Berbicara tentang toleransi, sepertinya budaya nenek moyang kita ini sudah mulai dilupakan oleh sebagian masyarakat kita. Entah apa alasan mereka. Mengapa saya katakan demikian. Mungkin kita semua tahu situasi politik yang sedang terjadi belakangan ini. Dimana dua kubu yang berbeda (baik secara agama, suku, etnis, ras maupun ideologi) saling adu egonya masing-masing, saling menunjukkan kehebatannya, dan saling menjatuhkan lawannya.Â
Perbedaan menjadi alasan mereka. Rasa toleransi mereka sedikit demi sedikit sudah mulai hilang. Sehingga berubah menjadi intoleransi. Tidak adanya rasa menghormati satu sama lain diantara mereka yang berbeda.
Sangat menyedihkan, bukan. Lantas, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa hal itu bisa terjadi. Dalam sebuah forum diskusi yang saya ikuti beberapa waktu yang lalu, intoleransi diakibatkan oleh tidak adanya rasa nasionalisme dan kurangnya literasi.Â
Namun bagi saya tidak hanya itu saja. Menurut saya, intoleransi bisa saja terjadi akibat dari rendahnya pemahaman seseorang tentang sesuatu. Jadi, hanya mendengar lalu terprovokasi. Atau bisa juga akibat dari seseorang mempelajari sesuatu hanya sebatas tekstual, tidak dibarengi dengan kontekstual. Sehingga, ia mudah untuk terprovokasi. Dan akhirnya timbullah intoleransi diantara kedua belah pihak yang berbeda.
Misalnya saja dalam konteks beragama. Jangankan berbicara tentang perbedaan agama. Berbicara tentang seagama saja, namun yang berbeda fiqihnya, sudah ingin menyalah-nyalahkan.Â
Mengapa hal itu bisa terjadi. Mari bertanya. Apakah orang yang menyalah-nyalahkan itu menguasi secara kontekstual dalam keilmuan beragamanya. Faktanya dilapangan, ia hanya belajar agama secara tekstual. Lebih parahnya lagi, belajar agama melalui searching di google.
Jika ini sudah terjadi, sangat ironi sekali. Saya teringat pesan dari seorang guru, beliau berpesan, bahwa jika kamu mengalami ketidaktahuan, maka tanyakan pada yang lebih tahu (dalam hal ini disebut ahlinya). Dan untuk mempelajari sebuah ilmu, janganlah hanya sekadar membaca. Namun juga perlu dibarengi dengan penjelasan dari seorang guru. Itulah pesan dari guru yang masih saya ingat.
Kalau toleransi sudah tidak menjadi budaya dalam bersosial lagi, maka jangan pernah berharap bangsa ini dapat menjadi bangsa yang besar. Jangankan untuk jadi bangsa yang besar, untuk bersatu saja toh sudah tidak mau.Â
Lantas, bagaimana cara kita untuk menumbuhkan rasa toleransi. Mungkin saja sulit untuk menumbuhkan rasa toleransi pada orang lain. Karena, saat kita hendak mengingatkan orang sekali pun, terkadang dianggap sok alim atau justru kita yang disebut sebagai intoleransi.
Memang sangat sulit. Namun, bisa saja kita melakukannya dengan cara memulai dari diri kita sendiri. Bukankah Rasul pernah bersabda, ibda binafsik! Artinya, mulailah dari dirimu sendiri. Cobalah diri kita yang memulai untuk menghormati orang lain dari perbedaannya. Dengan begitu, orang lain pun akan menghormati kita. Lalu, ketika kita mempelajari sebuah ilmu, janganlah hanya sebatas tekstual saja.Â
Perlu juga mempelajari secara kontekstual, agar kita memahami betul apa esensi daripada ilmu yang sedang kita pelajari tersebut. Selanjutnya, ubah sudut pandang kita dalam menilai sesuatu. Mulailah menilai dengan cara yang moderat. Karena belum tentu benar jika kita menilai sesuatu yang buruk dari satu sisi saja. Bisa saja sesuatu itu memiliki nilai baik jika dilihat dari sisi yang lainnya.Â
Dengan demikian, insyaallah kita semua dapat saling menghormati sebuah perbedaan. Karena justru, perbedaanlah yang menyatukan kita. Tapi, ego kitalah yang memperpecah semuanya. Ihdinashirathal mustaqiim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H