Dilansir dari kumparan.com, beberapa waktu yang lalu, warganet dihebohkan dengan sebuah video yang viral di media sosial mengenai aksi pengejaran pengemudi mobil terhadap pelaku begal payudara yang hendak melarikan diri. Diketahui bahwa video yang diunggah oleh akun instagram @jannah_ey tersebut terjadi di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat (23/5/2021).Â
Pelaku kasus begal payudara yang belum lama terjadi di wilayah Kemayoran, Jakarta Pusat, dengan inisial HP (31) tersebut, kini telah ditangkap dan diamankan oleh pihak Polres Metro Jakarta Pusat. Menurut penuturannya, pelaku mengaku telah melakukan hal tersebut kepada setidaknya tiga korban dengan alasan untuk memuaskan hasratnya (tribunnews.com)
Kejahatan semacam ini banyak terjadi beberapa tahun terakhir. Selain di Jakarta, fenomena begal payudara dilaporkan juga banyak terjadi di daerah lain, seperti di Bekasi, Jogjakarta, Banten, Sumatera Barat, dan sebagainya. Hal ini menujukkan bahwa pelecehan seksual, khususnya begal payudara masih marak terjadi pada masyarakat.Â
Secara definitif, pelecehan seksual merupakan interaksi seks yang tidak diinginkan dan membahayakan bagi penerimanya, termasuk interaksi verbal dan bisa terjadi dimana saja, seperti di tempat kerja, di sekolah dan sebagainya (Fulero & Wrightsman, 2008). Menurut Triwjati (2007), adapun pelecehan seksual mencakup perilaku-perilaku berikut, tetapi tidak terbatas pada, bayaran seksual bila menghendaki sesuatu, pemaksaan melakukan kegiatan seksual, pernyataan merendahkan tentang orientasi seksual atau seksualitas, permintaan melakukan tindakan seksual yang disukai pelaku, ucapan atau perilaku yang berkonotasi seksual; semua dapat digolongkan sebagai pelecehan seksual. Tindakan ini dapat disampaikan secara langsung maupun implisit (Triwijati, 2007). Â
Secara definitif, begal payudara merupakan merupakan suatu perilaku yang merujuk pada pelecehan seksual yang terjadi di ruang publik dimana pelaku dengan menggunakan motor, menyerang korban dengan cara memegang atau memeras payudara secara cepat. Setelah melakukan tindakan tersebut, pelaku langsung kabur layaknya pelaku kasus kriminal lain. Begal payudara merupakan salah satu jenis pelecehan seksual dalam bentuk godaan secara fisik, dimana perilaku tersebut yang juga disandingkan dengan pelecehan secara verbal  merupakan salah satu bentuk yang paling umum dari pelecehan seksual (Zastrow dan Ashman, 1989; Kremer dan Marks, 1992).
Pola Pelaku Begal PayudaraÂ
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Hollaback! Jakarta bersama dengan sejumlah lembaga lainnya terhadap 62 ribu orang mendapati bahwa aksi penjahat seksual begal payudara ini tak hanya dilakukan saat malam hari dan di ruang tertutup dengan alasan agar tidak dikenali saja, melainkan bahkan juga dilakukan saat siang hari dan di tempat umum serta dengan memperhitungkan untuk mengincar korban yang sedang berjalan sendiri. Hasil studi juga menyebutkan bahwa pelecehan ini tak hanya dialami oleh perempuan, tetapi terjadi juga pada laki-laki, namun perempuan jelas yang paling rentan.
Menurut Triwjati (2007), aksi begal payudara sebagai salah satu bentuk pelecehan seksual sebenarnya bukan hanya soal seks. Lebih lanjut, setidaknya, paling tidak ada dua mediator yang membuat pelaku berbuat demikian. Pertama, ketika melihat objek, ia langsung tertarik dan terangsang untuk melakukan aksinya. Kemudian, yang kedua, adanya penyalahgunaan kekuasaan atau otoritas. Dengan kata lain, pelaku baru merasa "berarti" ketika ia bisa dan berhasil merendahkan orang lain secara seksual.Â
Rasa "keberartian" ini tidak selalu dapat atau mau diverbalkan (disadari). Rasa puas atau semacam kenikmatan setelah melakukan pelecehan seksual adalah ekspresi dari "berarti" tersebut (Triwijati, 2017). Terlebih, hal ini dilakukannya dilakukannya secara berulang-ulang. Dilansir dari suarajogja.id, menurut Psikolog Forensik UGM, Prof Koentjoro, hal itulah yang menjadikan suatu kenikmatan tersendiri bagi pelaku setelah melakukan aksinya, walaupun di mata orang pada umumnya hal itu merupakan sesuatu yang aneh atau tidak pantas. Hal seperti ini juga sama terjadi pada seseorang yang eksibisionis, yang setelah menunjukkan alat kelaminnya, ia akan merasa puas (Priatmojo, 2021).
Ciri dan Motif PelakuÂ
Sekalipun perilaku dan motif bisa bervariasi antar pelaku, tetapi setidaknya ada beberapa dimensi yang disusun kelompok pendukung korban pelecehan seksual dalam mengkategorikan pelaku pelecehan seksual, termasuk pada pelaku begal payudara ini (Triwijati, 2007). Salah satunya yakni, "public" vs. "private", mereka yang masuk dalam kategori "public" adalah mereka yang menunjukkan perilaku/sikap melecehkan itu di hadapan orang lain, artinya, dia tergolong orang yang "show off". Mereka yang masuk dalam kategori "privat" umumnya sangat ingin tampil konservatif dan baik, tetapi ketika mereka berada sendirian dengan sasaran korban, perilaku mereka berubah sama sekali. Si "privat" sangat menikmati tipu muslihat dan ketidaktampakan perilakunya ini (Triwijati, 2007).
Selain itu, menurut Psikolog Forensik UGM, Prof Koentjoro, pelaku begal payudara bisa saja memiliki penyimpangan atau kelainan. Namun, jika dikategorikan, penyimpangan yang dimiliki masih dalam tahap yang kecil. Itu pula yang menyebabkan penyimpangan tersebut tidak diketahui banyak orang (Priatmojo, 2021).Â
Lebih lanjut, beliau juga mengungkapkan bahwa terkait perilaku seksual pelaku, antara perempuan dan laki-laki juga memiliki perbedaan. Jika pada perempuan, dia harus memiliki rasa (perasaan) terlebih dahulu baru timbul suatu gairah. Sedangkan bagi laki-laki, dengan hanya membayangkan maupun melihat, hal tersebut sudah menimbulkan rasa ingin berbuat sesuatu. Disanalah puncak kepuasan yang bisa ia dapatkan. Meski tidak melalui hubungan seks, dengan dia melihat seperti itu, dia bisa orgasme. Hal inilah yang turut mendukung mediator dalam membuat pelaku berbuat demikian (Priatmojo, 2021).
Alasan lain yang dapat menjelaskan mengapa para peleceh melakukan hal tersebut adalah karena mereka merasa memiliki "wewenang maskulin" (masculine entitlement) (Logan, 2013). Dengan merasa memiliki wewenang maskulin, para peleceh menganggap pelecehan itu, termasuk didalamnya begal payudara, merupakan sifat alamiah manusia dan sebagai wujud ketertarikan seksual yang tak berbahaya (Logan, 2013). Rasa wewenang maskulin juga membentuk sikap peleceh yang ingin mempermalukan, mengontrol, meneror, atau menyerang targetnya.
Dampak Terhadap KorbanÂ
Seperti pelecehan seksual lainnya, dampak yang terjadi pada korban begal payudara dapat berbeda-beda, tergantung berat dan lamanya pelecehan seksual. Dampak psikologisnya serupa dengan korban perkosaan. Balas dendam pelaku, serangan balasan, atau victim blaming adalah hal yang memperburuk kondisi psikologis korban.Â
Umumnya akan diposisikan serupa korban perkosaan. Selain itu, dampak sosial yang dialami korban adalah dapat mengganggu kinerja aktivtas yang dilakukan sehari-hari, seperti menurunnya prestasi sekolah/kerja; kehilangan kehidupan pribadi karena menjadi "yang bersalah", menjadi objek pembicaraan; kehancuran karakter/reputasi; kehilangan rasa percaya pada orang dengan tipe/posisi yang serupa pelaku, kehilangan rasa percaya pada lingkungan yang serupa, dan sebagainya. Disamping itu juga terdapat dampak psikologis/fisiologis, yaitu: depresi, serangan panik, kecemasan, gangguan tidur, penyalahan diri, kesulitan konsentrasi, sakit kepala, kehilangan motivasi, kemarahan dan violent pada pelaku, merasa powerless, helpless, hingga pikiran bunuh diri (Triwijati, 2007).
Jika sudah terlanjur mengalami, Apa yang perlu korban lakukan?
Bagi korban yang mengalami pelecehan seksual, kususnya begal payudara, untuk sebaiknya diharapkan untuk melapor kepada pihak kepolisian pada unit PPPA yang akan dilayani oleh petugas polisi perempuan. Dengan adanya laporan maka petugas kepolisian bisa lebih mudah untuk melacak dan mengidentifikasi pelaku. Dengan melapor pada pihak keamanan juga diharapkan akan ada tindakan tegas pada pelaku. Selanjutnya pelaku bisa mendapat sanksi atau penanganan lain sesuai perbuatan yang telah dilakukan.
Selain itu, walaupun korban pelecehan seksual, khususnya begal payudara jarang ada korban secara fisik (luka), namun tindakan ini tidak dimungkiri bisa mengganggu mental korban. Untuk itu, korban disarankan dapat melakukan konsultasi kepada pihak yang kompeten, seperti ke psikolog atau psikiater untuk mendapatkan layanan.
Referensi :Â
Aksi warga kejar pelaku begal payudara di kemayoran ketangkap dan dimassa. (26 Mei 2021). Kumparan. Diambil dari http://kumparan.com pada 4 Juni 2021
Fulero, S. M., & Wrightsman, L. S. (2008). Forensic psychology (3rd ed). Wadsworth: Cengage Learning.
Kremer, J.M.D., & Marks, J. 1992. Sexual Harassment: The Response of Management and Trade Unions. Journal of Occupational and Organizational Psychology, 65, 5-15.
Kurnianingsih, S. (2003). Pelecehan Seksual terhadap Perempuan di Tempat Kerja. Buletin Psikologi, 11(2).
Logan, L. S. (2013). Fear of Violence and Street Harassment: Accountability at the intersections (Doctoral dissertation, Kansas State University).
Priatmojo, G. (17 Maret 2021). Psikolog forensik UGM ungkap begal payudara di Sleman. Suarajogja.id. Diambil dari http://jogja.suara.com
Retno, P. (27 Mei 2021). Pelaku begal payudara di Kemayoran ngaku dimarahi istri. Tribunnews.com. Diambil dari http://tribunnews.com pada 4 juni 2021
Triwijati, N. E. (2007). Pelecehan Seksual: Tinjauan Psikologis. Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, 4, 303-306.
Zastrow, C., & Ashman, K.K. 1989. Understanding Human Behavior and The Social Environtment. 1989. Chicago: Nelson-Hall Publishers.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H