hanya sekira seratus enam puluh lima ribu rupiah. Tentu kalau gacor maka harga jualnya luarbiasa.Â
Saya lihat di facebook dan youtube, para pecinta burung di Bandung mulai tertarik dengan burung SRDC. Ada yang berhasil. Ada yang berkeluh kesah. Yang berhasil gacor biasanya ikut gelar lomba. Tidak hanya di Bali dan Bandung, juga Jakarta dan Bogor kemudian Garut mulai ada peminatnya. Cek saja grup burung SRDC di facebook. Ini menjadi bukti burung SRDC mulai diminati para pecinta burung.
Meski belum berhasil, saya masih tetap memelihara burung SRDC dengan petunjuk dari youtube dan suhu dari komunitas SRDC Mania Bandung Raya.Â
Sekadar informasi bahwa saya masih penasaran dengan burung SRDC ini. Ingin berhasil sampai gacor siang dan malam. Demikian ceritanya. Silakan berbagi jika punya pengalaman tentang burung SRDC. Hatur nuhun! *** (ahmad sahidin)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H