Mohon tunggu...
Ahmad Sahidin
Ahmad Sahidin Mohon Tunggu... Lainnya - Learner

Alumni UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Diskotik, Tukang Air Jerigen

3 April 2020   14:36 Diperbarui: 3 April 2020   14:42 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Saya tinggal pada daerah diskotik (di sisi kota saeutik). Berada di sebuah kampung yang masuk wilayah Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Dari jalan besar, masuk gang yang cukup untuk kendaraan motor dan berada pada ujung kampung. Dahulu masih sawah di kanan kiri jalan gang. Rumah penduduk pun tidak padat dan masih ada balong. Kini, area sawah dan balong telah dibangun menjadi rumah tinggal dan kontrakan. Pokoknya menjadi padat. Tempat tinggal saya cukup dekat ke masjid dan sekira 500 meter ada pesantren, yang juga berada dalam gang.

Saya tinggal bersama keluarga dengan rumah sangat sederhana. Kamar, ruang tamu, dapur dan toilet. Ruang tamu dipakai untuk simpan motor dan sedikit untuk terima tamu. Cukup untuk satu orang atau dua tamu. Kadang saya baca buku, makan minum, dan menyelesaikan kerjaan di ruang tamu ini.

Sekarang terkait air. Tahun 2005 tidak ada masalah dengan air. Seiring dengan banyak rumah pakai pompa, maka air tidak terlalu banyak yang keluar. Kata seorang tetangga harus diperdalam sumur pompanya. Akhirnya coba diperdalam dan air keluar. Bukannya lebih bagus airnya, malah bau besi dan berwarna kuning. Meski tidak jernih dan bau, tetap dipakai untuk urusan cuci piring dan mandi. Sedangkan masak dan minum dari air yang dijual pakai jerigen seharga 2.500. Saya beli dua sampai tiga jerigen yang cukup untuk empat hari. Terus saja dilakoni. Beli air sampai kemudian tetangga ramai pasang air ledeng.

Karena sudah banyak yang pasang, si tukang air jerigen tidak mau keliling lagi. Tidak banyak yang beli. "Capek bawa kalau hanya tiga jerigen yang terjual," kata tukang air saat bertemu dan ngobrol. Saya memahaminya. Saya berpikir ke mana lagi saya harus beli air bersih? Saya minta tukang air supaya tetap saja jualan. Namun, tidak nongol lagi. Saya tanya tetangga, apakah ada tukang air? Tak ada. Sekarang sudah tidak ke sini lagi. 

"Euweuhan anu meulina. Geus loba anu boga ledeng," ujar tetangga berkisah saat ketemu tukang air. Euh, saya justru menantinya.

Saya coba usahakan beli air galon. Mahal dan tidak hemat.

Karena ditunggu-tunggu tukang air tidak datang, saya dengan rasa malu yang besar meminta air pakai ember ke tetangga yang sudah pasang ledeng. Untuk kebutuhan masak dan minum. Beli air galon lebih mahal biayanya. Terlalu sering menjadi malu juga. Saya coba tanya tetangga biaya pasang ledeng sekira satu juta dengan paralon masuk rumah. Ternyata mahal juga untuk ukuran saya, yang hanya jualan ilmu di sekolah swasta.

Saat tanya pada tukang ledeng, ternyata bisa dicicil. Akhirnya saya berniat pasang air ledeng. Dan tentu mulai hari ini harus serba hemat dalam pengeluaran (pembelian dan belanja) agar bisa terwujud rencananya. 

Meski kini sedang ramai wabah Covid19 dan masa pembatasan sosial, ternyata harus diprioritaskan untuk biaya pasang air ledeng.

Biaya untuk kebutuhan selama masa #diamdirumah harus diperhemat. Dan, saya akui bahwa air menjadi kebutuhan yang menunjang kehidupan manusia. *** (ahmad sahidin)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun