Mohon tunggu...
Ahmad Sahidin
Ahmad Sahidin Mohon Tunggu... Freelancer - Alumni UIN SGD Bandung

Orang kampung di Kabupaten Bandung. Sehari-hari memenuhi kebutuhan harian keluarga. Beraktivitas sebagai guru honorer, editor and co-writer freelance, dan bergerak dalam literasi online melalui book reading and review.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tadarus Buku Ibnu Arabi, Isyarat Ilahi

15 Januari 2019   12:14 Diperbarui: 15 Januari 2019   12:19 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini sekadar berbagi saja. Ini lanjutan dari tulisan sebelumnya tentang buku "Isyarat Ilahi" (https://www.kompasiana.com/ahmadsahidin12/5c15f30b12ae9408045368c5/isyarat-ilahi-tafsir-juz-amma-versi-ibnu-arabi). 

Saya membaca buku sebagai bentuk tadarus. Karya yag dibaca adalah Ibnu Arabi berjudul "Isyarat Ilahi: Tafsir Juz Amma". Buku ini diterbitkan tahun 2002 oleh penerbit Hikmah dan IIMaN. Meski ditulis pada abad 13 Masehi di Andalusia, tetapi kadar ilmiahnya masih terasa. Terbukti saat dibaca banyak yang tidak saya pahami. Maklum saya masih pelajar dalam urusan tafsir dengan pendekatan sufistik yang bercorak takwil.

Dalam pengantar buku ini dikatakan bahwa Muhyidin bin Arabi tidak menyangkal makna harfiah teks dari kitab suci sebagai pintu untuk memasuki alam ghaib.

Namun dari makna lahiriah teks itu berupaya menambahkan sebuah takwil yang didasarkan atas "penyingkapan" atau "pembukaan" yang membatasi keterbatasan-keterbatasan kognitif, yang diberikan Tuhan kepada seorang gnostik/'arif yang tidak pernah ditangkap oleh orang lain. 

Sehingga penyingkapan makna dari teks suci yang bersifat takwil bersifat khusus dan dipahami pula oleh orang-orang khusus; yang berbeda dari orang-orang umum yang biasanya cukup dengan makna lahiriah. 

Tafsir versi Ibn Arabi ini masuk pada ranah subjektivitas ilmiah. Memang tidak ada yang objektif dalam kajian ilmiah. Hanya objek yang dikajinya itu mungkin yang disebut objektif. Bahkan tentang objektif ini setiap ulama dan ilmuwan akan definisikan berbeda-beda. Hasilnya tentu tidak sama dan akan kembali pada ranah subjetivitas. Ini juga yang terjadi dalam studi tafsir Alquran.

Meski memang Nabi Muhammad saw punya otoritas dalam menerangkan semua makna Al-Quran, tetapi tidak menjadikan posisi nalar ilmiah atas al-Quran tertutup. 

Masih terus ada peluang untuk dibaca dan dimaknai dengan ragam pandangan dan kajian ilmiah. Ada peluang untuk dipahami oleh setiap umat Islam (dalam hal ini yang memiliki ilmu) dengan standar tidak bersebrangan dengan penjelasan dari Sang Nabi.

Malah bisa dikatakan ulama yang menafsirkan al-Quran pasca Rasulullah saw bisa disebut "memperluas" kandungan makna dari ayat-ayat kitab suci, sehingga manfaatnya bersifat universal dan lintas zaman sampai hari Kiamat. 

Hal ini karena Alquran tidak punya batas kedaluarsa maka selama masih ada umat Islam akan terus berguna dan menjadi pedoman. Cukup segitu saja ringkasan yang didapat dari bacaan awal atas buku "Isyarat Ilahi". Maaf bila tidak dapat pencerahan dari buku yang say abaca. Maklum saya masih awam. *** (ahmad sahidin)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun