Mohon tunggu...
Ahmad Sahidin
Ahmad Sahidin Mohon Tunggu... Lainnya - Learner

Alumni UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Ulasan Buku The Secret of Shambhala

8 Desember 2019   13:29 Diperbarui: 8 Desember 2019   14:16 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alhamdulillah. Saya menemukan buku wawasan kesebelas karya James Redfield. Buku yang tebalnya 376 halaman ini adalah lanjutan dari buku wawasan kesepuluh dan wawasan sembilan. Buku dengan judul "The Secret of Shambhala" ini terbit tahun 2014 dan sudah cetak ulang tiga kali yang diterbitkan Gramedia Jakarta.

Saya membaca bukunya sekira empat hari. Terasa ada yang terpenggal "wawasan" yang saya baca dari yang kesembilan, kesepuluh dan langsung yang keduabelas. Sebab yang kesebelas, baru bulan lalu saya dapatkan dari toko dengan harga di bawah 20 ribu rupiah.

Buku wawasan kesebelas ini secara isi terbagi sebelas bagian yang saling terhubung. Karya ini masuk kategori novel dan penulisnya sangat khas dalam menyajikan narasi cerita dan alurnya. Yakni memasuki khazanah kearifan masyarakat lokal di berbagai negeri yang punya warisan budaya yang kuat dan menjadi tradisi setempat.

Dari buku "The Celestine Prophecy" kemudian "The Ten Insight" dan (lanjutan dari "The Secret of Shambhala" yaitu) "The Twelfth Insight" sangat khas bercerita petualangan dengan tokoh "aku" dan Wilson James. Dua tokoh ini merupakan "pemburu" kearifan lokal dan penikmat budaya, terus selalu muncul. Kadang dipersatukan dalam sebuah momen, juga dipisahkan dalam rangkaian alur cerita. Namun diakhir bertemu dan saling berbagi wawasan yang sudah didapatkan dalam petualangannya yang lintas pulau, negeri, dan lintas budaya masyarakat.

Menariknya sang "aku", meski disebut berlatar belakang Amerika, mampu masuk dan menyelami kebudayaan pada suatu masyarakat yang tidak tenar dan memiliki pencerahan untuk kemajuan, kebahagiaan, dan tegaknya peradaban manusia. Basisnya dengan spiritualitas dari berbagai masyarakat tradisional, seperti Peru dan Persia serta (pada buku wawasan kesebalas) menyajikan kearifan dan pencerahan masyarakat Tibet dengan kebudayaan Shambhala.

Tentang Shambhala ini menarik. Sebuah kuil di pegunungan dengan salju terus turun. Dalam kuil terdapat lubang-lubang. Jika masuk satu lubang maka mampu melihat satu belahan dunia yang penuh hiruk dunia sekarang. Makin bergerak maju akan melihat aktivitas dunia yang dijalani orang-orang, bahkan mampu menyimak perbincangan para ilmuwan terkait masa depan dunia. Seolah-olah berada dalam museum yang setiap dindingnya ada biorama dari setiap kisah sejarah. Orang-orang Shambhala sibuk dengan urusannya masing-masing di Shambhala. Mereka yang terhubung saja yang berkomunikasi. Keluar masuk satu tempat di Shambhala cukup melalui celah bersinar. Saat masuk tinggal pikirkan tempat tertentu maka sudah berada di lokasi tersebut. Tak perlu teknologi yang rumit berbasis listrik dan internet. Kekuatan yang menjadi energi di Shambhala adalah "medan-doa" atau pengaruh spiritualitas dan persepsi pikiran yang positif. Inilah inti Shambhala pada kesadaran untuk selalu menyebarkan pikiran positif dan mengajak orang pada nuansa kebaikan.

Dan dalam proses menuju Shambhala, tokoh "aku" berada dalam lindungan dakini atau malaikat sehingga musibah atau hambatan yang berat sekalipun ada solusinya dengan bantuan dakini. Tentu ini sebuah kesadaran beragama bahwa Tuhan senantiasa ada dan memberikan pertolongan kepada manusia yang menghubungkan dirinya kepada Tuhan.

Meski dalam novel ini, pemerintah Cina dianggap penghalang dari berkembangnya kebudayaan Tibet karena anggap orang-orang yang tergabung dalam kuil Shambhala sebagai komunitas sesat. Ini memang relevan dengan upaya menjaga stabilitas negara. Maklum Tibet meski berada dalam otoritas Cina secara kultur berbeda masyarakat Cina dan Tibet mempunyai identitas agama dan budaya tersendiri.

Kebudayaan lokal kuno dengan aneka kearifan kebudayaan dan pencerahan wawasan spiritual ini, oleh James Redfield selaku penulis novel, dianggap mampu menjadi alternatif atas kemelut ideologi dan perubahan budaya yang mengakibatkan terjadinya dehumanisasi dan kerusakan bumi serta alam semesta akibat eksploitasi atas nama kepentingan manusia, yang tak memerhatikan aspek pelestarian bumi dan lingkungan hidup. Sehingga dengan kembali pada kebudayaan kuno diharapkan manusia bisa berada dalam alur kehidupan yang benar dan menjaga penjaga bumi sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan.

Itulah yang saya pahami dari novel wawasan kesebelas dari James Redfield. Saya kira penulisnya seorang adventure sekaligus peminat studi filologi dan kebudayaan kuno. Ini memang novel yang layak baca untuk yang masih cinta dengan kebudayaan lokal dan peduli dengan nasib manusia di masa depan. Terima kasih sudah membaca ulasan ini. *** (ahmad sahidin)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun