Mohon tunggu...
Ahmad Rizki Kurniawan
Ahmad Rizki Kurniawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Berusaha menjadi sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Big Data? Digital Research? Tantangan Baru bagi Mahasiswa di Era Industri Masa Kini

31 Mei 2022   19:00 Diperbarui: 31 Mei 2022   19:03 973
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Riset digital adalah suatu terminologi payung dimana menggambarkan metode riset yang menggunakan computer-based product untuk pengumpulan dan analisis data, baik secara online, mobile, location maupun sensor-based technologies (Internet of Things, etc). Kemudian untuk metode riset itu sendiri adalah sebuah tools atau teknik yang digunakan untuk mengumpulkan dan mengolah data. Contoh dari pengumpulan data adalah sensor yang digunakan pada troli di bandara untuk memudahkan dalam memonitor pergerakan orang-orang di bandara. Pengertian terhadap kata metode disini juga dipahami dengan pengertian yang sama mengenai metodologi, sebatas tidak terikat secara etimologis dengan epistemologis (guideline) dan landasan ontologis (basis).[1]

            Riset digital menjadi penting karena masyarakat yang sudah tidak bisa lagi dipisahkan dengan teknologi digital, sehingga pola, struktur, serta kultur yang ada pada masyarakat juga tercipta pada jejaring di dunia digital. Misalnya yang dapat dilihat pada komunitas virtual, enclave’s algorithm, dan surveillance capitalism.  Komunitas virtual dapat dipahami sebagaimana namanya yang sudah cukup mengeksplisitkan pengertian akannya, enclave’s algorithm dapat dipahami sebagai sebuah bentuk algoritma yang dibuat secara komputasi oleh komputer berdasarkan pola atau kebiasaan (behavior) dari pengguna, dan surveillance capitalism adalah bentuk eksploitasi dari berbagai korporasi besar (Google, Microsoft, etc) dari data penggunanya dan memanfaatkan hal tersebut untuk kepentingan mereka.[2]

            Dalam jurnal yang ditulis oleh Beck[3], ada satu pandangan menarik yang disimpulkan dalam narasi jurnal tersebut, dimana Beck menyebutnya sebagai Live Sociology vs Dead Sociology. Untuk contoh kasusnya, dalam konteks dunia maya atau dunia digital, pengertian akan masyarakat sudah tidak lagi ditentukan oleh batas wilayah geografis ataupun landasan konstitusi, karena apa yang terjadi di masyarakat suatu wilayah yang berada di negara lain, dapat juga terjadi atau sekadar menjadi perbincangan dan topik hangat di negara yang bahkan jauh ada diseberang benua dari negara tempat asal terjadinya. Contoh mudah, kita lihat pada EUFA Champions League, meskipun itu adalah pertandingan pada klub-klub bola di Eropa, tetapi menjadi perbincangan pada hampir masyarakat diseluruh dunia. Contoh lainnya dapat kita lihat seperti pada kasus lampau pada pernikahan pasangan LGBT di Thailand, dimana konteksnya terjadi di negara Thailand, tetapi netizen diluar negara tersebut yang ikut mengurus dan memperbincangkannya, termasuk netizen Indonesia.

            Contoh-contoh tersebut jika dibawa kedalam konteks pengertian masyarakat, tidak bisa lagi dibatasi oleh pengertian masyarakat pada umumnya, sehingga batasan konvensional akan masyarakat itu blur dan sulit untuk didefinisikan. Diperlukan metodologi-metodologi baru untuk merumuskan penelitian dan analisis pada hal-hal semacam tersebut, sehingga ilmu sosiologi dapat terus berkembang atau dapat disebut dengan live sociology. Namun, jika pemahaman dalam sosiologi belum mampu memberikan konteks analisis terhadap tipe masyarakat seperti itu, lambat laun akan menyebabkan timbulnya dead sociology.[4]

            Dalam praktiknya, ilmu sosiologi terus mengembangkan berbagai metode terhadap field baru ini sehingga dapat terus mempertahankan live sociology. Untuk konteks yang spesifik pada sosiologi UNJ, ada dua jenis analisis digital yang penulis tahu yang diajarkan dalam pembelajaran di mata kuliah metode penelitian lanjutan, pertama yaitu etnografi digital, kedua analisis terhadap big data. Pembahasan selanjutnya akan spesifik membahas terkait dengan jenis analisis yang kedua yaitu analisis terhadap big data. Pembahasan terhadap konteks ini penulis anggap memiliki urgensi yang lebih utama karena bagi seorang yang awam akan komputer, tingkat kesulitan dalam metode ini yang cukup tinggi karena dibutuhkan kemampuan menggunakan software (nvivo, wordij, gephi, spss, voyant, atau bahasa pemprogaraman untuk tingkat lebih tingginya) dimulai dari instalasi hingga kemampuan untuk mengoperasikannya, sehingga tidak hanya membutuhkan kemampuan analisa konvensional tetapi juga membutuhkan kemampuan digital.

            Big data sendiri untuk pengertiannya dapat dipahami sebagaimana pengertian harfiahnya, dan memiliki tiga karakteristik utama yang menyertainya yaitu volume, velocity, dan variety. Ada berbagai macam metode yang digunakan untuk mengolah dan menganalisis big data, dimana dalam ranah sosiologis itu sendiri, metode analisis big data yang digunakan akan terbagi menjadi dua, yaitu social network analysis dan textual network analysis. Kedua metode tersebut pada dasarnya memiliki idea atau konsep yang sama yaitu menganalisis peta jaringan yang terbentuk dari jejaring sosial, namun dibedakan pada aktor atau nodes yang menjadi kunci penghubung untuk peta jaringannya.

            Dalam metode sna (social network analysis), tujuan utama yang ingin dilihat adalah keterhubungan antar aktor yang ada pada sebuah lingkup topik atau tema tertentu di sebuah media sosial atau pada suatu komunitas virtual tertentu. Tna dengan idea yang sama juga melihat keterhubungan pada aktor, tetapi disini bukanlah aktor user sebagaimana pada sna, tetapi adalah frekuensi kata yang ada pada topik atau tema tertentu yang hendak diteliti. Kedua metode tersebut memiliki tahapan dan proses yang juga hampir serupa dengan mencari nilai eigenvector, betweenness centrality, modularity, dan hasil dari temuan metode tersebut kemudian diinterpretasi dan dianalisis sesuai dengan kebutuhan penelitian.

            SNA dibutuhkan karena dalam struktur sosial, SNA memudahkan visualiasi dalam melihat kelekatan antar individu pada suatu jejaring yang ada pada suatu lingkup topik atau tema tertentu atau pada komunitas virtual. Sedangkan TNA itu sendiri dibutuhkan karena informasi yang ada pada dunia digital banyak diisi oleh data tekstual, dimana informasi terkait data tekstual tersebut memiliki frame atau bingkai tertentu dan dibangun untuk tujuan tertentu pula. Dengan menggunakna metode analisis TNA, dapat mengetahui bagaimana pola dan struktur serta mampu untuk mengekstraksi makna dari informasi yang ada pada frame atau bingkai tersebut.

[1] Dawson, Catherine. (2020). A-Z of Digital Research Methods. Newyork: Routledge.

[2] Herwantoko, One. Kuliah Metode Penelitian Lanjutan.

[3] Back, L. (2012). “Live sociology: Social Research and its Futures.” The Sociological Review, Vol. 60 No. 1 hlm. 18-39.

[4] Ibid.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun