Mohon tunggu...
Ahmad Sahidin
Ahmad Sahidin Mohon Tunggu... Lainnya - Freelancer

Alumni UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Resensi Buku "Apa Guna Sejarah?"

10 Januari 2019   11:07 Diperbarui: 10 Januari 2019   11:38 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

A.L.Rowse dikenal seorang sejarawan dan sastrawan asal Inggris. Bukunya "The Use of History" terbit tahun 1971. Buku ini diterjemahkan dan diterbitkan oleh Komunitas Bambu tahun 2014. Diberi judul "Apa Guna Sejarah?" Terang dari judulnya bahwa yang dibahas terkait dengan aksiologi sejarah, yaitu manfaat atau kegunaan. Tentu ini layak diketahui oleh orang-orang yang belum menekuni sejarah atau mereka yang memandang "rendah" atau menganggap tidak penting pada sejarah.

Buku "Apa Guna Sejarah?" ini terbagi dalam delapan bab. Yang pertama bahas tentang guna sejarah. Dalam pemaparan bab ini Rowse menguraikan hubungan manusia masa kini dengan masa lalu. Seseorang yang memasuki daerah atau negeri pasti tidak akan lepas dari masa lalu di negeri atau daerah tersebut. Selalu ada informasi, baik yang dikehendaki dengan baca buku atau koran maupun yang disampaikan orang saat interaksi.

Dari hal itu diketahui bahwa manusia tidak bisa lepas dari pengetahuan masa lalu. Bahkan mereka yang melakukan traveling atau liburan pada suatu tempat wisata akan merasakan kekaguman atas yang dilihatnya setelah mengetahui masa lalu dari objek yang dilihatnya. Orang yang lihat candi borobudur akan merasakan kagum dengan kemampuan orang-orang Jawa di masa lalu yang mampu ciptakan bangunan tersebut. 

Apalagi mengetahui kejadian tentang asal muasalnya pasti akan sangat bermakna. Ini menjadi bukti bahwa manusia tidak bisa lepas dari masa lalu dan sejarah berguna bagi manusia. Sebagai misal lagi bahwa seseorang yang akan beli rumah atau kendaraan (yang bukan baru) pasti ingin mengetahui latar belakang dari rumah dan kendaraan tersebut. Dan yang terkait dengan latar belakang ini adalah sejarah.

Bab dua tentang kesenangan sejarah. Secara substansi sama dengan bab satu. Untuk sedikit mengetahui maksud dari kata "kesenangan", Rowse menulis: "...kesenangan paling nyata, mungkin paling menarik, dari sejarah adalah bagaimana pengetahuan sejarah memperkaya dan melengkapi penghargaan kita terhadap dunia yang kita lihat di sekeliling kita" (hal.29).

Bab tiga tentang sejarah. Ini terkait dengan cara pandang segala hal yang dihubungkan dengan sejarah dan gambaran kehidupan yang tercatat. Basis dari sejarah adalah manusia. Pengalaman individu manusia disebut biografi dan pengalaman manusia dalam arti komunitas disebut sejarah. Bahkan yang terkait dengan aktivitas atau lembaga pun karena berhubungan dengan manusia maka menjadi sejarah. Karena itu, muncul aneka sejarah mulai dari sejarah politik, sejarah militer, sejarah ekonomi, sejarah seni, dan lainnya. Sehingga sejarah diberi makna olen Rowse sebagai totalitas aktivitas manusia.

Bab empat tentang sejarah sebagai sains dan seni. Ini menarik karena sejarah dalam riset tentu butuh sains berupa penelitian atas sumber. Dalam penyajian hasil riset sejarah memerlukan kemampuan seni sehingga karya sejarah bisa dinikmati setiap orang dan yang membaca tidak seperti melihat kumpulan data semata. Sebab data yang menjadi fakta sejarah memerlukan kecakapan dalam rekonstruksi, terutama saat menuangkan dalam bentuk narasi.

Bab lima menguraikan pemikiran sejarah. Saya tidak bisa menangkap makna teksual dari judul bab tersebut. Namun, dari segi uraian memuat kritik pada historisisme yang dianggapnya keluar dari makna sejarah, yang secara umum makna sejarah adalah masa lalu manusia dalam ruang dan waktu. Sedangkan historisisme, salah satu cirinya adalah mengungkap (gambaran) masa depan atau akhir sejarah berdasarkan spekulasi pemikiran para filsuf. 

Rowse memandang gambaran masa depan bukan ranah ilmu sejarah, tetapi masuk pada ilmu-ilmu sosial, sehingga historisisme bagi sejarawan dianggap telah melampaui sejarah dan tidak penting untuk para sejarawan, yang tugasnya merekonstruksi masa lalu. Dan sejarah masa depan tidak bisa ditulis pada masa kini karena belum terjadi. Dengan sikap kritis pada historisisme itu, Rowse bisa dipahami bertahan pada mazhab historisme.

Melanjutkan bacaan pada bab enam, sejarah dan pendidikan. Rowse sebagai akademisi dan praktisi bidang sejarah menyebutkan pendidikan sejarah di Inggris, di universitas Oxford diberikan dalam level sarjana dan pascasarjana dengan menyajikan studi sejarah kuno Barat hingga sejarah modern Inggris. Yang menarik tentang belajar bahwa setiap mahasiswa yang ambil studi sejarah dalam setiap semester diwajibkan baca buku sejarah Inggris minimal dua buku yang direkomendasikan. Dan itu masuk dalam mata kuliah non kelas. Saya mengira ini bagian dari tradisi literasi dan budaya yang maju dalam pendidikan.

Memang agak malas dalam membaca sejarah kalau dipaksakan, terutama berefek pada nilai akademik. Biasanya di universitas tempat saya belajar sejarah, tugas baca buku diiringi dengan membuat review. Hanya saja kadang buku tidak dibaca full dan andalkan review orang lain atas buku tersebut yang tersebar di internet. 

Saya mendengar itu langsung dari seorang mahasiswa pascasarjana yang langsung ambil mudah saja. Mungkin tidak biasa baca sehingga cari yang instan. Masih bagus kalau copypaste dari internet itu dibaca dahulu dan diperbaiki sebelum diserahkan pada dosen. Malah ada yang hanya ganti nama saja. Kontan itu membuat marah dosen saat tahu bahwa itu karya orang lain. Jadi, budaya literasi di negeri saya lemah sampai tingkat perguruan tinggi.

Akhirnya dua bab terakhir, tujuh dan delapan, saya baca dengan cara skimming. Sebab dua bab ini saling terkait dengan bab enam dan lima. Pada tujuh Rowse menguraikan sejarah dan budaya yang saling terkait. Hanya dua aspek dimunculkan dari budaya, yaitu arkeologi dan arsitektur. Memang seni yang disebutkan bagian hiburan manusia juga mewarnai dinamika manusia. Bangunan rumah klasik dan daerah yang memiliki cagar budaya masuk dalam uraian sejarah dalam konteks budaya. Yang kemudian budaya tersebut oleh Rowse pada bab delapan dianggap sarana awal untuk belajar sejarah otodidak.

Menurut Rowse bahwa belajar sejarah tidak mesti baca buku sejarah yang tebal atau masuk kelas sejarah di universitas dan sekolah, tetapi bisa secara otodidak dengan mengunjungi tempat wisata dan menggali tinggalan berupa benda-benda budaya yang menarik bagi diri kita. Selanjutnya jika ingin menggali maka dilanjutkan bertanya pada ahli di bidang tersebut dan masuk perpustakaan untuk menemukan informasi lanjutan dari temuan awal. Itu sebagai langkah belajar cara otodidak alias tidak studi formal.

Demikian yang bisa tersaji. Lumayan jenuh baca 243 halaman. Apalagi buku ini hanya memuat wacana, yang lebih banyak diobrolkan seputar khazanah sejarah di Inggris. Dengan membacanya tentu memperkaya pengetahuan kesejarahan. Saya sarankan Anda membacanya juga. Hanya saja harus tekun dan tidak terburu-buru karena terjemahannya agak sulit dicerna saat dibaca. Perlu berulang baca. Hatur nuhun. *** (ahmad sahidin)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun