Mohon tunggu...
R Ahmad Rosyiddin Brillyanto
R Ahmad Rosyiddin Brillyanto Mohon Tunggu... Lainnya - Sosiolog

Pengamat sosial dan pegiat literasi yang suka minum kopi hasil gilingan sendiri

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Review Buku "Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas" Karya Neng Dara Affiah

22 April 2019   06:25 Diperbarui: 22 April 2019   08:22 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ISLAM DAN KEPEMIMPINAN PEREMPUAN

Dalam bab yang berisi tujuh sub bab yang yang memiliki kesamaan tema ini, penulis memberikan gambaran kepada pembaca tentang isu-isu terkini yang terjadi dalam dunia perpolitikan Indonesia, khususnya yang pernah menjadi trending topic pada zamannya. 

Seperti persoalan munculnya sebagaina organisasi keislaman yang secara terang-terangan menolak sosok perempuan jika dijadikan sebagai pemimpin urusan kenegaraan, hal ini terjadi di Indonesia khususnya pada saat Megawati Soekarno Putri melenggang menduduki kursi RI 1. Ada berbagai macam pro dan kontra dalam menafsirkan ayat "Arrijalu qawwamuna 'alan nissa", apakah "qawwam" yang disini bermaksud mutlak sebagai pemimpin atau hanya karena secara fisik laki-laki dianggap lebih kuat ketimbang perempuan.

Selain itu dalam bab ini diangkat pula sebuah analisa bahwa karena budaya patriarki yang masih sangat mendarah daging secara global hampir diseluruh permukaan bumi, di banyak tempat pemimpin perempuan sering dilihat bahwa ia mendapatkan kepercayaan dari rakyatnya karena efek/dampak dari tokoh laki-laki di sekitarnya. 

Dari analisis ini seolah-olah perempuan tidak bisa secara mandiri memebentuk citra di masyarakat tentang dirinya sendiri tanpa bantuan tokoh laki-laki.

Tidak hanya melulu kasus yang diangkat dalam bab ini adalah isu yang berkaitan langsung dengan perempuan, permasalahan tentang awal mula konsep otonomi daerah pun tak luput menjadi bahan bahasan. 

Dikarenakan kehidupan bangsa Indonesia yang sangat multikultural, sehingga pemerintah merasa kesulitan untuk mengatur keseluruhan daerah hanya dengan mengandalkan sistem pemerintahan terpusat, terlebih lagi karena pemerintahan pusat pada saat itu terkesan sangat "jawasentris" maka menimbulkan berbagai penolakan dari banyak daerah hingga mengancam untuk memisahkan diri dari NKRI. 

Oleh karena itu daerah diberikan mandat berupa otoritas untuk mengurus urusan daerah nya sendiri. Akan tetapa walaupun demikian, peran perempuan pun masih dinilai kurang oleh penulis. 

Tidakhanya ditingkat daerah, hal ini pun terlihat hingga tingkat pusat, atmosfer kehidupan politisi yang dinilai sebagai sebuah profesi yang kotor dan berat sehingga terasa sangat maskulin dinilai tidak cocok bagi perempuan untuk ada di sana.

Dalam bab ini pula, penulis memasukan kisah singkat tentang nenek dari penulis itu sendiri, H. Siti Masyitoh, yang menurut penulis menerapkan nilai-nilai feminisme walupun ia sendiri tidak tau konsep feminisme itu sendiri sebelumnya, inilah yang disebut sebagai "Indigenous feminis". 

Beliau sebagai sosok perempuan yang memimpin pondok pesantren dan kesehariannya diisi dengan memberikan pengajaran nilai-nilai ajaran agama sangat disegani dan dihormati oleh banyak orang bahkan oleh laki-laki sekalipun.


ISLAM DAN SEKSUALITAS PEREMPUAN

Dalam bahasan bab kali ini penulis menjabarkan hal-hal yang berkenaan dengan seksualitas perempuan jika dilihat dari sudut pandang agama, khususnya agama islam dan umumnya agama-agama yang lahir di tanah timur tengah meliputi islam, kristen, dan yahudi dalam emapat sub bab yang dikandungnya.

Penulis memulai bahasannya dengan menjelaskan bahwa institusi pernikahan dalam sudut pandang agama lebih ditekankan pada sebuah institusi formal untuk menanggulangi gejolak syahwat manusia baik laki-laki dan perempuan. Dalam institusi ini, dalam banyak tafsir agama konservatif yang sudah berlaku sedemikian lama selalu saja menempatkan perempuan pada sudut inferior dimana ia harus selalu berada di bawah laki-laki, dan ruang geraknya selalu terbatas pada ranah domestik. 

Sebauh poin penting yang kami dapatkan pada pembahasan ini ialah, bahwa ternyata agama-agama ibrahim ini sangat mendukung institusi pernikah sebagai sarana untuk memperbanyak jumlah umat dari agama mereka, oleh karena itu penulis juga menyinggung tentang berbagai macam perspektif tentang isu pernikahan beda agama, yang pada banyak prakteknya selalu mendapakan kecaman baik dari kaum agamawan maupun masyarakat umum serta menimbulkan suatu tanda tanya besar tentang 'agama manakah yang kelak sang anak harus imani? Apakah agama dari sang ayah? Atau agama ibunya?'

Setelah itu dibahas pula tentang isu poligami yang marak diberbincangkan di negara-negara dengan jumlah penduduk yang meyoritas beragama islam seperti Indonesia, penulis merunut sejarah poligami secara sistematis untuk menerangkan persoalan itu dimulai dengan poligami pada masa pra-islam di tanah arab hingga masuknya ajaran islam di Indonesia. 

Pada masa pra-islam di tanah arab, poligami tidak hanya dilakukan oleh laki-laki tetapi perempuan juga melakukan peraktek tersebut bahkan dengan jumlah yang relatif banyak hingga belasan pasangan sekalipun. 

Setelah islam turun maka peraktek poligami itupun dibatasi hanya boleh untuk kalangan laki-laki dan maksimal dengan empat pasangan, saat itu poligami yang dilakukan laki-laki dianggap efektif oleh sebagian ahli karena pada saat itu umat islam sering lekukan ekspansi yang berbentuk peperangan diberbagai wilayah yang menyebabkan banyak umat islam laki-laki meninggal dunia dan akibatnya banyak janda dan anak-anak yang terlantar. Konsep poligami membantu untuk menangani permasalahan itu karena jandan dan anak terlantar tersebut bisa bergantung kepada sahabat nabi lainnya yang masih hidup. 

Pada kasus ini penulis membandingkan dua ayat dalam Al-Quran yakni ayat yang memperbolehkan melakukan poligami dengan syarat harus berbuat adil (QS. Annisa : 3) dan ayat yang menyatakan bahwa manusia tidak akan pernah bisa berbuat adil (QS. Annisa : 129), dalam menyikapi hal ini penulis berpendapat bahwa spirit dari Al-Quran dan Sunnah adalah monogami, adapun poligami ia diperbolehkan dengan menyesuaikan dengan konteks persoaln sosial yang dihadapi pada saat itu dan kemempuan baik dari pihak laki-laki maupun perempuan. 

Penulis pun juga mempertanyakan orang-orang pada era moderen ini yang selalu mencari pembenaran untuk melakukan poligami, bagi penulis orang-orang tersebut hanyalah orang yang hanya mencari pembenaran untuk hawa nafsunya semata.

Bab ini pula membahas hal yang tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan seorang perempuan muslim, yakni jilbab. Penulis pertama-tama menjelaskan apa yang dimaksud dengan jilbab dan kerudung. Lantas setelah itu penulis menelusuri sejarah kebudayaan jilbab di tanah arab yang saat itu difungsikan sebagai sebuah pertanda kelas sosial, dimana kerudung, jilbab dan bahkan cadar hanya bsa dikenakan oleh perempuan yang merdeka dan terhormat, sedangkan wanita yang berstatus sebagai budak, hamba sahaya, dan semisalnya tidak diperkenankan untuk mengenakannya. 

Dan selain daripada itu rupanya penutup kepala pada perepuan tidak hanya ada pada ajaran islam, melainkan ada pula pada ajaran kristen, yahudi dan sebagai kepercayaan kuno di timur tengah.

Dijelaskan pula oleh penulis tentang penggunaan kerudung pada masyarakat Indonesia yang pernah mengalami diskriminasi atau penekanan pada saat orde baru. 

Dimana pada saat itu, muslimah yang berkerudung dilarang untuk bersekolah ataupun berkuliah di institusi-institusi negara. Yang tentunya hal itu menjadikan timbulnya pertentangan antara rezim order baru dengan aktivis penggiat ajaran-ajaran islam.


PEREMPUAN, ISLAM, DAN NEGARA

Pada bab ini penulis buku menjelaskan atau menceritakan secara komperhensif tentang bebagai persoalan yang berkaitan dengan isu perempuan dalam lingkup yang besar. Lingkup yang besar yang dimaksud disini ialah lingkup agama khususnya agama islam dalam skala makro dan lingkup kenegaraan yang di dalamnya termasuk peraturan-peraturan pemerintah, undang-undang, dan segala instrumen institusi di dalamnya.

Dalam bab ini digunakan istilah yang lebih menunjukan identitas dari ideologi yang memperjuangkan hak-hak perempuan, feminisme. Dijelaskan bagaimana awal ideologi ini terciptakan hingga masuk ke tanah air melalui berbagai pertemuan intelektual luar negeri seperti mesir dan bebrbagai negara lainnya dengan pemikir-pemikir sosial di indonesia.

Diantara pembahasan yang menarik perhatian saya ialah pembahasan tentang peninddasan atau intimidasi yang didapatkan perempuan-perempuan dari kelompok ahamadiyah. Berbagai perlakukan tidak menyenangkan mereka dapatkan mulai dari dari anak kecil hingga kaum ibu di sana, ada anak yang dihina dan diperlakukan tidak adil oleh guru dan teman-temannya di sekolah, para gadis yang dilecehkan secara verbal oleh pemuda dari kelompok agama mayoritas di sana, hingga seorang ibu yang rumahnya dibakar dan dagangannya di pasar ditinggal oleh para pembelinya.

Selain itu pandangan penolakan feminisme yang datang dari berbagai ormas islam pun juga tak luput dari pembahasan buku ini. Tidak hanya menolak feminisme sebagai sebuah ideologi yang menuntut keadilan, tetapi kelompok ini juga kerap melakukan tindak kekerasan kepada siapapun yang tidak sepaham dengannya dengan alasan Amar ma'ruf nahi munkar. 

Hal ini menjadi pusat perhatian penulis dalam tulisan ini, penulis berpandangan bahwa hal tersebut sangatlah bertentangan dengan nilai-nilai keislam itu sendiri dan ini tentu termasuk pelanggaran terhadap nilai-nilai hak asasi manusia yang dijunjung oleh dunia internasional. 

Oleh karena itu, feminisme dan ideologi keadilan tentang hak asasi manusia lainnya memerlukan keikutsertaan laki-laki dalam praktiknya. Laki-laki kini sudah banyak terlibat dalam berbagai pergerakan yang menuntut keadilan gender yang karena hal itu turut memperkuat legitimasi dari ideologi feminisme itu sendiri.

Pada dua sub bab terakhir dibahas persoalan keperawanan dan hubungan inses. Mungkin kedua hal tersebut dipandang tabu bagi sebagian besar masyarakat indonesia, akan tetapi hal ini patut untuk diangkat kepermukaan agar masyarakat mengetahui bagaimana situasi yang sebenarnya terjadi dan dapat menghindari berita atau informasi yang tidak benar. 

Penulis sangat baik menjelaskan tentang bagaimana keperawanan dan hubungan inses dibahas denan pendekatan sosial dan agama, dimana keperawanan dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia dianggap sebagai suatu yang sakral dan sangat penting untuk dimiliki oelh seorang perempuan hingga ia menikah. Bahkan pada beberapa kasus ditemukan sampai seseorang rela melakukan operasi agar selaput daranya kembali seperti semula, padahal dalam ilmu medis keperawanan adalah hal yang relatif, yang tidak semua perempuan memilikinya. 

Dan berkaitan dengan inses, dalam hal ini sikap agama-agama timur tengah khususnya islam, kristen, dan yahudi adalah menolak atau mengharamkan perilaku inses yang kemudian diikuti oleh norma dan nilai yang berlaku di Indonesia. 

Dari sudut pandang penulis, pernikahan dapat menjadi saluran penyebarluasan suatu agaman, sementara inses dapat mengakibatkan sebuah ideologi keagamaan hanya berputar dalam suatu keluarga, dan tentu hal ini bertentangan dengan nilai 'dakwah' atau penyebarluasan agama yang dalam perspektif agama haruslah semua orang mendapatkannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun