Mohon tunggu...
Ahmad Sahidin
Ahmad Sahidin Mohon Tunggu... Lainnya - Freelancer

Alumni UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Syair dalam Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam

11 November 2020   10:36 Diperbarui: 11 November 2020   10:46 875
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertengahan tahun 2015, saya beli buku Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam. Buku terjemahan yang diterbitkan Darul Falah Jakarta. Bukunya dua jilid. Masing-masing buku sekira tujuh ratusan halaman.

Dahulu saat mengikuti kuliah Historiografi Islam dan kuliah Sirah Nabawiyah di UIN Bandung, buku Ibnu Hisyam tersebut saya baca cepat alias skimming saja. Sambil membandingkan dengan versi Arab dan English. Dan kini masa social distancing, saya coba tuntaskan bacanya untuk jilid satu yang tebalnya 272 halaman. Alhamdulillah tuntas selama tiga pekan.

Buku jilid satu Ibnu Hisyam ini dimulai dari silsilah Nabi Muhammad Saw sampai Nabi Adam as dan periode Arab sebelum Rasulullah Saw lahir sampai Perang Badar, yang masuk fase periode Madinah.

Dari sistematika narasi bersifat kronologis dan didasarkan pada riwayat-riwayat. Sudah mafhum bahwa Ibnu Hisyam ini melanjutkan Ibnu Ishaq dalam kitabnya. Hampir seluruh narasi berasal dari Ibnu Ishaq dan bisa dikatakan Ibnu Hisyam hanya meringkaskan dengan membuang narasi-narasi historis yang tidak relevan. Sehingga oleh Dr Husein Munis disebut "memperkosa" karya Ibnu Ishaq. Bisa dibaca dalam buku Dirasat fi Al-Sirah Al-Nabawiyah, yang diterbitkan Al-Zahro li al-I'lam al-Arabi tahun 1988 di Cairo, Mesir.

Menurut Munis bahwa Ibnu Hisyam dengan sirah-nya dinilai telah ada kepentingan dalam kitabnya sehingga karya Ibnu Ishaq pun "diperkosa" dan diubah menjadi karya Ibnu Hisyam. Beruntung ada manuskrip Ibnu Ishaq sehingga diketahui bagian mana saja yang dipenggal dan diperkecil riwayat-riwayat terkait dengan kehidupan Rasulullah Saw dan umat Islam periode awal di Makkah dan Madinah.

Untuk riset sejarah awal umat Islam, Munis menyarankan tidak memakai kitab Ibnu Hisyam. Tetapi cukup merujuk pada karya Al-Waqidi, Ibnu Sa'ad, Ibnu Ishaq, dan Thabari.

Terkait dengan buku Ibnu Hisyam, terjemahan Sirah Nabawiyah yang saya baca memang tidak terlihat beda dengan kitab Sirat Rasul Ibnu Ishaq edisi English yang diterjemahkan Guillaume dari bahasa Arab. Edisi terjemahan Ibnu Hisyam memang ada yang hilang, terutama narasi ajakan Rasulullah Saw kepada keluarga Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib agar masuk  Islam dalam momentum jamuan makan bersama.

Narasi detil seruan dan dijadikannya Ali bin Abu Thalib sebagai wazir, washiy, dan wakilnya tidak muncul dalam buku terjemahan Ibnu Hisyam. Dalam edisi English karya Ibnu Ishaq tercantum.

Narasi sejarah buku jilid satu Ibnu Hisyam tidak fokus pada kehidupan Rasulullah Saw, tetapi terkait juga dengan kehidupan umat Islam periode awal di Makkah sampai hijrah ke Madinah dan perang Badar. Ibnu Hisyam memang detil dari nama-nama sahabat, musuh, dan interaksi sahabat dengan orang kafir serta orang-orang Nasrani dan Yahudi.

Dimensi personalitas Rasulullah Saw tidak detil dan tidak muncul, utamanya dalam sikap karakter mulia (akhlak) yang layak dijadikan teladan bagi orang-orang Islam.

Ada yang khas dalam kitab Sirah Nabawiyah yang ditulis sejarawan Muslim klasik. Yakni masih mencantumkan syair-syair dan narasi di luar sejarah Nabi Muhammad Saw. Tidak berbentuk narasi sejarah yang bercirikan uraian meliputi riwayat-riwayat, tetapi syair yang merupakan masuk kategori sastra pun masuk dalam tadwin tarikh (penulisan sejarah) masa klasik.

Saya lihat dalam buku terjemahan Ibnu Hisyam, banyak syair (sajak) yang ditulis orang-orang Islam maupun kafir. Syair-syair yang tercantum bersifat ratapan, kesedihan, kebanggaan atas kabilah, dan peperangan serta pujian.

Misalnya tentang perang Badar saja hampir dari kedua pihak yang berperang, Muslim dan kafir, saling berbalas syair. Rata-rata panjang syair yang disajikan dan isinya membanggakan kepahlawanan dari masing-masing pasukan yang gugur.

Di antara mereka yang menggubah syair dari Muslim dan kafir yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib, Harits bin Hisyam, 'Ali bin Abu Thalib, Dhirar bin Khaththab, Kaab bin Malik, Ibnu Az-Ziba'ra, Hasan bin Tsabit, Ubaidah bin Harits, Thalib bin Abu Thalib, Abu Bakar bin Aswad, Umaiyyah bin Abu Shalt, Muawiyah bin Zuhair, Hindun bin Utbah, Shafiyyah binti Musafir, Hindun binti Utsatsah, Qutailah binti Harits dan lainnya.

Masih dari Ibnu Hisyam bahwa paman Nabi Muhammad Saw yang membelanya di Makkah, yaitu Abu Thalib bin Abdul Muthalib, pun banyak menggubah syair-syair yang berkaitan dengan sikap benci kaum Quraisy dan upaya ia melindungi keponakannya.

Meski ditentang kaum bangsawan Makkah, ia tetap bertahan dan membela Sang Nabi. Diboikot pun tak gentar. Dijalaninya bersama Bani Abdul Muthalib di sebuah lembah bernama Syiib Abu Thalib. Selama tiga tahun dijalaninya bersama Rasulullah Saw beserta istrinya.

Tampaknya, orang Arab di Makkah dan Madinah serta daerah sekitarnya, sudah menjadi tradisi dalam menyatakan pendapat atau komentar maupun dukungan dan celaan dalam bentuk syair. Meski tradisi menulis tak berkembang, tetapi dengan lisan berupa syair, maka informasi dan pengalaman atau peristiwa historis dapat direkam melalui syair yang disampaikan di tengah orang-orang pada tempat yang ramai seperti lingkungan Kabah dan pasar.

Di tengah keramaian itu berharap opini dan informasi tersampaikan pada orang-orang dan mungkin tersebar dari mulut ke mulut dan diwariskan secara lisan. Tradisi lisan ini menjadi ukuran dari kuatnya daya ingat dari suatu masyarakat tentang kultur maupun kehidupan masyarakatnya. 

Tradisi lisan Arab, dalam konteks ini syair-syair, bisa dikatakan sudah berada dalam tingkatan masyarakat yang tinggi dalam kebudayaan. Sastra dalam suatu masyarakat dianggap capaian tinggi karena terkait dengan seni dan kreativitas olah kata dan pilihan kalimat yang tidak sembarang, sehingga setiap kata dan untaiannya terjalin menjadi satu kesatuan yang indah didengar dan unik kala dibaca.

Berikut ini syair gubahan Abu Thalib bin Abdul Muthalib ra:

"Jika pada suatu hari orang-orang Quraisy bertemu untuk berbangga diri/maka Abdu Manaf adalah rahasianya dan inti sarinya/jika tokoh-tokoh Abdu Manaf dicari/maka tokoh-tokohnya ada di Bani Hasyim/

/Jika suatu hari mereka berbangga diri/sesungguhnya Muhammad adalah manusia pilihan, kata kuncinya, dan manusia termulianya/orang-orang Quraisy; yang kurus dan yang gemuk mengajak orang-orang memerangi kami/namun mereka tidak bisa menang dan mimpi-mimpi mereka salah/dulu kami tidak pernah merestui kezaliman/jika mereka sombong, maka kami meluruskannya/kami lindungi tempat suci pada setiap hari yang kritis/kami pukul orang berniat jahat kepada batu-batunya/dengan kamilah batang yang layu bisa segar kembali/dan dengan pundak-pundak kamilah, akar-akarnya bisa terkumpul kembali dan bersemi."

Demikian yang bisa saya sampaikan dalam bentuk ulasan ringkas ini. Maaf baru tentang syair belum masuk ulasan lainnya. Hanya itu saja yang bisa saya bagikan karena saya sendiri merasa kurang memahami dengan baik seluruh narasi sejarah dari buku Ibnu Hisyam tersebut. Maklum saja saya kekurangan ilmu dan bukan ahli tarikh sajanan kuliahna widang sajarah. Hapunten lahir sinareng batin. *** (ahmad sahidin)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun