Mohon tunggu...
Ahmad Sahidin
Ahmad Sahidin Mohon Tunggu... Lainnya - Freelancer

Alumni UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jalan Ruhani Sang Nabi

16 Juni 2022   09:48 Diperbarui: 16 Juni 2022   09:59 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejarah mengisahkan bahwa Sang Nabi Muhammad Rasulullah saw untuk dapat mengubah masyarakat Arab harus menempuh waktu 23 tahun (13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah).

Selama itu pula muncul berbagai tantangan dan hambatan dialami kemudian dihadapi sembari tetap berpegang pada tali Allah. Hasilnya dari waktu 23 tahun itu Islam dan ajaran Rasulullah saw terus hadir kemudian masuk ke berbagai pelosok dunia. Hasil yang luar biasa yang dilakukan Rasulullah saw pastinya ada proses pendahuluan sebelum masuk pada upaya-upaya mencerahkan dan mengubahnya sehingga berhasil terwujud.

Apa yang dilakukan sosok Nabi Muhammad saw sebelum menjadi Rasul Allah? Sejarah mengisahkan dia hidup dalam kondisi yatim dan piatu. Keadaan tanpa sandaran orang lain (orangtua) ini sebetulnya mengondisikan Sayid Muhammad agar menjadi manusia mandiri dan mampu melangkah hidup dengan hati dan pikiran yang jernih. Kemudian berinteraksi dengan orang lain dan hidup bersama keluarga besar dengan masalah-masalah yang kompleks, tentu ini mengondisikan jiwa dan kepekaan sosialnya yang kelak akan berfungsi dalam mengarahkan masyarakat.

Sayid Muhammad belajar dari sang bunda yang membawanya berziarah kepada makam ayahnya. Darinya Sayid Muhammad belajar untuk menghubungkan dirinya dengan asal-usul dirinya dan keluarganya, mengingat sejarah, dan betapa pentingnya peran masa lalu dalam memberi petunjuk bagi manusia selanjutnya.   

Sama dengan para Nabi sebelumnya, Sayid Muhammad mengembala hewan ternak yang secara tidak sadar merupakan penyiapan untuk mengendalikan gembalaan yang lebih besar: umat Islam.

Kemudian dari masa asuhan sang kakek, Sayid Muhammad belajar menjadi manusia yang tegas dan bagaimana memimpin masyarakat. Sang kakek dikenal sebagai pemimpin dan dihormati orang Makkah. Sang kakek juga memberikan pelajaran berharga betap berharganya memiliki cinta terhadap sesama umat manusia dan mengajari untuk mahir dalam memilih atau menentukan jatuhnya amanah (pengurusan Ka'bah dan cucunya: Sayid Muhammad).

Lalu dari sang paman, Sayid Muhammad belajar mengendalikan hidup, menghadapi masalah yang berkaitan dengan lingkungan dan musuhnya, tetap teguh dalam jalan yang benar, dan berkorban walau nyawa menjadi taruhan. Juga dari sang istri: Khadijah binti Khuwailid, belajar arti cinta dan pengorbanan harta benda serta pembelaan yang didasarkan cinta dan kebenaran (agama) yang diyakininya.

Ketika bersama sang istri ini pula Sayid Muhammad meluangkan waktu untuk tafakur, memikirkan masalah yang melingkupi masyarakat dan berupaya mencari solusinya. Kemudian supaya fokus dalam mencari solusi dicari tempat tersendiri. Gua Hira yang kemudian dipilih Sayid Muhammad. Sembari menjalani masa khalwat: perenungan untuk mendapatkan pencerahan, tidak lupa juga untuk melakukan aktivitas keseharian (ibadah, bisnis, makan, minum, dan bercengkrama dengan keluarga). Jelas tidak seluruh waktunya dihabiskan dengan khalwat, tetap diatur sedemikian rupa diseuaikan dengan kebutuhan dan kewajibannya.

Usai pemenuhan kewajiban, kembali tafakur dan puncaknya pada usia 40 tahun: Allah menurunkan wahyu. Masa ini disebut bi'tsah, kebangkitan (menjadi Sang Nabi). Sang Nabi mendapat tugas Ilahi untuk menyebarkan risalah (Islam) sebagai panduan yang akan menyelamatkan hidup umat manusia di dunia dan akhirat. Wahyu demi wahyu kemudian turun: mencerahkan Sang Nabi, keluarga, dan masyarakat.

Di tengah perjalanan menyebarkan risalah Ilahi, Sang Nabi diundang ke hadirat-Nya: isra mi'raj. Kemudian dikuatkan dengan hikmah-hikmah selama menempuhnya. Lagi-lagi pencerahan Ilahi mengalir. Masa inilah Sang Nabi masuk fana fillah. Dari kondisi ini Sang Nabi sadar masih memiliki tugas yang belum tuntas. Sang Nabi kembali untuk mencerahkan keluarga, sahabat, dan masyarakat.

Bertemu dengan Allah dalam peristiwa isra mi'raj dapat disebut bagian dari ma'rifatullah dan kebersatuan dengan Allah (fanafillah), yang oleh para sufi dicita-citakan terjadinya. Mereka menganggap yang demikian merupakan tahapan akhir dari perjalanan ruhaniah.

Begi juga tentang menyendiri dari keramaian dan merenungkan masalah-masalah yang terdapat di sekitar Makkah yang gemar berbuat keburukan dan tindakan amoral kemudian memilih Gua Hira sebagai tempat semedi, disebut bagian dari praktik sufistik Rasulullah saw.

Dari rangkaian perjalanan ruhani Sang Nabi, yang membedakannya dengan para sufi adalah Sang Nabi tidak lupa dengan misinya untuk mencerahkan umat manusia. Kalau seorang sufi biasanya enggan untuk melakukannya. Ia lebih senang untuk terus berada dalam kondisi ruhaniah dan menikmatinya sendirian. Tidak jarang ia kena serangan dan hujatan dari ulama dan umat Islam yang tidak paham dengan jalan ruhani yang dialami seorang sufi.

Sejarah mengisahkan bahwa Sang Nabi bergerak, berpindah tempat, dan menyiapkan segalanya kemudian sampai pada misi utamanya. Sang Nabi mengajak masyarakat Arab untuk memeluk agama Islam dengan pendekatan akhlak dan hikmah. Dengan pendekatan itu sekira delapan puluh orang Makkah dan ribuan orang-orang Madinah meyakini Allah sebagai sumber kebenaran dan hidup berdasarkan aturan-Nya.

Menjelang akhir masa tugas, Sang Nabi diperintahkan untuk mengamanatkan ilmu dan risalah yang dibawanya kepada seseorang yang paling berilmu yang dijuluki sang pintu ilmu: Sayidina Ali bin Abi Thalib. Dalam hadits yang populer Rasulullah saw bersabda, "Aku adalah kota ilmu; dan Ali adalah pintunya. Barang siapa yang ingin memasukinya harus melalui pintunya."

Sayidina Ali pun terus berada dalam suasana spiritual. Beliau mengikuti jejak gurunya (Sang Nabi) yang membimbing orang-orang terpilih dari Ahlulbait, sahabat, dan dari orang-orang terpilih lahir para ulama dan waliyullah mendapatkan ilmu dan hikmah yang bermakna dalam menempuh jalan ruhani menuju Allah.

Makna dari kisah perjalanan Rasulullah saw bahwa selesai mendapatkan pencerahan harus kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat dengan menyebarkan pencerahan kemudian membantu mereka agar menjadi lebih baik. 

Demikian itu yang saya ketahui. Jika ada temuan hasil riset terkait dengan sejarah Nabi Muhammad Saw dan kiprahnya dalam upaya membangun masyarakat, saya minat membacanya. Ditunggu kabarnya! Hatur nuhun. *** (ahmad sahidin)    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun